Langsung ke konten utama

Tiket-tiket ini

Saya senang menyimpan tiket nonton film.
Iya, tiket-tiket itu. Kertas kuning bertuliskan judul film, teater dan nomor tempat duduk. Kertas ini akan dirobek sama mbak-mbak penjaga teater, lalu penonton duduk manis di kursinya.
Setiap kali nonton, saya selalu menyimpan tiket-tiket itu.
Allright, biarlah saya mulai posting kali ini dengan kalimat : I am a movie freak.
Or you can call me as movie lover. Movie goer. Movie wanderer. Whichever term you want.


A person who love to watch movies, read any article about movies, seek the upcoming movies, and curious about behind the scene or the stars beyond the movies.


Yep, that's me.


Minimal sebulan sekali pasti saya ke bioskop untuk nonton film yang saya suka, atau setidaknya, menurut saya bagus. Kadang saya pergi sama Yunita, atau sama temen kost. Kadang saya nonton sama temen debat, kadang juga nonton sendiri. Pernah juga dibayarin sama temen.
Tergantung gimana nasibnya deh :P



Saya ingat film pertama yang saya tonton di bioskop. Harry Potter and The Goblet of Fire.
Tahun 2004, waktu kelas 2 SMP. Saya kesana sama Yunita, temen sekelas sesama pecinta Harry Potter. 


Hari Sabtu kebetulan jadwal sekolah sampai jam 11.00. Kami langsung cabut ke Citraland, menuju Citra 21 dan ikut antri bersama penonton lain.

Gara-gara nonton Harry Potter itulah, saya jadi punya pengalaman nonton di bioskop untuk pertama kalinya.
Keluarga kami bukan dari keluarga berada. Tiket nonton di Citra 21 seharga 20ribu pada waktu itu masih terhitung barang mewah untuk kami. Belum lagi ongkos kesana.

Alasannya lainnya? Saya dulu tidak berani mayeng-mayeng ke pusat kota. Bahkan saat film anak-anak Petualangan Sherina karya Mira Lesmana, yang diputar tahun 2000, saya juga tidak menonton. Waktu itu masih SD sih.


Jadi sebelum-sebelum ini, saya hanya bisa membayangkannya seperti apa rupa bioskop itu. Seberapa besar layarnya, kira-kira seperti apa suasana menonton didalamnya, dan apakah popcorn disana dibagikan secara gratis untuk penonton yang datang.

Saat pergi menonton Harry Potter itulah, pertanyaan saya seputar bioskop akhirnya terjawab.

Kesan pertama saya : Gilak, gede banget ya.

Kami sampai di bioskop Citra 21 pukul 11.30 lewat sedikit. Masih berpakaian seragam SMP dengan jaket jins. Kelihatan culun dibandingkan penonton lain yang (mungkin aja) anak kuliahan dari kalangan berada. Tapi cuek aja lah. 

Kami berdiri di depan pintu masuk Citra, karena pintu loketnya belum dibuka. Saat jam menunjukkan pukul 12.00, Pak Satpam membukakan pintu dan........... roarr!! kami berduyun-duyun lari menuju loket 2, untuk membeli tiket Harry Potter. Loket sebelah kami juga lumayan rame, dipadati sama cewek-cewek lain yang ingin nonton komedi romantis Apa Artinya Cinta.

Setelah mengantri dan memilih tempat duduk, finally, saya berhasil nonton.

Kesan pertama saya : Gilak, seru banget!

Layarnya gede banget, lebih luas dari ruang tamu rumah saya. Suaranya kenceng, seolah-olah Voldemort benar-benar berbisik di belakang kami. That was amazing :D

Saya pun ketagihan. Saya pengen nonton film di bioskop lagi, dan lagi. Hingga akhirnya keterusan.


Setelah bekerja dan mencari penghasilan sendiri, saya pasti menyempatkan diri untuk mengunjungi bioskop dan nonton film. I have been totally bedazzled with movie. Mau film lokal atau film asing, saya pasti nonton kalau kebetulan sinopsinya menarik.

Di dalam dompet saya ada sekitar 17 tiket-tiket (or maybe more, I don't know) yang dulu dipakai untuk nonton. Ada yang dari Citra 21, ada yang di XXI Paragon Mall. Saya bukan buzzernya XXI Paragon, tapi kalau disuruh milih mau nonton dimana, mending saya nonton di XXI aja lah. Serius. Walaupun bayarnya lebih mahal, tapi bener-bener worth it. Suaranya lebih dahsyat, dan yang jelas nggak dipenuhin anak alay yang berisik.

Setiap kali memandang kertas-kertas tiket ini, saya pasti ingat kejadian di bioskop saat menonton. Seperti flash back. Hanya saja, tanpa mesin waktu.


Maka inilah teman-teman, beberapa tiket nostalgia saya. Izinkan saya menceritakannya untuk kalian.


 Ini tiket The Hobbit - Unexpected Journey, film yang saya tonton pada 1 Januari 2013 bersama Misriatun si temen kost. Misri ini orang asli Pati, Jawa Tengah, dan belum pernah sekalipun nonton bioskop. "Bioskop itu kayak gimana sih Mbak? Aku belum pernah masuk bioskop" tanya dia. Polos banget. Setelah nonton, dia bilang : "tadi dingin banget ya mbak, di dalam" Hahahaha...

 Tiket nonton film 3D Hansel and Gretel ini mengingatkan saya pada suatu hari Sabtu, tanggal 2 Februari 2013 saat saya, Wisnu dan Bayu nonton film ini di Paragon. 

Saya ingat, waktu itu saya mengarang alasan pada Ibu Kepala Departemen supaya diizinkan pulang awal. Saya ingat, hari itu Wisnu menunggu saya di depan swalayan ADA Setiabudi karena saya terlambat datang. Saya ingat, hari itu Bayu terpaksa menukarkan tiket ke jam selanjutnya, karena saya masih dalam perjalanan. Saya ingat, kami dapat tempat duduk yang strategis dan efek 3D-nya sangat terasa. Saya masih ingat, waktu itu Bayu menolak uang yang saya sodorkan untuk membeli tiket. Ya, saya masih ingat kejadian-kejadian hari itu, hanya dengan melihat tiket ini.

After Hansel and Gretel, I rarely watch movies.

The Conjuring adalah film pertama yang saya tonton sama Muchammad Maskhur, adik kelas saat sekolah di STM Pembangunan. Dia jurusan Mekatronika. Jurusan yang cukup langka di Indonesia. Sekarang dia bekerja sebagai kalibrator alat-alat. Semasa sekolah, dia termasuk teman yang heboh dan asik untuk diajak seru-seruan. Kami nonton bertiga dengan Misri, yang berkeras mau nonton film horor. Sial bagi Misri, kami dapat tempat duduk di deretan paling kanan. Itu artinya, dia duduk paling pojok.

Maka sepanjang film, dia meringkuk ke arah saya. Saya ingat, saat menonton film ini, kami bertiga kaget dan berteriak keras saat tiba-tiba ada hantu wanita tua muncul di hadapan Lorraine. Teriakan kami ini bikin para penonton langsung menoleh ke arah kami. Hahahaha...


Setelah menonton The Conjuring di Paragon, dua minggu kemudian saya nonton The Conjuring lagi sama Kukrit Wicaksono. Kali ini nontonnya di Citra 21. The same movie, the same story, but different audience. Teater Citra 21 dipenuhi sama ABG yang ributnya bikin saya menghela napas berkali-kali. Di Paragon, penonton bisa tenang menyimak film. Hanya teriak saat kaget, tertawa saat adegan lucu. Tertib banget. Di Citra 21 ini, para ABG itu berkali-kali ketawa, teriak nggak jelas, dan saling nylemong yang nggak penting. Udik banget -__-* Mungkin mereka udah nonton The Conjuring, dan udah tau beberap adegannya. Tapi kan tetep aja nggak bisa dibenarkan untuk mengganggu kenyamanan penonton lain. Kampret banget.


Percy Jackson : The Sea Of Monster adalah film pertama yang saya tonton di jam malam. Lagi-lagi bersama Kukrit. Kebetulan hari itu Percy Jackson tayang premiere, formatnya 3D. Puas banget nonton Percy, Annabeth Chase, Grover, dan Cyclops mencari Golden Fleece. Pulang dari nonton, saya masih kebayang si cakep Logan Lerman. Until today. Hahahaha


Ini tiket film Malavita yang dibelikan sama Ardyan, adik kelas dari jurusan TAV. Ardyan kerja di Buma, sebuah perusahaan pertambangan batubara di Kalimantan. Dia bilang saat ini sedang pulang ke Semarang dan mengajak saya nonton. What a great idea! Sebetulnya, saya lagi nunggu Insidious, tapi ternyata film ini belum tayang. Lagipula, saya sempat lihat poster Malavita dan googling ceritanya di Wikipedia, dan menyimpulkan kalau ceritanya pasti seru biarpun berbalut action. I know I was right. Anyway, makasih setulus-tulusnya buat Ardyan karena udah rela hati membayari tiket, camilan, plus makan di Bee's. Semoga besok-besok ada yang ngajakin saya kayak gini lagi deh. *wuuu... maunya!*


 Insidious adalah film yang lumayan saya tunggu, dan saya baru bisa nonton 3 minggu setelah pemutaran perdananya. Kami nonton berempat : Misri, Maskhur, saya dan Anggara, temen sekelas saat SMA. Dari beberapa cerita orang, Insidious itu serem. Tapi setelah nonton, kami sepakat kalau The Conjuring jauh lebih serem. Insidious itu serem, tapi njelimet. Saya dan Maskhur terlibat diskusi seru, bahkan diskusi ini berlanjut sampai kami bertiga makan di Waroeng Steak. Yassalam.

Ini ketiga kalinya saya nonton sama Kukrit, kali ini film Horor yang agak lawas. Waktu nonton film Sinister ini, saya duduk di pojok paling kanan. Rasanya merinding. Ntar kalau saya lagi konsen nonton trus tiba-tiba ada yang nyolek dari sebelah kiri gimana? Hiiii.... (oke, sekarang saya jadi tau gimana rasanya menjadi Misri saat kami menonton The Conjuring). 




 Tiket Carrie membawa saya pada Senin malam, saat jiwa nekad saya kambuh. Waktu Carrie dirilis, saya bingung mau ngajak nonton siapa. Rata-rata nggak available untuk nonton di hari Minggu, atau mereka ngajak nontonnya di hari Sabtu. Padahal 'kan Sabtu saya kerja. Saya nonton sendirian, malam hari, dan duduk di depan sendiri. Deretan belakang udah penuh (sebetulnya ada satu tempat duduk yang kosong, tapi di pojok. Ih, ogah banget). Tapi saya fine-fine aja sih, walaupun orang-orang melihat saya dengan tatapan bertanya-tanya. She watched this horror movie alone? Really? At this night? Saya mah cuek aja. 
Jam 19.00 film dimulai, dan selesai pukul 20.45. Kalau bukan karena hujan, saya pasti udah nyampe kost pukul 22.00. Hujan lebat membuat angkutan sulit dicari. Begitu dapat angkot, eh.. malah ngetem nyari penumpang sampai 1 jam. Saya tiba di kost pukul 23.30, tepat sebelum pintu kost ditutup. 


Well... that's the story behind the tickets. Tiket-tiket lain nggak saya ceritakan. Bukan karena nggak penting, tapi karena ceritanya kurang impressing. Lagian, pasti panjang banget.

Once upon a time, Bayu pernah tanya ke saya : "Kenapa tiketnya disimpan?"

"Mau aku tempel di scrap-book punyaku, Kak"

Jiahahahaha... andai Bayu tahu, sampai sekarang pun, scrap book itu masih belum kelar ditempel-tempel. Hehehehehe... Saya belum bisa menyempatkan waktu untuk mengurusnya. *alah, bilang aja tergoda main Fruit Ninja*


Udah ya. Enjoy your day, people!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

i can't believe i have been three years here (part 4 - End)

Chapter #4 : The Planning World  Ah, akhirnya diterusin juga ceritanya. Pada waktu postingan ini pertama dibuat, saya genap tiga tahun kerja di PT USG, hence the title. Kemudian saya lanjutkan ceritanya, lalu sempat vakum, lalu posting lagi cerita lanjutannya, dan vakum lagi cukup lamaaaaaaa di chapter tiga. Ketika chapter empat ini saya susun, saya sudah bekerja di perusahaan ini selama uhmm... delapan puluh sembilan bulan. Sudah menjelang sewindu. Masih ingat kan, hitungan matematika sewindu itu berapa tahun? Gara-gara cerita ini juga, banyak sekali email-email yang masuk ke Gmail dari para calon pelamar kerja yang nanya-nanya soal PT USG kepada saya. Umumnya mereka ini para lulusan baru alias fresh graduate yang lagi nyari kerja, terus mereka lihat lowongan di PT USG sebagai PPMC. Karena nggak paham apa itu PPMC, mereka akhirnya buka Google, terus ngetik keyword "PPMC." Hasil penelusuran mereka salah satunya mengarah ke postingan ini Rata-rata dari mereka adala

Hompimpa (Sebuah puisi dari Tengsoe Tjahjono)

Puisi Hompimpa karangan Tengsoe Tjahjono pertama kali saya ketahui saat kelas 1 SMP. Tepatnya saat classmeeting yang diadakan pasca ulangan umum. Sekolah saya SMP Negeri 6 Semarang mengadakan beberapa lomba. Yah, buat ngisi hari aja sih. Supaya murid-muridnya nggak nganggur gitu. Waktu itu Bu Tamsih (salah satu pengajar Bahasa Indonesia) mengadakan lomba deklamasi puisi Hom-Pim-Pa untuk anak-anak kelas tiga. Syaratnya : saat deklamasi puisi, satu kelas harus maju semua. Tidak boleh hanya satu orang yang maju deklamasi mewakili kelas mereka. Pokoknya, satu kelas maju bareng. Tampil di tengah-tengah lapangan. Ditonton oleh kelas satu dan kelas dua. Asik ya? Tampil rombongan, gitu. Jadi bisa dilihat kekompakan masing-masing kelas. Kalau satu orang salah, ya satu kelas bisa ancur. Pernah ada kelas yang tampil bagus banget di awal. Setelah memasuki bagian tengah-tengah, ada murid yang suaranya cempreng dan cengengesan (sungguh kombinasi yang absurd, hehe) yang tentu saja membuat semua penon

I can't believe i have been three years here

my desk, June 14th 2013 I can't believe i have been three years here. Yep, it is my 3rd year in PT Ungaran Sari Garment. After all the stormy periods, exhausted time, crazy works and many stuffs, I am still alive. Let me emphasize. I - CAN - SURVIVE. Hahaha.. Wow. Waktu cepat sekali berlalu ya? Ceritanya bakal panjang nih. Kalo kamu udah bosen, mending pindah channel aja gih. Biar kayak sinetron, saya akan membagi cerita kilas balik ini dalam beberapa chapter. Dan ini, ladies and gentlement, adalah bagian satu. Chapter #1 : The Beginning Almost three years ago, in 14th June 2010 I was called to be receptionist at Front Office PA1. Nggak kebayang senengnya waktu saya dikasih tau : Kamu keterima. Besok senin mulai masuk ya. Ya Robbi, saya bakal kerja! Setelah hampir satu minggu bolak-balik buat interview, test tertulis, dan test kesehatan, akhirnya besok Senin saya resmi jadi seorang karyawan. Saya bukan anak sekolah lagi! Saya bakal cari duit sendiri! Ay, karam