Langsung ke konten utama

My Cousin's Wedding, Wedding Invitation, and Marriage

Sepupu saya baru aja nikah. Kebetulan dia kakak kelas saya juga waktu STM, jurusan Mekatronika. Dia sekelas sama Yasa, Argha, Mbak Ayu, Rifqi Zamroni. Namanya Mas Aris.

Well... sebetulnya kalau dilihat dari Pohon Keluarga, dia adalah anak dari adik sepupunya bapak. Jadi secara harfiah, seharusnya dia manggil saya Mbak Devi, dan saya memanggilnya Dek Aris. Namun secara maternal, dia lahir lebih dulu dibandingkan saya. Selisih umur kami satu tahun. Berhubung ini sudah zaman modern (dan saya juga bukan orang yang gila hormat), maka saya rela keadaan dibolak-balik. Saya dengan ikhlas manggil dia Mas Aris, dan dia manggil saya Dek Devi.

Mas Aris resmi menikahi Ida, yang juga adik kelas saya di STM Pembangunan. Ida jurusannya TLI, dan lulus tepat satu tahun setelah saya wisuda. Mereka pacaran hampir empat tahun. Jadi, kalau diibaratkan sebagai kuliah, mereka sekarang udah lulus ujian skripsi. Udah dapat ijasah, eh salah... ijab sah. Hehehehe

Akad nikah dan resepsinya sih diadakan hari Minggu tanggal 26 Januari 2014 di rumah Ida, daerah Syuhada-Tlogosari Semarang.
Pada hari Sabtu 25 Jan, orangtua Mas Aris mengadakan syukuran pernikahan dirumahnya dan mengundang grup Solo Organ. Berhubung saya pengen istirahat di hari Minggu, saya memilih datang ke rumah Mas Aris pada hari Sabtu. Mau ngucapin selamat, sekalian mau nonton dangdutan. Hehehehehe
Lagian, rumah Mas Aris kan nggak begitu jauh dari rumah saya. Kami masih satu RW.
*nggak mau rugi transport*

Ketika saya datang, Mas Aris sama Ida lagi duduk dan menemani tamu ngobrol. Mereka pakai batik warna biru yang identik. Atau istilahnya sarimbitan.



the newly wed
Grup Solo Organ yang diundang ke acara syukuran ini namanya Solo Organ Agusta dari Semarang. Biduannya sendiri ada 3 : yang 2 adalah wanita tulen, sementara yang 1 wanita jadi-jadian alias bencong.
Si mbak (atau Mas?) yang cantik menggoda ini mengaku namanya Kristin. Nggak tau deh nama aslinya siapa (jangan-jangan Kristanto?) Suaranya bagus juga, walau agak patah-patah nafasnya. Mungkin dia kesulitan, soalnya kan dia musti mempertahankan proforma suara perempuan saat menyanyi. Hehehehe
Tapi dia tetep menghibur kok. Mas-mas fotografer (sepupunya Mas Aris) sampe dikerjain. "Mas, mas, sini deh. Tadi kamu ngambil fotoku pas nyanyi ya? Pas ngambil fotoku tadi, susuku udah keliatan gede nggak?"  Hahahahahaha
Itu susu disumpal apa sih, sampe gede gitu.

*by the way, saya nggak mau nampilin fotonya ah, ntar kena pelet*

Ibunya Mas Aris, saya manggil dia Bulik Muji atau Lik Muji. Bulik itu artinya kayak Tante.

Bukan, yang itu bukan si biduan yang bencong. Mbake ini asli cewek. Yang pake batik ini ayahnya Mas Bagus, namanya Pak Dhe Mul

Anyway, selamat ya buat Mas Aris sama Ida. Selamat menempuh hidup baru dan mendayung bahtera rumah tangga di lautan kehidupan yang penuh badai dan gelombang (tsaahh.. bahasanya!)


**********************************************************

Ibu saya pernah bilang begini : "Wong sing arep mantu kuwi mripate awas, isa weruh kancane ning endi wae. Lha wong tekan njero leng yuyu wae iso diweruh kok"
Kalau di translate ke bahasa Indonesia, kurang lebih jadi seperti ini : Orang yang akan menikah itu matanya tajam, bisa melihat temannya di mana saja. Bahkan walaupun di dalam liang kepiting saja akan terlihat olehnya.

Orang yang akan mantu alias menikah, pasti sebelumnya akan mengedarkan undangan acara mereka. That's obvious. Mereka mengundang kerabat mereka, teman kerja mereka, teman sekolah mereka, atau teman yang mereka kenal, walaupun jarang bertemu.

Setiap kali menerima undangan pernikahan, saya teringat ucapan Ibu saya ini. Kebetulan saya punya beberapa teman yang sudah menikah, dan kalau dipikir-pikir mereka ini udah lamaaa banget nggak kontak saya. Tapi di hari bahagia mereka, saya diberi undangan. Yaa... saya sih oke-oke aja, kalau pas lagi free dan bisa datang ke acara, saya pasti datang. Kalau acaranya hari Senin atau pas hari kerja, trus lokasinya jauh, paling-paling cuma ngasih ucapan doang.

Tapi jujur deh, kadang-kadang rasanya mangkel gitu kalau nerima undangan dari teman yang nggak pernah kontak kita, jarang banget menyapa saat bertemu, jarang chat (sekedar basa-basi nanya kabar), trus tau-tau ngasih undangan nikah. Hadeehh... Pas mau nikah aja baru ingat kita -_-*

Ambil contoh waktu saya dapet undangan nikah dari temen SD. Sebut aja namanya Andini. Rumah kami nggak begitu jauh sih, cuma beda RT dan beda gang. SD kami juga satu gedung. Dia di SD Genuk 02, saya di SD Genuk 03. Dari awal kami emang nggak begitu akrab, walaupun tidak bermusuhan. Weird, isn't it? Saya kenal dia, dia kenal saya, tapi nggak pernah menyapa. Saya pernah ketemu dia di bis waktu SMA. Saya coba nyapa, saya kasih senyum dan .... dia melengos.

Gimana nggak sakit hati?

Sejak itu saya malas menyapa kalau ketemu.

Dan tiga tahun setelahnya, saya diberitahu Ibu kalau Andini akan menikah dan..... saya diundang. Yep, I got her wedding invitation.

Reaksi pertama saya : Cih, bodo amat. Boro-boro mau datang ngucapin selamat. Selama ini kalau ketemu aja melengos.

Tapi Ibu sedikit menenangkan saya. Jangan gitu, katanya. Kami berdua kan satu kampung, yang artinya Ibu saya sering ketemu sama ibunya Andini. Kalau saya nggak datang, Ibu saya-lah yang akan pertama kali dapat kesan buruk di kampung.

When I grew up, I met many new people. Some of them are nice and I can go along. Some of them made me difficult to mingle and join their conversation. Dan kasus Andini pun terulang lagi. Ada beberapa orang yang nggak pernah berinteraksi, tapi ngasih undangan nikah. Ada yang ketemu satu kali, cuma saling tersenyum, eh akhir bulan ngasih undangan nikah. Ada yang sebenernya nggak niat ngundang saya, tapi karena temen-temen se-PPMC dapat undangan, mereka berubah pikiran dan... voila, akhirnya saya turut diundang. Lucu-lucu emang.

Tapi ada persamaan antara orang-orang ini : 5 hari atau 3 hari sebelum menyebarkan undangan, mereka mendadak selalu hadir memberi senyuman. Yep, they smiles! Lagi jalan ke kantin, eh ketemu mereka dan mereka melempar senyum. Lagi pulang kerja, eh ketemu mereka dan dikasih senyum. Dan senyum itu diakhiri dengan diserahkannya kertas bertuliskan nama dan tanggal pernikahan. Sambel.

Mas Wawan, anaknya Budhe membenarkan cerita saya. Dia ternyata punya pengalaman yang sama, dan sejak saat itu dia langsung aware : kalau ada temen lama yang nggak pernah menyapa lalu suatu hari dia tersenyum dan menyapamu, bisa jadi dia akan menikah. Siap-siap aja.


*******************************************************************


Bagi saya, menikah adalah hal yang sakral, agung dan ritualis. Saya bilang sakral, karena pernikahan adalah ikatan suci yang kalau bisa cukup sekali aja seumur hidup. Menikah itu nggak kayak beli baju, yang kalau bosen langsung cari baju lain. Enggak. Menikah itu menyatukan dua keluarga dan menyelaraskan beratus-ratus perbedaan antara pihak si perempuan dan si laki-laki. Marriage is about how we deal with our ego and family desire. Perbedaan tradisi, beda kebiasaan, dan terutama.... perbedaan sudut pandang. Hal-hal yang selama ini kita lakukan (dan kita fine-fine aja) bisa jadi salah dimata mertua. Kalau mau dirubah, rasanya susah banget merubah kebiasaan. Tapi kalau kita nggak berubah, nanti dicap mantu durhaka =P

These are stuffs that still made me stay in my side : I am not ready.

That's right. I am not ready.

Buat saya, sebelum menikah saya harus punya 3 hal ini : Materi, Maturity, Matching Man. Materi artinya saya harus siap dana. Maturity artinya kematangan dalam bersikap dan berpikir. Matching Man udah pasti orang yang cocok.

Let's see. Secara Materi, kondisi saya masih jauh dari siap. Cicilan motor aja belum lunas, masih kepengin punya laptop, dan yang paling penting : our family still fight for a house. Lha wong rumah aja belum resmi punya, masak mau nikah? Saya nggak bisa bayangin besok kalau nikah, saya dan suami saya bakal pindah dari satu hotel ke hotel lain karena rumah itu belum kami miliki. Scary, huh?

Selain itu, saya juga masih belum kesampaian buat kuliah. Kalau bisa sih S1 dulu. Kenapa? Ya biar nggak kalah sama suami kelak. Heheheheh...

Alasan utama saya pengen kuliah sebelum nikah dan punya anak adalah : saya ingin menjadi buku hidup bagi anak saya nantinya. Jujur, saya termasuk orang yang menganut credo "Ibuku adalah Perpustakaan Pertamaku". Jika saya akhirnya memiliki anak, dia akan mempelajari sesuatu lewat ibunya dulu. Orang pertama yang akan dia tanya mengapa begini mengapa begitu adalah ibunya. Dan sebagai (calon) Ibu saya harus punya pengetahuan luas, supaya bisa menyediakan jawaban untuk dia.

Jadi syarat pertama jelas belum terpenuhi.

Kemudian tentang Maturity alias kematangan. Hellooo.... orang-orang juga tau kalau saya masih childish, self-centrish, and kinda opportunist. Pengelolaan uang saya aja masih sembrono. Kadang bisa pas, lebih sering defisit. Hehehehe.....

Menikah itu bukan perkara elu-elu dan gue-gue lagi. Menikah itu tentang kamu dan pasangan. Tentang kita. Jadi apa yang akan kita lakukan dan keputusan apa yang kita ambil juga harus memperhatikan pasangan. Lah, saya aja masih Oh-So-Free gini. Masak suami saya harus ngemong saya? Catat ini, nikah itu bukan cuma nyari suami atau istri. Nikah itu sekaligus mencari sosok ayah dan ibu untuk anak-anak kita. Kalau buru-buru nikah, jangan-jangan ntar saya nangis nggak bisa nonton Curious George, soalnya TVnya dipake anak saya main Play Station. Heu heu heu... =D

Emang sih banyak yang bilang "sifat dan perilaku seseorang itu kan bisa berubah. Nanti kalau pas udah nikah, tindakan kita akan berubah jadi dewasa seiring waktu" tapi bagi saya enggak tuh. We are what we repeatedly doing. Artinya, kalau terus-terusan masih childish dan egois, ya selamanya tabiat itu bakal sulit hilang.

Dengan menimbang perilaku saya, syarat kedua tentang Maturity juga belum terpenuhi.

Nah... kalau soal Matchingman alias pria yang cocok, jelas masih jauh. Lha wong saya aja masih jomblo dan belum mau punya pacar, gimana mau nikah? As I said in my other post, sebetulnya saya naksir seseorang. Saya naksir dia sejak saya kelas satu STM dan sampai sekarang saya masih belum mampu mengungkapkan perasaan. Rasanya pamali ah, kalau cewek ngomong duluan. Walaupun jamannya emansipasi, tapi ya nggak gitu juga kali. Yang bisa saya lakukan adalah memberi isyarat. Mulai dari perhatian kecil kayak bikin tweet no mention yang isinya memuji dia. Semua isyarat yang (mudah-mudahan) akan dibaca dia sebagai kalimat : 'Hey, look at me. I am so adoring you. Will you accept my feeling?'

Saya nggak punya kriteria cowok idaman. Yang penting nggak merokok atau alcoholic. Soal tampang? Yah, relatif. Biasanya sih 65% dari penampilan, but on next conversation I look 85% from their personality.

Syarat 1, 2, dan 3 jelas belum terpenuhi. Kenapa buru-buru nikah? Biarkan saja orang terus-terusan berkata "kan kamu udah besar, udah pantes nikah. Sana, gih, cari calon suami"

Well... kata-kata kayak gitu nggak akan saya masukin kuping. Mereka kan orang lain alias outsider. Yang tau kesiapan kita untuk nikah adalah diri kita sendiri. Orang lain mah cuma lihat luaran aja dan berkomentar. Mereka nggak bisa lihat ke dalam diri kita. Just leave their comment. Nanti juga capek sendiri. Nikah ya harus karena keputusan kita, bukan karena komentar orang.

Bener kan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

i can't believe i have been three years here (part 4 - End)

Chapter #4 : The Planning World  Ah, akhirnya diterusin juga ceritanya. Pada waktu postingan ini pertama dibuat, saya genap tiga tahun kerja di PT USG, hence the title. Kemudian saya lanjutkan ceritanya, lalu sempat vakum, lalu posting lagi cerita lanjutannya, dan vakum lagi cukup lamaaaaaaa di chapter tiga. Ketika chapter empat ini saya susun, saya sudah bekerja di perusahaan ini selama uhmm... delapan puluh sembilan bulan. Sudah menjelang sewindu. Masih ingat kan, hitungan matematika sewindu itu berapa tahun? Gara-gara cerita ini juga, banyak sekali email-email yang masuk ke Gmail dari para calon pelamar kerja yang nanya-nanya soal PT USG kepada saya. Umumnya mereka ini para lulusan baru alias fresh graduate yang lagi nyari kerja, terus mereka lihat lowongan di PT USG sebagai PPMC. Karena nggak paham apa itu PPMC, mereka akhirnya buka Google, terus ngetik keyword "PPMC." Hasil penelusuran mereka salah satunya mengarah ke postingan ini Rata-rata dari mereka adala

Hompimpa (Sebuah puisi dari Tengsoe Tjahjono)

Puisi Hompimpa karangan Tengsoe Tjahjono pertama kali saya ketahui saat kelas 1 SMP. Tepatnya saat classmeeting yang diadakan pasca ulangan umum. Sekolah saya SMP Negeri 6 Semarang mengadakan beberapa lomba. Yah, buat ngisi hari aja sih. Supaya murid-muridnya nggak nganggur gitu. Waktu itu Bu Tamsih (salah satu pengajar Bahasa Indonesia) mengadakan lomba deklamasi puisi Hom-Pim-Pa untuk anak-anak kelas tiga. Syaratnya : saat deklamasi puisi, satu kelas harus maju semua. Tidak boleh hanya satu orang yang maju deklamasi mewakili kelas mereka. Pokoknya, satu kelas maju bareng. Tampil di tengah-tengah lapangan. Ditonton oleh kelas satu dan kelas dua. Asik ya? Tampil rombongan, gitu. Jadi bisa dilihat kekompakan masing-masing kelas. Kalau satu orang salah, ya satu kelas bisa ancur. Pernah ada kelas yang tampil bagus banget di awal. Setelah memasuki bagian tengah-tengah, ada murid yang suaranya cempreng dan cengengesan (sungguh kombinasi yang absurd, hehe) yang tentu saja membuat semua penon

I can't believe i have been three years here

my desk, June 14th 2013 I can't believe i have been three years here. Yep, it is my 3rd year in PT Ungaran Sari Garment. After all the stormy periods, exhausted time, crazy works and many stuffs, I am still alive. Let me emphasize. I - CAN - SURVIVE. Hahaha.. Wow. Waktu cepat sekali berlalu ya? Ceritanya bakal panjang nih. Kalo kamu udah bosen, mending pindah channel aja gih. Biar kayak sinetron, saya akan membagi cerita kilas balik ini dalam beberapa chapter. Dan ini, ladies and gentlement, adalah bagian satu. Chapter #1 : The Beginning Almost three years ago, in 14th June 2010 I was called to be receptionist at Front Office PA1. Nggak kebayang senengnya waktu saya dikasih tau : Kamu keterima. Besok senin mulai masuk ya. Ya Robbi, saya bakal kerja! Setelah hampir satu minggu bolak-balik buat interview, test tertulis, dan test kesehatan, akhirnya besok Senin saya resmi jadi seorang karyawan. Saya bukan anak sekolah lagi! Saya bakal cari duit sendiri! Ay, karam