Langsung ke konten utama

TULIS MENULIS (Part 1)

Pada postingan kali ini, Devi Okta menyamar menjadi calon penulis dan mendaftarkan diri sebagai peserta diskusi kegiatan tulis-menulis.

Salah satu kebaikan yang didapat dari tahun 2016 adalah diadakannya acara mini-talkshow dan diskusi buku bersama figur literasi Indonesia. Yang pertama adalah acara booksigning dan mini talkshow bersama Mommar Emka dan satu lagi acara Kampus Fiksi spesial Semarang bersama Penerbit DivaPress. Kedua kegiatan ini terselenggara bersamaan dengan diadakannya acara Pameran Buku di Gedung Wanita Semarang.

Apa saja yang didapat ketika mengikuti dua acara mini-workshop ini? Berikut laporan yang disadur dari buku catatan si penyamar sendiri :

Mini Talkshow dan Diskusi Buku
Pelaksanaan : Minggu, 10 April 2016 pukul 12.00
Lokasi : Gedung Wanita Semarang
Pembicara : Moammar Emka, penulis buku Jakarta Undercover dan Meistika Senichaksana (Mezty Mez), pengarang novel Hei Luka
HTM  : tidak ada karcis, alias gratis! 


Moammar Emka bukanlah orang baru di jagad literasi tanah air. Salah satu tulisannya bisa dibaca pada novel Tentang Dia (2004) yang diadaptasi dari skenario film Rudi Soejarwo dan diangkat dari cerpen karangan Melly Goeslaw. Namun karyanya yang berjudul Jakarta Undercover (terbit pertama 2003) membuat orang ngeh tentang profil penulis berkacamata ini. Selain seri buku Jakarta Undercover, Emka juga menulis novel roman Cinta Itu Kamu, I Do, dan Dear You. Pada kunjungannya ke Semarang kali ini, beliau hadir untuk membahas dunia kepenulisan dan buku-bukunya. Moammar Emka ditemani oleh Mezty Mez, pesinetron yang sempat berperan di serial Anak Jalanan (nama karakternya : Bu Devi, for real!) sekaligus untuk mempromosikan novel yang baru dirilisnya Hei Luka dan Sesaat di Keabadian.

"Buku yang menarik adalah buku yang bisa memberi arti bagi pembaca dan memberi royalti bagi penulis" kata Emka.

Menurutnya tantangan penulis di era digital adalah bagaimana membuat sebuah buku yang isinya tidak bisa dicari di Google. Sekarang apa-apa tinggal klik. Kalau kamu pergi ke Semarang, kamu bisa buka Google untuk mencari tahu makanan khas kota Semarang, objek wisata, sampai rute TransSemarang. Ngapain bikin buku yang isinya monoton, pasaran, dan referensinya bisa dicari secara gampang? Maka kuncinya : jadilah beda, sehingga orang mau nggak mau akan beli buku kamu. Jakarta Undercover adalah contoh buku yang temanya bisa dianggap tabu. Seks dan kehidupan malam ibukota yang dibeberkan secara lugas. Masih jarang yang mengupasnya di blog atau konten website, sehingga buku Jakarta Undercover jadi booming karena sebelumnya belum pernah ada tema blak-blakan seperti ini.

"Sebagai penulis, enaknya kita ngikut pasar atau menciptakan pasar sendiri?" tanya moderator.

"Ciptakan pasar sendiri" jawab Emka. "Ikuti gaya menulis sendiri, karena setiap karya punya ciri khas sendiri meskipun temanya sama. Cinta ala Moammar Emka pasti beda sama cinta ala Tere Liye."

Menulis yang baik, tambahnya, yang penting dimulai dari keinginan untuk menjadi penulis. Jangan setengah-setengah atau jadi keinginan sesaat. Kalau sudah punya tekad jadi penulis, kita bisa memotivasi diri supaya menghasilkan tulisan yang baik. Apa itu tulisan yang baik? Tulisan yang lengkap, padat, tidak melompong walaupun terdiri dari ratusan halaman.

Moammar Emka membutuhkan kurun waktu lebih dari 2 tahun untuk menyusuri jalanan Jakarta dan menyusup dunia malam ibukota untuk menyusun materi buku Jakarta Undercover, yang kemudian diterbitkan Gagasmedia. Buku itu booming, cetak ulang lebih 50 kali, dan diangkat ke layar lebar oleh Erwin Arnada dengan bantuan Joko Anwar pada 2006. Konten buku Jakarta Undercover diambil dari cerita Emka saat jalan-jalan keliling Jakarta, keluar masuk dan meliput dunia Ibukota setelah matahari terbenam. Proses pengumpulan bahannya lama. Bagaimana caranya menghubungi dan mendapatkan keterangan dari para narasumber? Kuncinya pada Trust alias kepercayaan. Investigasi dan wawancara tentang dunia PSK, panti pijat, dan club malam adalah hal yang sensitif. Di situlah penulis harus pandai menempatkan posisi dan mengambil kepercayaan para sumber tulisannya.

"Ekspektasi penonton saat melihat film adaptasi buku ternyata lebih banyak yang dikecewakan. Kenapa ya?" tanya Fira, salah satu peserta yang masih pelajar.

"Ya namanya buku, pasti beda lah dengan film," jawab Emka. "Mau dibuat bagaimanapun caranya, film akan selalu beda dengan buku. Mediumnya beda, taste-nya juga beda. Film terbatas durasi, sehingga ada bagian dari buku yang harus disingkat, disederhanakan, atau dibuang."

Ya iyalah, batin saya. Dalam hal adaptasi ini saya sependapat, karena rata-rata film adaptasi buku memang berasa 'kurang'. Mengapa? Sebab bagian yang dirasa penting bagi pembaca justru malah dihilangkan oleh penulis skrip. Para filmmaker tentunya tidak akan bisa memuaskan ekspektasi semua pihak. Bicara soal adaptasi film, buku Jakarta Undercover : The Masquerade akan diangkat ke layar lebar pada Februari 2017 dibintangi Oka Antara, Baim Wong, dan disutradarai Fajar Nugros. Bagus dan tidaknya bisa disaksikan sendiri nanti di bioskop. Mengenai royalti atau komisi yang didapat penulis dari adaptasi film, Emka menjawab rata-rata royalti yang diterima 25 juta jika buku kita dibeli oleh sebuah PH untuk difilmkan. Keren ya?

Seorang penanya mengacungkan tangan. "Bisakah cerita non fiksi diangkat jadi fiksi?"

"Tentu bisa,"jawab Emka. "Sejatinya toh perasaan kita sendiri termasuk non fiksi, kemudian kita tulis menjadi novel dan dijadikan gaya fiksi."

Seorang penanya lain, perempuan paro baya bernama Ibu Ami mengajukan pertanyaan tentang kesulitannya bercerita. "Saya udah tau awal dan akhir cerita saya seperti apa, tapi gimana cara merangkainya?"

"Tulis kerangka" kata Emka. Menurutnya, kerangka karangan akan sangat membantu mengarahkan penceritaan seorang penulis. Tulis kerangka cerita, tulis ide pokok dan premis cerita. "Lucunya," kata Emka, "Orang Indonesia banyak yang kesulitan kalau diminta membuat sebuah cerita. Pas pelajaran mengarang, mereka mikir keras sekali. Tapi pas pelajaran matematika, justru kita kebanyakan ngarang jawaban" lanjut Emka yang diiiringi gelak tawa peserta talkshow.

Peserta lainnya mengacungkan tangan dan bertanya "Apakah Moammar Emka akan mengganti tema atau gaya kepenulisan?"

"Belum. Saya belum siap," jawab Emka. "Saya harus mencari timing yang pas. Menerbitkan novel itu juga harus lihat hari, lho" lanjutnya. Emka lalu memaparkan contoh misalnya momen-momen tertentu seperti hari Valentine biasanya dimanfaatkan penerbit untuk launching novel-novel romance atau teenlit. Pertengahan tahun adalah momen untuk launching buku pelajaran, buku panduan ajar, atau buku parenting. Mendekati akhir tahun biasanya buku tentang liburan atau travelling. Emka menambahkan bahwa dirinya sendiri juga sudah punya "tabungan" sekarton buku dan naskah yang didedikasikan untuk sang ayah, tapi masih tunggu waktu yang tepat untuk launching.

Lalu bagaimana dengan label bestseller? Kita sering menjumpai buku-buku di rak dengan label Bestseller atau penjualan terlaris. Predikat bestseller ini, menurut Emka, adalah sesuatu yang tidak mutlak. Di Indonesia belum ada lembaga khusus atau standar khusus kenapa buku itu dibilang bestseller. Standard bestseller itu datang dari penerbit masing-masing.

"Lain dengan luar negeri, mereka punya standard yang universal untuk kategori bestseller. Di Indonesia, setiap penerbit punya standard bestseller sendiri. Misalnya penerbit A punya standar bestseller 50.000 eksemplar per bulan. Sementara penerbit B yang tergolong penerbit minor hanya mematok 6.000 eksemplar dalam 6 bulan. Sehingga kalau buku yang mereka terbitkan bisa terjual lebih dari standard tersebut, ya sah-sah aja bagi penerbit untuk menempelkan label bestseller di cover buku mereka. Jadi kadang label bestseller ini juga digunakan sebagai strategi marketing." ungkapnya.

Anyway, setiap kali belanja buku saya memperhatikan beberapa toko buku selalu punya "rak khusus" yang memasang buku-buku laris. Nah, buku-buku yang terpajang di Rak Bestseller ini ditentukan oleh pihak toko buku, berdasarkan jumlah penjualan buku tersebut dalam satu bulan. Buku-buku yang mejeng di Rak Bestseller berbeda-beda setiap toko buku. Misalnya di Gramedia Pandanaran Semarang rak buku Bestseller dipenuhi buku novel Ika Natassa, sementara Rak Bestseller Gunung Agung ditempati oleh Milea-nya Pidi Baiq. Lalu di Periplus ada Harry Potter and The Cursed Child. Pokoknya buku yang paling dicari dan paling laris yang dibeli dari toko tersebut.


Lalu giliran si reporter kita bertanya. "Nama saya Devi dan saya suka nulis. Bisakah Mas Emka menjelaskan bagaimana proses perjalanan sebuah naskah menjadi buku? Kepada siapa naskah itu dikirimkan, siapa yang mengedit, dan gaji penulis buku. Kemudian, tolong sebutkan siapa saja penulis yang kalian kagumi. Terimakasih"

"Naskah yang sudah jadi harus dikirimkan ke redaksi" jawab Emka. "Naskah itu akan dibaca, diberi koreksi atau catatan penerbit. Kalau penerbit berminat, mereka akan menghubungi si penulis. Si penulis juga harus sering-sering kontak penerbit, untuk mengetahui status tulisannya sampai mana. Biasanya sih kalau sudah 3 bulan tidak ada kabar, berarti naskah kita ditolak"

Dari penjelasan Emka, semua tulisan yang lolos redaksi nantinya akan dikembalikan lagi ke penulis dengan beberapa revisi. Setelah direvisi oleh penulis, naskah dikirimkan lagi ke redaksi dan editor. Mereka akan mempelajari, bertanya, memberi masukan, diskusi, dan seterusnya, sampai jadilah naskah akhir yang akan dikerjakan setting-nya. Setelah setting selesai, penulis akan melakukan pengecekan final. Kalau semua sudah oke, maka proses cetak dimulai.  Dari percetakan, buku akan didistribusi ke seluruh toko buku di Indonesia, dan waktu yang dibutuhkan untuk distribusi kira-kira dua minggu lamanya.

"Tiap-tiap bulan penerbit sudah punya agenda sendiri tentang buku yang akan diterbitkan. Penting bagi penulis untuk mengenali karakter penerbit yang akan mereka sasar. Penerbit Gagasmedia, contohnya, fokus pada cerita young adult sementara penerbit Bukune fokus pada cerita remaja 20 tahunan. Perlu juga kenal dengan editor buku, sehingga nama kita dikenali diantara pengirim-pengirim naskah lainnya. Setiap bulannya pasti ada 300an naskah yang masuk"

Tentang penulis favorit, Mezty yang hari itu juga menyumbangkan suara merdunya menyanyi lagu Hei Luka, mengatakan bahwa penulis favoritnya termasuk Raditya Dika. "Aku suka novel dan komiknya Radith. Lucu-lucu soalnya. Aku juga suka karya Mas Emka karena pilihan katanya selalu bagus" Sementara Moammar Emka menjawab bahwa penulis favoritnya termasuk John Grisham dan Seno Gumiro Ajidarma.

"Sebenarnya ada satu lagi penulis favorit saya sampai sekarang, namanya Ko Ping Ho. Beliau orang Indonesia, bukan orang Cina, dan merupakan penulis cerita silat. Beliau jago sekali merangkai kata-kata untuk mendeskripsikan gerakan silat, semuanya ditulis mendetail. Satu lagi yang saya kagumi adalah bapak saya. Beliau adalah penceramah, tidak pernah menerbitkan buku, tapi beliau punya buku catatan khusus untuk setiap isi ceramahnya"

Sebagai penutup, apa motivasi dari Mommar Emka untuk para penulis pemula?

"Tulislah apa saja, mulai dari sesuatu yang familiar dengan kita. Si Mezty ini dulu berawal dari nulis blog sejak tahun 2011. Kalau sudah terbiasa menulis, kita bisa merasakan menulis itu seperti candu. Susah mau berhenti. Menulis solo book atau series, tak ada patokannya. Yang penting tulis dulu. Ngeditnya bisa belakangan. Bayangkan royalti yang akan kamu terima jika bukumu diterbitkan. Dan satu lagi, harus konsisten. Jangan berhenti di tengah jalan, apalagi takut kalau karyanya jelek. Belum apa-apa kok sudah takut dan malu dengan tulisan jelek. Maju aja, ayo menulis. Kapan? Sekarang!" pungkasnya di akhir acara.


Nah, bagaimana? Sudah ada gambaran mengenai dunia kepenulisan?
Semoga laporan singkat ini bisa menambah wacana kalian mengenai buku dan penerbitan naskah.
Untuk tulisan acara Kampus Fiksi Semarang, saya akan posting hari Sabtu :)

Tabik!

Please ignore the fact that both of us has chubby feature

Komentar

Postingan populer dari blog ini

i can't believe i have been three years here (part 4 - End)

Chapter #4 : The Planning World  Ah, akhirnya diterusin juga ceritanya. Pada waktu postingan ini pertama dibuat, saya genap tiga tahun kerja di PT USG, hence the title. Kemudian saya lanjutkan ceritanya, lalu sempat vakum, lalu posting lagi cerita lanjutannya, dan vakum lagi cukup lamaaaaaaa di chapter tiga. Ketika chapter empat ini saya susun, saya sudah bekerja di perusahaan ini selama uhmm... delapan puluh sembilan bulan. Sudah menjelang sewindu. Masih ingat kan, hitungan matematika sewindu itu berapa tahun? Gara-gara cerita ini juga, banyak sekali email-email yang masuk ke Gmail dari para calon pelamar kerja yang nanya-nanya soal PT USG kepada saya. Umumnya mereka ini para lulusan baru alias fresh graduate yang lagi nyari kerja, terus mereka lihat lowongan di PT USG sebagai PPMC. Karena nggak paham apa itu PPMC, mereka akhirnya buka Google, terus ngetik keyword "PPMC." Hasil penelusuran mereka salah satunya mengarah ke postingan ini Rata-rata dari mereka adala

Hompimpa (Sebuah puisi dari Tengsoe Tjahjono)

Puisi Hompimpa karangan Tengsoe Tjahjono pertama kali saya ketahui saat kelas 1 SMP. Tepatnya saat classmeeting yang diadakan pasca ulangan umum. Sekolah saya SMP Negeri 6 Semarang mengadakan beberapa lomba. Yah, buat ngisi hari aja sih. Supaya murid-muridnya nggak nganggur gitu. Waktu itu Bu Tamsih (salah satu pengajar Bahasa Indonesia) mengadakan lomba deklamasi puisi Hom-Pim-Pa untuk anak-anak kelas tiga. Syaratnya : saat deklamasi puisi, satu kelas harus maju semua. Tidak boleh hanya satu orang yang maju deklamasi mewakili kelas mereka. Pokoknya, satu kelas maju bareng. Tampil di tengah-tengah lapangan. Ditonton oleh kelas satu dan kelas dua. Asik ya? Tampil rombongan, gitu. Jadi bisa dilihat kekompakan masing-masing kelas. Kalau satu orang salah, ya satu kelas bisa ancur. Pernah ada kelas yang tampil bagus banget di awal. Setelah memasuki bagian tengah-tengah, ada murid yang suaranya cempreng dan cengengesan (sungguh kombinasi yang absurd, hehe) yang tentu saja membuat semua penon

I can't believe i have been three years here

my desk, June 14th 2013 I can't believe i have been three years here. Yep, it is my 3rd year in PT Ungaran Sari Garment. After all the stormy periods, exhausted time, crazy works and many stuffs, I am still alive. Let me emphasize. I - CAN - SURVIVE. Hahaha.. Wow. Waktu cepat sekali berlalu ya? Ceritanya bakal panjang nih. Kalo kamu udah bosen, mending pindah channel aja gih. Biar kayak sinetron, saya akan membagi cerita kilas balik ini dalam beberapa chapter. Dan ini, ladies and gentlement, adalah bagian satu. Chapter #1 : The Beginning Almost three years ago, in 14th June 2010 I was called to be receptionist at Front Office PA1. Nggak kebayang senengnya waktu saya dikasih tau : Kamu keterima. Besok senin mulai masuk ya. Ya Robbi, saya bakal kerja! Setelah hampir satu minggu bolak-balik buat interview, test tertulis, dan test kesehatan, akhirnya besok Senin saya resmi jadi seorang karyawan. Saya bukan anak sekolah lagi! Saya bakal cari duit sendiri! Ay, karam