Langsung ke konten utama

TULIS MENULIS (part 2)

Berikut ini laporan Talkshow Menulis yang disadur dari buku catatan Devi In Disguise tanggal 13 November.

Pelatihan Menulis Kampus Fiksi Spesial Semarang
Pelaksanaan
: Minggu, 13 November 2016 pukul 09.00 - 16.00
Lokasi : Gedung Wanita Semarang
HTM : tidak ada HTM, tinggal datang dan duduk manis, dapat makan siang gratis


Selain diskusi bersama Moammar Emka, pada tahun 2016 saya juga mengikuti pelatihan menulis bersama DivaPress, salah satu penerbit major di Indonesia yang berpusat di Jogjakarta. Acara seharusnya dimulai jam 09.00 tapi aktualnya baru dibuka jam 09.40 ~ forty minutes late than the schedule. Entah kapan manusia-manusia Indonesia belajar menghargai ketepatan waktu dan bebas dari Jam Karet.

Aula Gedung Wanita dipenuhi oleh 200 peserta. Saya duduk di deretan tengah, baris kelima, di belakang cowok bermuka Arab yang ganteng. Hidungnya mancung, rambutnya bergelombang, tubuhnya tinggi. He's perfect, he has everything, except my number. Hahahaha

Acara Kampus Fiksi dibuka oleh Avivah Ve, editor fiksi dari DivaPress kemudian dilanjutkan oleh Reza Novan, salah satu penulis dari DivaPress dan merupakan alumni Kampus Fiksi angkatan pertama. Reza juga bertindak sebagai admin di akun Twitter @KampusFiksi. Selama mengikuti pelatihan menulis di Kampus Fiksi yang diadakan DivaPress, Reza mengaku senang karena bakat menulisnya semakin terasah sekaligus menambah koneksi, ajang latihan, dan menambah teman.

"Yah kali aja ada yang jodoh" tambahnya, yang ditanggapi dengan tawa singkat beberapa peserta. Selama membawakan materi tentang dunia penulis pemula, Reza beberapa kali mencoba melucu (atau seperti itulah yang saya tangkap) tapi sebenarnya nggak lucu-lucu amat. Mungkin jokes yang dia lempar akan lebih lucu kalau ditulis dan disisipkan di buku, tapi saat dilempar di acara ini jokesnya jadi garing. Gaya bicara Reza blak-blakan. Bagus sih, menurut saya. Daripada basa-basi sok kalem atau sok akrab.

"Penyair yang gagal akan menjadi cerpenis," kata Reza di tengah penyampaian materi. "Cerpenis yang gagal, akan menjadi penulis. Penulis yang gagal, akhirnya jadi kritikus. Jadi kritikus adalah tahap akhir dari kepenulisan."

Ditambahkan oleh Reza, menjadi penulis pemula harus punya mental baja yang berlapis-lapis karena pasti akan ada banyak kritikan. salah satu ironi menjadi penyair adalah puisinya berbanding terbalik dengan kehidupannya. Orang-orang yang puisinya bagus, justru kebanyakan hidupnya menderita. Kalau dia bahagia, justru malah puisinya hambar, minim isi. Ironi, ya?

Pada akhir materinya, Reza menegaskan soal plagiarisme. "Plagiarisme itu mencontek habis-habisan dari karya yang ada. Contoh plagiarisme yang jahat adalah ketika kita menyalin cerpen dari majalah lama kemudian dipublish tanpa menyebutkan sumber," katanya. Plagiarisme beda dengan terinspirasi. Novel buatan kita bisa saja terinspirasi dari karya penulis lain tapi nama tokoh, plot, twist, dan ceritanya pasti lain.

"Namanya juga manusia," tambah Reza, "otak kita sering terinspirasi atau dipengaruhi dengan bacaan yang kita lahap. Habis baca novel Radit, misalnya, terus kepala kita terinspirasi dengan yang lucu"

Setelah Reza Novan materi Kampus Fiksi hari itu dilanjutkan oleh CEO DivaPress, Edi AH Iyubenu alias Edi Cahyono yang juga bertindak rektor Kampus Fiksi. Di twitter @edi_akhiles beliau kerap menyampaikan tweet puisi singkat atau info soal buku dan esai.

"Kenapa menulis itu penting?" katanya membuka sesi. "Pertama, karena sebagai manusia kita punya panggilan universal untuk memberi sesuatu pada dunia. Untuk berkarya. Untuk say something. Salah satunya lewat karya tulisan. Kedua, karena menulis adalah alat untuk ekspresi diri dan mengkritisi. Ada yang memang punya naluri menulis, ada juga yang punya naluri komentator. Kuncinya dimana? Bekal pengetahuan"

Senada dengan yang disampaikan oleh para penulis senior lain, Pak Edi juga menambahkan tentang mental baja menjadi penulis pemula. "Belajarlah ilmu Ajian Kebal Kritik. Kamu sudah capek-capek bikin novel 200 halaman, kemudian hanya dikomentari dua kata : novelmu basi! Nggak usah depresi, maju terus"

Dualisme kerap terjadi dalam dunia menulis. Sebagian dipuji, tapi di sisi lainnya dicaci-maki. Itu sudah resiko orang berkarya. Para penulis senior pun masih banyak yang kena kritik. Karya mereka dipuja sebagian orang, tapi dijatuhkan oleh beberapa orang lainnya. Berikutnya Pak Edi menjelaskan tentang realita jadi penulis.

"Saya udah capek ngomongin teknik nulis terus. Apa itu plot, apa itu point of view, apa itu protagonis. Udahlah, kalian juga udah pada ngerti. Percuma juga saya ngajarin kayak gitu. Kalian udah diajarin juga nggak nulis-nulis" katanya yang kemudian disambut tawa peserta yang sebagian besar merasa tersindir. "Makanya saya mending ngajarin sesuatu yang belum ada di seminar nulis atau buku panduan" lanjut Pak Edi. Beliau kemudian memaparkan suka duka dan resiko jadi penulis.

"Coba saya tanya, di Indonesia lebih banyak penulis yang melarat atau penulis yang sukses?"

"Yang melarat" jawab peserta.

"Lha terus kenapa kalian masih mau jadi penulis?" timpal Pak Edi yang membuat penonton tergelak. Beliau kembali meneruskan. "Pada dasarnya orang pengen jadi penulis karena tiga hal : biar beken, sebagai panggilan jiwa, dan sebagai profesi atau penghasilan. Tapi saran saya, jangan buru-buru menjadikan menulis sebagai sumber penghasilan"

Pak Edi kemudian mencontohkan beberapa penulis, esais, kolumnis, yang hidupnya tidak berkecukupan bahkan berobat pun tak bisa karena tak ada penghasilan lagi dari menulis. Jika karya mereka dimuat di koran, honor yang diterima pun tak seberapa. Jadi harus bagaimana? Sebaiknya jadikan nulis itu sebagai passion, bukan main income.

"Saya nggak menakut-nakuti kalian lho, ya. Saya memaparkan realita. Kecuali kamu JK Rowling, Tere Liye, atau bahkan Raditya Dika, mending kamu cari kerja. Kalau penjualan bukumu ndak bagus, puisi dan cerpen karyamu ditolak di koran, padahal dapurmu harus tetap ngebul, sampeyan meh piye?"

Di tengah persaingan buku-buku dari penulis lokal lainnya, penulis harus mampu menghasilkan karya yang beda. "Darwis Tere Liye adalah contoh penulis yang memanfaatkan momentum" kata Pak Edi. Bagi penikmat literasi lokal, nama Tere Liye sudah sangat populer dengan novel-novel fiksi yang dibumbui nilai moral dan spiritual. Pak Edi menuturkan bahwa tahun 2009 toko buku dipenuhi dengan novel-novel yang judulnya gabungan antara roman + diksi islami. Ayat-ayat Cinta, Munajah Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Syahadat Cinta, Bidadari-Bidadari Surga, Dalam Mihrab Cinta, dan novel-novel lain tentang kisah cinta yang dilatari agama. Kemudian muncul Hafalan Salat Delisa, karya Tere Liye. Judulnya memang masih 'berbau' diksi keagamaan, tapi ceritanya beda dari novel mainstream cinta yang islami yang beredar di toko buku. Orang akhirnya tertarik membeli Hafalan Salat Delisa dan buku itu laku keras, dibuat ke versi film.

(note : Saya sendiri sudah membaca Hafalan Salat Delisa dan beberapa buku-buku Tere Liye yang lain. Dan enggak, saya enggak begitu suka karena dia hampir selalu menempatkan figur protagonisnya seperti nabi yang tanpa cela).

Di akhir acara Kampus Fiksi Semarang ini, para peserta langsung diminta praktik membuat cerita pendek. Boleh ditulis di kertas folio, boleh juga di laptop atau tablet. Para peserta diberi waktu 1 jam untuk menulis, kemudian hasilnya dinilai dan dikomentari oleh kakak-kakak alumni Kampus Fiksi. Saya kembali menuliskan cerpen berjudul Ben, tentang anak baru di sekolah yang cakep dan suka kucing. Barangkali kamu mau baca, link-nya di sini.

Mbak Ayu, alumni KampusFiksi yang waktu itu membaca cerpen saya berkomentar. "Overall sudah bagus, aku suka twist-nya. Deskripsi para tokohnya, setting, udah jelas. Yang perlu diperhatikan kayaknya teknis aja, menurutku. Penulisan istilah bahasa Inggris, kata depan, dan awalan. Beberapa kalimat terasa seperti dialog tapi nggak ada tanda petiknya. Kalau memang bukan dialog dan ingin memberi kesan bahwa kalimat itu dibatin atau diucapkan di benak, seharusnya diberi keterangan tambahan misalnya batinku, pikirku, sehingga tidak menjadi bias ketika dibaca. Tapi selebihnya udah bagus banget kok"

Menutup acara ini, Pak Edi mengingatkan bahwa Kampus Fiksi edisi reguler akan diadakan sebentar lagi. Ini salah satu kesempatan bagus untuk mengasah kemampuan menulis terutama kalau ingin menerbitkan novel. "Dan ingat, sebagai penulis kita diminta bertanggungjawab terhadap tulisan kita. Dan yang terakhir, tetaplah rendah hati dan tetap belajar terus" kata beliau yang disambut tepuk tangan meriah di akhir acara.


reporter kita bersama Pak Edi AH Iyubenu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

i can't believe i have been three years here (part 4 - End)

Chapter #4 : The Planning World  Ah, akhirnya diterusin juga ceritanya. Pada waktu postingan ini pertama dibuat, saya genap tiga tahun kerja di PT USG, hence the title. Kemudian saya lanjutkan ceritanya, lalu sempat vakum, lalu posting lagi cerita lanjutannya, dan vakum lagi cukup lamaaaaaaa di chapter tiga. Ketika chapter empat ini saya susun, saya sudah bekerja di perusahaan ini selama uhmm... delapan puluh sembilan bulan. Sudah menjelang sewindu. Masih ingat kan, hitungan matematika sewindu itu berapa tahun? Gara-gara cerita ini juga, banyak sekali email-email yang masuk ke Gmail dari para calon pelamar kerja yang nanya-nanya soal PT USG kepada saya. Umumnya mereka ini para lulusan baru alias fresh graduate yang lagi nyari kerja, terus mereka lihat lowongan di PT USG sebagai PPMC. Karena nggak paham apa itu PPMC, mereka akhirnya buka Google, terus ngetik keyword "PPMC." Hasil penelusuran mereka salah satunya mengarah ke postingan ini Rata-rata dari mereka adala

Hompimpa (Sebuah puisi dari Tengsoe Tjahjono)

Puisi Hompimpa karangan Tengsoe Tjahjono pertama kali saya ketahui saat kelas 1 SMP. Tepatnya saat classmeeting yang diadakan pasca ulangan umum. Sekolah saya SMP Negeri 6 Semarang mengadakan beberapa lomba. Yah, buat ngisi hari aja sih. Supaya murid-muridnya nggak nganggur gitu. Waktu itu Bu Tamsih (salah satu pengajar Bahasa Indonesia) mengadakan lomba deklamasi puisi Hom-Pim-Pa untuk anak-anak kelas tiga. Syaratnya : saat deklamasi puisi, satu kelas harus maju semua. Tidak boleh hanya satu orang yang maju deklamasi mewakili kelas mereka. Pokoknya, satu kelas maju bareng. Tampil di tengah-tengah lapangan. Ditonton oleh kelas satu dan kelas dua. Asik ya? Tampil rombongan, gitu. Jadi bisa dilihat kekompakan masing-masing kelas. Kalau satu orang salah, ya satu kelas bisa ancur. Pernah ada kelas yang tampil bagus banget di awal. Setelah memasuki bagian tengah-tengah, ada murid yang suaranya cempreng dan cengengesan (sungguh kombinasi yang absurd, hehe) yang tentu saja membuat semua penon

I can't believe i have been three years here

my desk, June 14th 2013 I can't believe i have been three years here. Yep, it is my 3rd year in PT Ungaran Sari Garment. After all the stormy periods, exhausted time, crazy works and many stuffs, I am still alive. Let me emphasize. I - CAN - SURVIVE. Hahaha.. Wow. Waktu cepat sekali berlalu ya? Ceritanya bakal panjang nih. Kalo kamu udah bosen, mending pindah channel aja gih. Biar kayak sinetron, saya akan membagi cerita kilas balik ini dalam beberapa chapter. Dan ini, ladies and gentlement, adalah bagian satu. Chapter #1 : The Beginning Almost three years ago, in 14th June 2010 I was called to be receptionist at Front Office PA1. Nggak kebayang senengnya waktu saya dikasih tau : Kamu keterima. Besok senin mulai masuk ya. Ya Robbi, saya bakal kerja! Setelah hampir satu minggu bolak-balik buat interview, test tertulis, dan test kesehatan, akhirnya besok Senin saya resmi jadi seorang karyawan. Saya bukan anak sekolah lagi! Saya bakal cari duit sendiri! Ay, karam