Langsung ke konten utama

Retrospective : What I got from 2016

Hello, everybody, Devi in Disguise is back. Yes, I know it has been over than a month since the last time I made a post in 2016. So, how was your New Year celebration? Apa kalian bikin acara bakar-bakar jagung, pergi camping ke gunung untuk menyambut matahari pertama tahun baru, atau basically kalian seperti saya, yang menganggap selebrasi tahun baru adalah hal yang monoton, selalu sama dari tahun ke tahun, dan kemudian lebih memilih melewatkan pergantian waktu dengan tidur ?

Seharusnya postingan ini diterbitkan pas awal tahun agar lebih greget dan pas dengan momentumnya. Tapi sebagai makhluk yang akhir-akhir ini gampang tergoda untuk menyimak Twitwar para pendukung Ahok, Anies, dan AHY, saya ternyata belum bisa menepati salah satu resolusi tahun lalu untuk rutin mengisi blog.

Kita sudah bersama-sama melewati 31 hari di awal tahun, and yes we all survived, didn't we? Telah tiba bulan Februari yang lebih pendek (itu berarti gajian bisa lebih cepat, yeah!!) yang sebentar lagi akan diisi dengan hal-hal yang berkaitan dengan Valentine, mulai dari film-film bertema cinta, dekorasi bernuansa pink, orang-orang yang mendadak jadi romantis dan sok puitis, sampai himbauan bahwa Hari Kasih Sayang itu merusak akidah dan haram. Untuk poin yang terakhir ini, sepertinya grup Whatsapp agak sepi dari broadcast haram merayakan Valentine, ya? Mungkin sedang fokus dengan isu rasisme dan Pilkada DKI.


Secara umum saya menganggap bahwa tahun 2016 adalah tahun paling rumit dan lebih gila dari tahun yang sudah-sudah. Perdebatan tentang agama sepertinya tidak habis-habis. Salah ngomong sedikit langsung dicecar. Di zaman media sosial seperti sekarang, kata-kata bisa discreenshoot dan diputarbalikkan oleh orang-orang bersumbu pendek. Apa-apa dikaitkan dengan PKI. Logo Bank Indonesia diklaim mengandung simbol palu arit lah, desain uang yang baru dikatakan sama seperti duit Tiongkok lah. Celoteh dan cemooh yang ditujukan bagi beberapa public figure mengalir deras tanpa filter. Banyak banget yang kurang piknik.

Dari segi politik, tahun ketiga pemerintahan Presiden Joko Widodo ini mengalami banyak goncangan. Mulai dari dicopotnya Anies Baswedan sebagai Menteri Pendidikan (kemudian beliau mencoba peruntungan di jalur Pemilihan Gubernur Jakarta), operasi tangkap tangan kasus korupsi oleh KPI yang melibatkan mantan pejabat negara, dan tentu saja berkali-kali demo di Jakarta menentang Basuki Tjahaja Purnama, yang katanya dilakukan atas nama agama, dikomando oleh ormas yang katanya bela agama. I am a Muslim, but I will not give my personal comment about those demonstration act since it's going to be the neverendingd debate and people will start questioning my aqidah. Okay, skip.


Selain hal yang memusingkan, tahun 2016 juga memberi saya kesempatan untuk mengenyam pendidikan lagi. Yes, akhirnya kesampaian juga belajar bahasa Inggris. Nilai semester dua sudah keluar dan hasilnya.. not bad. Menurun dari nilai semester satu, but I'm still fine. Semoga saja saya tidak bosan dengan mata pelajaran yang saya tekuni.

Another thing that I got from 2016 : nonton acara Stand up Comedy Special show dari tiga komika Indonesia. Yang pertama adalah Kemal Palevi, juara dua ajang Standup Comedy KompasTV season 2 menghadirkan show berjudul Terkemal di Aston Hotel Semarang pada 9 April 2016. Semarang adalah kota pertama yang dipilih kemudian berlanjut ke Terkemal show kota Surabaya, Serang, Cianjur, Bengkulu, Tenggarong, Balikpapan, Sampit dan berakhir di Jakarta. Dalam special show ini Kemal Palevi masih membawa materi tentang relationship, namun pembawaannya semakin matang dan lebih lucu.

Berikutnya di bulan Agustus 2016 saya menonton Standup comedy show "Juru Bicara" oleh Pandji Pragiwaksono yang diadakan di aula Driyarkara, Universitas Sanata Dharma Jogjakarta. Pertunjukan yang berlangsung selama 1.5 jam ini bisa dibilang yang paling serius dan paling ramai (dihadiri 2000 orang lebih!) dan menjadi bagian dari Standup Comedy Juru Bicara World Tour di lima benua. Pada penampilannya di Jogjakarta, Pandji ditemani oleh Afif Xavi komika dari Tegal yang juga peserta Standup Comedy KompasTV season 5 dan kemudian mencoba ikut Standup Comedy Academy Indosiar. Materi Pandji dalam Juru Bicara menyapu semua hal : politik, hukum, pendidikan, kewarganegaraan, enterpreunership, ekosistem, teknologi, budaya, keluarga, dan relationship. Puncak rangkain standup comedy special show ini adalah Juru Bicara Jakarta tanggal 10 Desember 2016.

Selain Terkemal dan Juru Bicara, saya juga menyaksikan penampilan Irvan Kartawiria, Radit Vent, dan Unggul HN Utomo --ketiganya adalah dosen dalam acara "Dosen Bersatu Tak Bisa Disalahkan" tanggal 8 Oktober 2016 di aula Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Menarik sekali menonton ketiga pengajar ini tampil di panggung dan mengupas bidang mereka dari angle yang kocak. Irvan Kartawiria, ST., M.Sc. adalah scientist dan dosen Life Science dari Swiss German University (Tangerang), sementara Raditya Adipramono S.S., M.Pd. BI alias Radit Vent (vent = ventriloquist) adalah dosen Bahasa Inggris di Universitas Islam Indonesia - Yogyakarta, dan Pak Unggul HN Utomo, S.Psi.,M.Si adalah dosen Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Predikatnya sangar-sangar, tapi di panggung mereka melepas tawa bersama. Tuh, kata siapa dosen nggak bisa ngelucu?


Supaya sahih, ini bukti foto reporter kita dengan para komika dari tiga show diatas.
untuk para Kemalicious, saya izin foto sama idola kalian ya























Mas Juru Bicara















i can't believe Pak Irvan is following my Twitter @AlwaysDevi


















"You can't touch Lola, she's special" said Pak Radit



















with Pak Unggul, yang ternyata alumni SMA Loyola Semarang
















Selain pertunjukan Standup Comedy, tahun 2016 juga ada tiga acara Talkshow yang saya ikuti. Yang pertama MiniTalkshow dan Diskusi bersama Moammar Emka di Gedung Wanita, 10 April 2016 yang diselenggarakan oleh panitia Pameran Buku Semarang. Hadir bersama Moammar Emka adalah Mezty Mez, artis sinetron yang juga sedang mempromosikan novel barunya. Selengkapnya silakan buka link ini.

Acara kedua yang saya ikuti masih bertema kepenulisan, yaitu KampusFiksi Spesial Semarang 13 Nov 2016 di Gedung wanita, pas dengan acara pameran buku dan bekerjasama dengan penerbit DivaPress. Acara pelatihan menulis ini dihadiri oleh 200 peserta (gratis) dan dihadiri oleh Edi AH Iyubenu selalu CEO Penerbit DivaPress, editor Avivah Ve dan para alumni Kampus Fiksi sebelumnya. Setiap peserta yang ikut tidak dipungut biaya apapun, malah diberi makan siang. Senang, ya? DivaPress emang top!
Andai kalian ingin membaca laporannya, silakan klik di sini.

Selain dua event tadi, saya juga mengikuti Meet and Greet dan Talkshow The Alpha Girl's Guide with Henry Manampiring di Gramedia Jogja, tanggal 26 Juni 2016. Reporter kita harus meluncur ke Jogja lagi untuk mengikuti acara ini, dan worth it karena banyak hal yang baru yang disampaikan tentang Wanita dan Pendidikan. Laporannya akan saya post di blog dua minggu lagi.

Dari dunia film (I'm learning to be a moviegoer here) tahun 2016 saya sudah nonton 31 film Hollywood di bioskop. Terhitung dari Januari, saya udah nonton The Hateful Eight, The Revenant, Zootopia, Captain America : Civil War, X-MEN : Apocalypse, Now You See Me 2 : Second Act, The Conjuring 2 : Enfield Poltergeist, Independence Day 2 : Resurgence, Star Trek Beyond, Jason Bourne, Suicide Squad, Alice In Wonderland 2 : Through The Looking Glass, Ghostbuster, Lights Out, The Secret Life of Pets, Don't Breathe, Sully, The Magnificent Seven, Miss Peregrine's Home for Peculiar Children, Storks, Inferno, The Accountant, Marvel's Doctor Strange, Jack Reacher : Never Go Back, Fantastic Beasts and Where to Find Them, Hacksaw Ridge, Keeping Up with The Joneses, Allied, Moana, SING dan Assasin's Creed. Separuh diantaranya ada yang bagus, separuhnya lagi jeblok. Bahkan untuk ukuran film Hollywood yang megah, kalo skripnya jelek ya tetep aja filmnya kacau. Sebagian film ini akhirnya masuk nominasi (dan bahkan menang) penghargaan film Golden Globe dan Oscar. Sebagian lainnya dicemooh di Razzie Awards.


Bagi perfilman Indonesia tahun 2016 termasuk tahun yang menggembirakan secara finansial. Tercatat ada 10 film dengan jumlah penonton diatas 2 juta, sebuah angka yang fantastis mengingat dua tahun terakhir ini film Indonesia paling laris angka penontonnya hanya berkisar 1 jutaan. Tahun 2016 Indonesia juga menorehkan sejarah dalam Festival Film Cannes dengan merebut gelar film pendek terbaik di Semaine de la Critique 2016 atas film Prenjak : In The Year of Monkey karya Wregas Bhanuteja. Belum pernah ada film Indonesia yang menang Cannes.


How about you? Tahun 2016 kamu nonton berapa film? Film di bioskop lho, ya. Yang kamu tonton di Youtube, HOOQ, apalagi download ilegal mah nggak usah dihitung!

Mungkin diantara kalian masih ada yang punya pandangan negatif soal film Indonesia. You are not alone. Temen-temen saya juga banyak kok, yang ogah-ogahan kalau diajak nonton film dari negeri sendiri. "Ah, film Indonesia tuh nggak ada yang bagus. Isinya cuma horor murahan sama seksi-seksi" kata mereka. Orang yang ngomong kayak gini sih biasanya langsung saya coret dari daftar teman.


Kalau diantara kalian juga ada yang masih stuck dengan pemikiran film Indonesia isinya cuma horor esek-esek dan cinta-cintaan, mungkin kalian harus nengok kalender. Siapa tahu kalian belum nyadar kalo sekarang sudah tahun 2017 dan Presiden kita adalah seorang pria dari Solo yang menggilai musik Metallica. Memang benar dulu film Indonesia sempat dipenuhi oleh film horor kelas B yang judulnya alih-alih bikin ngeri malah bikin kasihan, yang menampilkan talent bahenol dan ceritanya bikin frustasi bukannya bikin jiper. Tapi itu dulu, tahun 2009 sampai 2011. Selama kurun waktu tersebut bioskop kita disambangi dengan para pocong, kuntilanak, dan arwah gentayangan lainnya, dengan cerita klenik yang seringnya nggak makes sense.
Tapi toh diantara film-film horor esek-esek ini, kita juga punya Rumah Dara (2010) yang sekarang jadi film cult dan referensi film slasher Indonesia berikutnya. Ada juga Lentera Merah dari Hanung Bramantyo yang bikin saya merinding sendiri tiap ada lagu Puspa Dewi. Ada Kuntilanak-nya Rizal Mantovani, yang walaupun nggak bagus-bagus amat tapi terhitung rapi plotnya. Belum termasuk adegan Julie Estelle muntah belatung dan tembang macapat Durma berjudul Lingsir Wengi yang secara tidak resmi dipercaya jadi lagu pemanggil setan.


Sekarang kita sudah masuk tahun 2017, sudah enam tahun berlalu, sudah dua kali ganti presiden, dan perfilman Indonesia mulai menggeliat bangun. Banyak cerita fresh, tema lebih beragam, plot twist yang lebih berani, banyak horor thriller yang berkelas, dipuji di festival dunia, dan film action yang akhirnya disiarkan di bioskop luar negeri. Para sineas kita sudah banyak yang berani keluar dari comfort zone. Kehidupan hide-and-seek lesbian? Kita bisa nonton Selamat Pagi, Malam yang literally menjadi film Indonesia tentang Jakarta yang paling mengena sejak Eliana, Eliana. Film ngomongin kerusuhan Mei 1998? Ada. Film clash-arguement antara orangtua dan anak? Banyak. Film tentang disaster dengan CGI ala The Day After Tomorrow? Ada.

See? Banyak banget perubahan yang sudah terjadi. Orang-orang yang masih menganggap film Indonesia itu jelek-jelek, mungkin nggak pernah liat film akhir-akhir ini. Mungkin film terakhir yang mereka tonton di bioskop adalah Pocong Keramas-nya Dewi Perssik.

Di tahun 2016 ini saya udah nonton ehem... 13 film Indonesia. Jumlah yang sedikit sekali, soalnya ada lebih dari 50 film Indonesia yang dirilis sepanjang 2016. Setiap hari Kamis pasti ada film Indonesia baru di bioskop, kadang malah dua film.


Di awal tahun saya nonton A Copy of My Mind karya sutradara Joko Anwar, yang dapat pujian di Toronto International Film Festival dan mengantarkan Joko Anwar pada Piala Citra pertamanya. Kisah cinta mbak-mbak karyawan salon dengan mas-mas pembuat subtitle DVD bajakan, dengan setting Jakarta pinggiran dan diberi intrik rekaman video pejabat yang korupsi yang akhirnya membuat hidup tokoh utamanya tak sama lagi.

Saya nonton SITI, film berbahasa 100% Jawa, disajikan dengan rasio 4:3 dan warna hitam putih. Kalau kamu nggak nonton filmnya, kamu melewatkan salah satu film paling jujur tentang nasib perempuan pinggiran yang SMA saja tak lulus. Filmnya menang Piala Citra kategori Film Terbaik 2015.

Saya nonton Comic 8 : Casino Kings part 2 dan berakhir dengan rasa jengkel karena filmnya makin lama makin nggak jelas. Dan saya belajar bahwa memakai 50 komika untuk syuting di film tidak menjamin filmnya bakal lucu.

Saya nonton Ada Apa Dengan Cinta 2 dan meskipun senang karena filmnya mengobati rasa kangen pada Rangga dan Cinta, ternyata dialognya banyak yang corny. Dan betapa peran Alya harusnya ada di film ini.

Saya nonton Aisyah Biarkan Kami Bersaudara, yang walaupun posternya mirip-mirip acara Rahasia Ilahi (dan ada salah ketik, pula!) ternyata filmnya membahas toleransi dengan sangat bagus dan menjadi film yang paling dipuji-puji tahun ini.

Saya nonton My Stupid Boss, film culture-clash paling kocak dan menurut saya menjadi penampilan Reza Rahadian paling baik dan paling total diantara filmnya yang lain.

Saya nonton Tiga Dara karya sutradara Usmar Ismail yang aslinya diproduksi tahun 1956 kemudian direstorasi 4K sehingga bisa dinikmati tahun 2016 dengan gambar yang bening dan dirilis terbatas di beberapa bioskop. Kalau kamu nggak nonton filmnya, kamu melewatkan salah satu masterpiece film bersetting ibukota tempo doeloe yang paling cetar namun masih terasa relevan problemnya tentang keluarga masa kini. Lagu-lagu soundtracknya sangat manis dan kental nuansa orkestra yang kemudian diaransemen ulang oleh komposer Indra Perkasa dan Mondo Gascoro.

Pada Lebaran 2016 saya nonton film Rudy Habibie, yang disutradarai Hanung Bramantyo dan lagi-lagi menjadi salah satu film biopik yang mediocre walaupun settingnya sampai luar negeri. Dan jangan percaya komentar pejabat "Film ini punya pesan moral yang bagus" karena biasanya filmnya bakal membosankan.

Saya nonton Ini Kisah Tiga Dara, karya Nia Dinata yang konon genre-nya Komedi Musikal tapi saya nggak menangkap dimana letak komedinya. Belum termasuk penempatan lagu yang kurang pas dan merusak mood adegan. Padahal filmnya begitu grande dan colorful, belum lagi alam di Maumere Flores yang menjelma menjadi Kepulauan Bahama dari timur.

Saya nonton Athirah dari Miles Film, sebuah biopik perempuan Bugis bernama Athirah, ibunda Jusuf Kalla, yang diadaptasi dari buku berjudul sama yang ditulis Alberthiene Endah. Poster filmnya begitu manis, kalem, dan seakan memberi jari tengah pada desainer poster film Indonesia lainnya yang pengennya sok-sok sangar bikin poster padahal cuma bermodal font gratisan dari WordArt. Film Athirah berjaya di berbagai ajang penghargaan dan akting Cut Mini dipuji-puji. I agree for that.

Saya nonton film Headshot, yang murni saya tonton karena reputasi sutradara Mo Brothers membuat film Rumah Dara. Kalau kamu nggak liat Headshot, kamu melewatkan film action yang koreografi martial art-nya sangat ciamik dan bentukan penjahatnya kayak anak hipster yang doyan ngoleksi vinyl David Bowie. Film Headshot memang tidak sebagus perkiraan saya karena banyak plot hole, tapi setidaknya respon penonton di festival luar negeri cukup bagus.

Saya nonton The Professional karya Affandi Abdul Rahman, yang ternyata isi filmnya tidak profesinal sesuai judul. Tapi setidaknya film ini mengusung tema heist ala-ala Ocean's Eleven dan Italian Job yang sebelumnya jarang diusung sineas lokal lain.

Menjelang akhir tahun saya nonton Cek Toko Sebelah, yang menjadi pembuktian Ernest Prakasa sebagai sutradara dan penulis skrip yang lebih matang dan mampu mengobrak-abrik mood penonton seperti roller coaster. Kalau kamu nggak nonton Cek Toko Sebelah, kamu melewatkan film keluarga paling manis, paling jujur, dan humornya disajikan secara tulus, bukan incidental, walaupun dibintangi 20an komika.

Dan judul-judul yang saya tonton diatas belum seberapa dibandingkan film-film lain yang saya lewatkan : Ada film SUNYA, Terjebak Nostalgia (debutnya Raisa di layar lebar), Aach..Aku Jatuh Cinta (dari Garin Nugroho), Warkop DKI Reborn, Shy Shy Cat, Terpana, Me Vs Mami, Catatan Dodol Calon Dokter, Wonderful Life, Surat Untukmu, Tiga Srikandi, Hangout, Bangkit, Sabtu Bersama Bapak, JUARA, Raksasa Dari Jogja, Jingga, bahkan Surat Dari Praha yang akhirnya disubmit ke Panitia Piala Oscar walaupun nggak lolos, dan masih ada puluhan film lain yang dirilis.
Banyak banget film bagus yang nggak sempat saya tonton.


Diantara kalian mungkin ada yang membatin "ih, Devi pamer, Devi pamer.." waktu saya nyebutin daftar judul film diatas. It's fine, tidak apa-apa. I don't care what do you want to call me. I just want to show you that you missed one helluva show by ignoring movies from our own filmakers.
Siapa lagi yang mau peduli sama film lokal kalau bukan kita sendiri? Mungkin kamu berkilah "ah nggak sempet nontonnya" yang by the way itu alasan paling menyedihkan karena kalo kalian beneran mau nonton, pasti bisa dan ada waktunya. Akan selalu ada orang-orang yang mengantre di bioskop menonton filmnya Marvel dan tanpa pernah ngeh kalo Indonesia bisa bikin film yang cantik kayak A Copy of My Mind. Kepedulian nonton film lokal dimulai dari kesadaran kita sebagai penonton, bukan malah download secara ilegal atau mantengin Youtube dan kasih komen "kapan diupload full filmnya nih?"

Dan diatas semuanya, tahun 2016 memberi saya pelajaran penting : Nggak Usah Baper. Baper dalam pertemanan, misalnya tidak gampang tersinggung jika beberapa teman ada yang kumpul bareng tanpa mengajak. Baper sama kakak kelas yang mengantar pulang ke rumah bahkan rela berhenti berkali-kali untuk berteduh karena dia cuma bawa jas hujan ukuran personal. Baper sama temen cowok yang membelikan es krim Sundae waktu nonton film berdua. Atau baper terhadap kerjaan. Bagaimana caranya bekerja profesional dan tidak tersinggung kalau ditegur atasan. Karena baper akan berpangkal pada kekecewaan, lalu kekecewaan akan berujung pada rasa ketidakpercayaan. Ketidakpercayaan akhirnya mengikis keberanian. Dan menurut penulis Pramoedya, kalau tidak ada rasa keberanian, lantas dengan apa lagi kita mau menjalani hidup?


In the meantime, I wish you all have a great 2017 journey ahead. I'd better have a bigger heart because I believe 2017 is going to be a bumpy ride. Cheers! 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

i can't believe i have been three years here (part 4 - End)

Chapter #4 : The Planning World  Ah, akhirnya diterusin juga ceritanya. Pada waktu postingan ini pertama dibuat, saya genap tiga tahun kerja di PT USG, hence the title. Kemudian saya lanjutkan ceritanya, lalu sempat vakum, lalu posting lagi cerita lanjutannya, dan vakum lagi cukup lamaaaaaaa di chapter tiga. Ketika chapter empat ini saya susun, saya sudah bekerja di perusahaan ini selama uhmm... delapan puluh sembilan bulan. Sudah menjelang sewindu. Masih ingat kan, hitungan matematika sewindu itu berapa tahun? Gara-gara cerita ini juga, banyak sekali email-email yang masuk ke Gmail dari para calon pelamar kerja yang nanya-nanya soal PT USG kepada saya. Umumnya mereka ini para lulusan baru alias fresh graduate yang lagi nyari kerja, terus mereka lihat lowongan di PT USG sebagai PPMC. Karena nggak paham apa itu PPMC, mereka akhirnya buka Google, terus ngetik keyword "PPMC." Hasil penelusuran mereka salah satunya mengarah ke postingan ini Rata-rata dari mereka adala

Hompimpa (Sebuah puisi dari Tengsoe Tjahjono)

Puisi Hompimpa karangan Tengsoe Tjahjono pertama kali saya ketahui saat kelas 1 SMP. Tepatnya saat classmeeting yang diadakan pasca ulangan umum. Sekolah saya SMP Negeri 6 Semarang mengadakan beberapa lomba. Yah, buat ngisi hari aja sih. Supaya murid-muridnya nggak nganggur gitu. Waktu itu Bu Tamsih (salah satu pengajar Bahasa Indonesia) mengadakan lomba deklamasi puisi Hom-Pim-Pa untuk anak-anak kelas tiga. Syaratnya : saat deklamasi puisi, satu kelas harus maju semua. Tidak boleh hanya satu orang yang maju deklamasi mewakili kelas mereka. Pokoknya, satu kelas maju bareng. Tampil di tengah-tengah lapangan. Ditonton oleh kelas satu dan kelas dua. Asik ya? Tampil rombongan, gitu. Jadi bisa dilihat kekompakan masing-masing kelas. Kalau satu orang salah, ya satu kelas bisa ancur. Pernah ada kelas yang tampil bagus banget di awal. Setelah memasuki bagian tengah-tengah, ada murid yang suaranya cempreng dan cengengesan (sungguh kombinasi yang absurd, hehe) yang tentu saja membuat semua penon

I can't believe i have been three years here

my desk, June 14th 2013 I can't believe i have been three years here. Yep, it is my 3rd year in PT Ungaran Sari Garment. After all the stormy periods, exhausted time, crazy works and many stuffs, I am still alive. Let me emphasize. I - CAN - SURVIVE. Hahaha.. Wow. Waktu cepat sekali berlalu ya? Ceritanya bakal panjang nih. Kalo kamu udah bosen, mending pindah channel aja gih. Biar kayak sinetron, saya akan membagi cerita kilas balik ini dalam beberapa chapter. Dan ini, ladies and gentlement, adalah bagian satu. Chapter #1 : The Beginning Almost three years ago, in 14th June 2010 I was called to be receptionist at Front Office PA1. Nggak kebayang senengnya waktu saya dikasih tau : Kamu keterima. Besok senin mulai masuk ya. Ya Robbi, saya bakal kerja! Setelah hampir satu minggu bolak-balik buat interview, test tertulis, dan test kesehatan, akhirnya besok Senin saya resmi jadi seorang karyawan. Saya bukan anak sekolah lagi! Saya bakal cari duit sendiri! Ay, karam