Langsung ke konten utama

Bidadari Datang ke Kota kami

ini cerpen yang pernah saya baca di Suara Merdeka, edisi hampir 10 tahun lalu. Bahkan waktu itu korannya tak lengkap. Maklum, namanya saja koran nemu.
Waktu tetangga bersih-bersih, beberapa koran ada yang dibuang. Dasarnya suka baca, maka begitu ada koran yang terbuang, saya langsung memungut dan menemukan cerpen ini.

Yang saya ingat sampai sekarang tentang cerpen ini adalah bagian akhirnya, yaitu ketika anak-anak desa kehilangan kaki, tangan dan kepala setelah Sang Bidadari lenyap. Saya pikir, wah seram sekali. Seperti santet.
Waktu itu masih kelas 6 SD, sehingga saya belum tau istilah cerpen surealis. Taunya serem aja.

Beberapa waktu lalu saya gooling (yes, i must thank Google for providing so many useful website) dan mencari-cari cerpen ini. Ternyata, ada blogger lain yang juga 'menyalin' Cerpen ini dan memajang di blog-nya.

Kamu juga mau tau isi cerpennya? Simak dan baca yang berikut ini.

SUATU HARI PERNAH ADA BIDADARI DATANG KE KOTA KAMI


Sebuah Cerpen karya Ikun Eska

Suatu kali pernah, ada bidadari datang di kota kami. Turun dengan cahaya tali malam yang melengkungi langit dan bermula pada cakrawala. Kanak-kanak histeris ketika itu. Mereka yang tengah bermain dengan embun seketika berteriak.

"Ada ibu-ibu dengan lengan di sayapnya!"

Kami, yang tua-tua, pun segera keluar mendapati kanak-kanak yang telah menari, -- masih tersisa di kaki bidadari garis cahaya yang putih warnanya.

Begitulah pada mulanya.

Ia datang pada suatu malam dan menari bersama anak-anak kami di atas rumputan yang bercahaya oleh embun. Kami tak tahu bagaimana anak-anak kami segera saja bisa menirukan geraknya: Meliuk di punggung, menjejak bumi dengan tumitnya, mengepak tangan laksana mega.

Tapi itulah yang terjadi.

Dan ia tak hanya menari saja.

Ia sentakkan sayapnya yang menyerupai selendang untuk mencipta bunyi.

Dan bunyi dipungut angin dibawa ke lereng-lereng bukit dan dipantulkan dan bersuit di antara daun bambu, pohon palm dan batang ilalang, menciptakan gema yang bertalu seperti bunyi tetabuhan.

Dan sayap yang putih itu, yang seperti garis kabut menjadi cahaya yang berpendar-pendar laksana kilat dalam liukan-liukannya. Berpendar di kelopak embun, berpendar di keringat dahi, keringat lengan, keringat bibir, keringat telinga dan saling berpantul. Berpantul. Dan saling berpantul.

Tanah lapang itu jadi bermandi cahaya putih. Cahaya putih yang lebih putih dari putih. Cahaya putih yang bermula dari sayap bidadari yang terpantul keringat dahi kanak-kanak, terpantul keringat lengan kanak-kanak, keringat leher kanak-kanak. Terpantul ke rumputan karena embun. Ke daun-daun murbei, daun-daun angsoka, kenanga. Dan kanak-kanak terus menari. Bidadari terus menari. Rumputan ikut menari. Pohon-pohon palm menari. Sampai dini hari.

Lalu Lintang Luku itu melempar cahaya. Memercik di angkasa. Saling bersilang dan bersabung. Sesaat kanak-kanak berhenti dari menari. Kami yang tua-tua cemas menatapnya. Percik cahaya itu sesaat reda dan sunyi yang dilahirkan segera diisi siulan angin dari arah cakrawala. Siulan yang terus menggema dan semakin menggema dan mengurung kami. Mengurung dan berputar-putar mengelilingi tanah lapang kami. Anak-anak masih berhenti menari. Kami yang tua-tua cemas menanti.

"Tak apa! Itu hanya pertanda aku harus pergi!" jelas bidadari sambil masih menari sendiri.

Bidadari itu pun kemudian mengepak sayapnya. Bunyinya bersiut, bersahut dengan suara angin yang bersiul. Bersahut. Dan bersahut-sahutan. Menjadi sebuah orkestrasi dari semacam ribuan denting logam yang bersintuhan, yang terpercik seperti suara hujan. Hujan dari logam mulia yang berdentangan, berdentingan, berdentang-denting. Ringan, lincah dan ceria.

"Ayo, menari lagi!" ajak Bidadari.

Anak-anak pun menari lagi. Melenting-lenting. Sambil bertepuk tangan. Tangan yang menggapai langit. Memeluk kawan. Menggandeng malam. Bidadari mengembangkan lengannya. Mengembangkan tangannya. Anak-anak pun menirukan. Bidadari mengulurkan sayapnya pada udara. Menurunkannya melebar. Anak-anak mengacungkan lengannya. Menurunkannya. Bidadari berputar. Anak-anak berputar. Suara berdentang, berdenting, dari semacam hujan logam mengiring. Bidadari masih berputar. Terus berputar. Berputar-putar. Hingga tinggal cahaya putih. Cahaya putih yang berputar bagai kabut dinihari. Dan kabut itu meliuk-liuk seirama suara dentang, suara dentang dari sayap yang berputar, suara dentang dari siul angin yang mengambang.

Dan suara itu menghilang bersama kabut putih yang larut perlahan terhisap embun di rumputan meninggalkan sunyi yang hening di atas tanah lapang.
****
"Apakah ia akan datang lagi kepada kami?"
"Aku suka suaranya yang teduh menyiramkan kesegaran!"

"Lehernya yang seputih angsa begitu indah dirayapi keringatnya yang meleleh seperti sisa hujan di kaca jendela."

"Tapi matanya sebening telaga. Hijau, mungkin kelabu."

"Hitam kecoklatan!"

"Itu rambutnya. Hitam berkilatan dan jenjang."

"Kakinya yang jenjang. Putih gading. Menyibak gaunnya yang putih salju."

"Aku ingin ia menari lagi. Juga menyanyi. Aku ingin tidur di lengannya berselimut sayapnya yang lembut."

"Jika aku bermata bundar seperti matanya. Bundar dan hitam, dan bening. Dengan lentik bulu-bulunya yang panjang..."

"Tapi alisnya mirip alisku. Tebal dan terang warnanya."

"Runcing hidungnya yang kecil, cocok benar dengan bibirnya yang tipis dan selalu tersenyum."

"Dan bulu lembut di kumisnya betapa indah di wajahnya yang terang."

"Keringat yang bermanik-manik di jidatnya, seperti butiran mutiara di pasir putih di dasar laut yang jernih."

"Kau lihat, sejumlah gemerlap dari gemintang yang berpantulan di rambutnya?"

"Aku suka pinggangnya yang ramping kumbang. Jurang sempit di dadanya terjepit bukit runcing. Dan tubuh itu menggelombang ketika ia berputar. Bergetar seperti ombak yang tenang terdorong angin ketika ia tarikan gerak terbang. Dan gaunnya yang putih terangkat sebagai kelopak-kelopak Teratai yang berdenyar-denyar di permukaan kolam yang karena tetesan keringat menjadikannya mirip kuntum-kuntum embun."

"Apakah kami akan menari lagi bersamanya, bapak?"
***
Dan malam belum lagi tiba. Bahkan senja masih tertunda tiba. Sore belum terusir dari langit. Kerlap emas meluas selengkung mata. Tanah lapang itu telah dipenuhi penduduk kota. Yang tua-tua bergerombol-gerombol, yang muda-muda berjalan kian-kemari seakan Merak yang kebingungan oleh banyaknya mata yang memandang, sementara, yang kanak-kanak berlari berkejar-kejaran. Yang membawa selendang menyeretnya di udara, membayangkan diri seular terbang dengan sepanjang ekor. Mereka menjerit-jerit sesuara elang. Nafasnya sedesis ular. Adapula yang mengkaok, selendangnya melebar seruas dua tangannya yang mengembang, larinya meloncat-loncat.
Lalu sore tinggal seleret jingga dan cakrawala.

Ada yang mulai bernyanyi: "Soyang... Soyang... Batik plang kidul Semarang..."

Ada yang menyahut: "Ha'e ulo banyu dalan gedhe wote lunyu...."

Serombong bocah berbaris. Di paling depan mengembangkan lengan. Sejerat lendang menelikung ketiaknya, bersampir di bahu menggaris belakang leher. Dua ujung selendang itu dihela oleh tangan yang membayang diri sebagai sais kereta yang menjejak kuda. Di belakangnya bocah-bocah menari, juga menyanyi: "Dempo papo pandem, Ji walang kaji gogok beluk dendem, Cang kromo lombok abang dewo, Darmedi sing ketiban dadi..." Mereka berarak dengan pantat yang mengegol.

Ada juga yang bergerombol, menari dan menyanyi; "Kidang talung, makan kacang mbelung, mil kethemil mil kethemil si kidang mangan lembayung..." Mereka melompat-lompat. Membayangkan diri serupa kijang. Ada yang mengais kaki. Ada yang mengembangkan tangan di pinggang. Kepalanya bergerak-gerak. Mencari. Ada yang membuka telapak tangan. Menempelkan ibu jari sebagai tanduk dan mengibas-kibaskannya.

Debu mengepul. Putihnya serupa kabut pada malam yang mulai turun. Kanak-kanak itu masih saja menari. Menyanyi.

Lalu ada yang berteriak menyentak; "Ia telah datang!"

Semua terkejut. Serempak berdiri di tempatnya. Hanya mata mereka yang mencari-cari.

"Mana?"

"Mana?"

"Mana?"

"Lihatlah debu yang mengepul itu! Perhatikan!"

"Bukankah itu Murai yang menari bersama Belibis?"

"Dan warna putih itu kan baju Belibis yang bergerak, berputar-putar?"

"Lihatlah. Perhatikan baik-baik. Belibis tak seperti itu baju putihnya. Bukankah itu putih yang seperti basah. Yang memantulkan biru dari malam yang berembun?"

"Hei, aku di sini. Aku menari bersama Nuri!" tiba-tiba suara menghenyak.

Semua berpaling. Dan mereka menyaksikan Bidadari menari menggendong Nuri. Hijau baju Nuri, yang bercampur kuning, bercamput orange menggambar bias pelangi di gaun Bidadari.

"Ibu gendonglah aku juga!" jerit Melati.

"Aku juga!" pinta Laron.

"Bolehkah aku bergayut di sayapmu Ibu?" tanya Kenanga.

Dan kanak-kanak itu menjerit-jerit menyuarakan kehendaknya.

"Ayolah. Berpeganglah semua pada sayapku, lenganku, bajuku rambutku atau tubuhku!"

Dan Bidadari itu pun mulai menari. Mulai menyanyi.

"Ana kidung rumeksa ing wengi.Teguh ayu luput ing lelara Luput ing bilahi kabeh. Jim Setan datan purunpaneluhan tan ana wanimiwah panggawe alagunane wong luputgeni atemahan tirtamaling adoh tan wani peraking mamituju guna pan sirna"

Dan Bidadari itu pun menari. Sejumlah bocah di tubuhnya. Ada Melati yang bergayut rambut. Kenanga berpegang pada lengan.
Murai berlari berjingkat-jingkat menjejaki berkas putih garis kaki Bidadari. Telaga menggerakkan tangannya serupa ombak, berpegang pada pundak. Nuri, Manyar, Srikatan, Padma, Lily, dan entah siapa lagi berbaris serupa ular. Mereka mengikut gerak Bidadari sambil berjalan melingkari.

Malam semakin biru oleh hijau daun dan putih bintang. Embun berloncatan dari rumput ke rumput, dari kaki ke kaki, dari rumput ke kaki, dari kaki ke rumput-rumput. Desah nafas berlelehan pada keringat. Senyumnya bahagia mengaliri leher. Mengkristal di dahi. Sealir kali menganak pada bibir Bidadari.

"Aku akan ikut menari!" ledak suara dewasa bermata Elang. Sigap ia meloncat. Berlari ke tengah padang.

"Hei, jangan kau rebut kebahagiaan anak-anak!" ada yang melarang.

"Biarkan mereka bermain. Jangan kau ganggu anak-anak itu!"

"Jangan!"

"Jangan!"

"Jangan!"

Mata Elang itu tak menggubris. Ia seperti terbang berlari ke arah Bidadari.

Di sentakkannya Melati. Dibantingnya Kenanga. Direbutnya Bidadari. Dipaksanya menari.

"Aku tak ingin menari denganmu. Aku hanya ingin menari dengan anak-anakmu!" jelas Bidadari.

"Tidak kau harus menari denganku!" perintah Mata Elang itu.

"Tidak kau harus menari juga dengan kami!" lari suara selelaki lagi.

"Ya, kami juga ingin ikut menari!" sergah selelaki lagi.

"Ayo, giliran kita yang menari!"

Mereka, lelaki-lelaki dewasa, berlari untuk menari.

Memaksa Bidadari.

Ada yang mencoba memegang sayapnya. Ada yang coba menepiskannya. Ada yang ingin meraih pinggang. Ada yang berusaha memeluk. Gerak mereka menjadi liar. Yang memegang sayap menggenggamnya erat-erat. Sayap itu robek. Selengan kanan patah. Rambut tercerabut. Gaun tercabik.

Di tepi padang, anak-anak memandang muram. Wajahnya sedih membiru di dahi yang terpelanting, memerah pada bibir yang pecah, mengembun pada mata, tanpa suara, memandang tangan Bidadari yang terlempar ke angkasa. Tanpa tenaga anak-anak pulang ke gubuknya. Membasuh kaki, lengan dan jarinya. Dan naik ke ranjang, sendiri. Hanya sendiri.

Dan dalam tidurnya, mereka bermimpi dikeroyok lelaki serupa ayah sendiri. Selepas pagi mereka menemukan diri mereka: Ada yang telah kehilangan kaki, ada yang telah kehilangan telinga, ada yang telah kehilangan mata, ada yang telah kehilangan tangannya, ada yang telah hilang kepalanya.
*** 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hompimpa (Sebuah puisi dari Tengsoe Tjahjono)

Puisi Hompimpa karangan Tengsoe Tjahjono pertama kali saya ketahui saat kelas 1 SMP. Tepatnya saat classmeeting yang diadakan pasca ulangan umum. Sekolah saya SMP Negeri 6 Semarang mengadakan beberapa lomba. Yah, buat ngisi hari aja sih. Supaya murid-muridnya nggak nganggur gitu. Waktu itu Bu Tamsih (salah satu pengajar Bahasa Indonesia) mengadakan lomba deklamasi puisi Hom-Pim-Pa untuk anak-anak kelas tiga. Syaratnya : saat deklamasi puisi, satu kelas harus maju semua. Tidak boleh hanya satu orang yang maju deklamasi mewakili kelas mereka. Pokoknya, satu kelas maju bareng. Tampil di tengah-tengah lapangan. Ditonton oleh kelas satu dan kelas dua. Asik ya? Tampil rombongan, gitu. Jadi bisa dilihat kekompakan masing-masing kelas. Kalau satu orang salah, ya satu kelas bisa ancur. Pernah ada kelas yang tampil bagus banget di awal. Setelah memasuki bagian tengah-tengah, ada murid yang suaranya cempreng dan cengengesan (sungguh kombinasi yang absurd, hehe) yang tentu saja membuat semua penon...

i can't believe i have been three years here (part 4 - End)

Chapter #4 : The Planning World  Ah, akhirnya diterusin juga ceritanya. Pada waktu postingan ini pertama dibuat, saya genap tiga tahun kerja di PT USG, hence the title. Kemudian saya lanjutkan ceritanya, lalu sempat vakum, lalu posting lagi cerita lanjutannya, dan vakum lagi cukup lamaaaaaaa di chapter tiga. Ketika chapter empat ini saya susun, saya sudah bekerja di perusahaan ini selama uhmm... delapan puluh sembilan bulan. Sudah menjelang sewindu. Masih ingat kan, hitungan matematika sewindu itu berapa tahun? Gara-gara cerita ini juga, banyak sekali email-email yang masuk ke Gmail dari para calon pelamar kerja yang nanya-nanya soal PT USG kepada saya. Umumnya mereka ini para lulusan baru alias fresh graduate yang lagi nyari kerja, terus mereka lihat lowongan di PT USG sebagai PPMC. Karena nggak paham apa itu PPMC, mereka akhirnya buka Google, terus ngetik keyword "PPMC." Hasil penelusuran mereka salah satunya mengarah ke postingan ini Rata-rata dari mereka adala...

I can't believe i have been three years here

my desk, June 14th 2013 I can't believe i have been three years here. Yep, it is my 3rd year in PT Ungaran Sari Garment. After all the stormy periods, exhausted time, crazy works and many stuffs, I am still alive. Let me emphasize. I - CAN - SURVIVE. Hahaha.. Wow. Waktu cepat sekali berlalu ya? Ceritanya bakal panjang nih. Kalo kamu udah bosen, mending pindah channel aja gih. Biar kayak sinetron, saya akan membagi cerita kilas balik ini dalam beberapa chapter. Dan ini, ladies and gentlement, adalah bagian satu. Chapter #1 : The Beginning Almost three years ago, in 14th June 2010 I was called to be receptionist at Front Office PA1. Nggak kebayang senengnya waktu saya dikasih tau : Kamu keterima. Besok senin mulai masuk ya. Ya Robbi, saya bakal kerja! Setelah hampir satu minggu bolak-balik buat interview, test tertulis, dan test kesehatan, akhirnya besok Senin saya resmi jadi seorang karyawan. Saya bukan anak sekolah lagi! Saya bakal cari duit sendiri! Ay, karam...