Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2025

Ulasan film : The Phoenician Scheme (2025)

  Wes Anderson, at last! Akhirnya saya kesampaian nonton film karya Wes Anderson di bioskop Indonesia! Now I can scratch that off my bucket list. Haha! Kenapa saya bersemangat? Karena sepengetahuan saya belum pernah ada satu pun film Wes Anderson yang ditayangkan di bioskop Indonesia, sejak Rushmore sampai Asteroid City. Saya tidak berlangganan platform streaming, jadi tidak tahu apakah film-film Wes Anderson ada di Netflix, HBO, atau Disney. Kalau pun ada, saya juga belum pernah nonton karena bagi saya film dari sutradara auteur seperti itu harus ditonton di layar besar, bukan layar ponsel atau gawai lain. Tapi meski belum pernah menonton karya filmnya, saya toh membaca beberapa artikel di internet dan cuitan tentang gaya khas Wes Anderson di film-film buatannya, yaitu : Pengaturan komponen visual (aktor, benda-benda, latar belakang) secara simetris. Nuansa warna palet. Ekspresi katakter filmnya yang nyaris tanpa senyum dan dialog yang kaku, tapi masih terasa kocak. Pada hari Sabt...

Ulasan Film : Bring Her Back (2025)

  Halo, kembali lagi di segmen Deview  alias Devi memberi review (iya, memang singkatan yang kurang catchy, makanya saya jarang pakai). Hari Jumat 6 Juni 2025 saya nonton film Bring Her Back. Bring Her Back adalah film horor tentang dua orang kakak-beradik (mereka saudara tiri) yang setelah ayah mereka meninggal kemudian mereka diadopsi oleh seorang konselor yang agak eksentrik namun ternyata menyimpan rahasia mencurigakan setelah ditinggal mati anaknya. Satu kata dalam Bahasa Inggris untuk mewakili film Bring Her Back :  disturbing.  Filmnya mengusik rasa nyaman, mulut saya beberapa kali menganga melihat kengerian yang ditampilkan di layar. Film ini diproduksi oleh A24, yang sebelumnya memproduksi film horror pujaan so-called sinefil  Twitter : Hereditary dan Midsommar. Jika di film Hereditary penonton menjadi saksi Toni Collette sebagai ibu yang jiwanya terguncang, dan di film Midsommar ada Florence Pugh yang mentalnya tidak stabil, sekarang di Bring Her Back ...

Sebuah Saran Tentang Memilih Posisi Tempat Duduk di Bioskop

Ketika menonton film di bioskop, saya hampir selalu duduk di baris tengah : baris F, G, atau H. Untuk nomer kursi, saya lebih sering pilih yang dekat lajur jalan  (aisle)  supaya gampang aksesnya. Pengecualian kalau saya nonton film di teater IMAX, atau di teater berkapasitas besar, atau kebetulan sedang nonton film 3D, maka saya akan pilih nomer kursi di tengah. Rata-rata kursi di teater adalah nomer 1-22. Saya akan pilih kursi nomer 11 atau 12. Itu kalau saya. :))) Beberapa tahun lalu saya baca cuitan di akun Twitter Yohan Arie ( username : [at] aerorun ) tentang posisi ideal ketika menonton film di bioskop, terutama jika kita ingin menguji kualitas gambar. Mas Yohan menulis cuitan itu dari Insta-stories Arief Retno Pribadi, seorang sinematografer atau Director of Photography yang cukup ternama di industri perfilman Indonesia (akun Instagram: ariefdop). Berikut ini saya simpulkan isi dari postingan tersebut : 1. Jika menonton film Hollywood , pilihlah deretan tempat duduk se...

Nrimo ing fandom

Nama saya Devi Okta, dan saya tidak punya fanatisme terhadap musik atau lagu tertentu. Perkara musik, saya ini moderat. Kriteria lagu kesukaan saya itu ada dua : musiknya enak di telinga saya dan liriknya pas di hati saya. Wis, ngono tok. Jadi saya tidak punya pantangan atau alergi dengan musik apapun. Mungkin karena inilah saya bisa mudah membaur dengan topik pembicaraan soal musik. Minimal saya paham siapa-siapa pelakunya atau setidaknya tahu satu judul lagunya. Kalau di warung Pak Muk dan Bu Is (warung makan di depan pabrik saya bekerja) kebetulan ada yang karaoke, saya dengan mudah nimbrung karena tau lagu yang dinyanyikan. Bagi saya, fanatisme terhadap musik itu hanya menyempitkan pikiran dari hal-hal baru, karena musik itu produk budaya yang terus mengalir dan terus tercipta. Orang yang tidak suka lagu campursari Jawa sama sekali, dia tidak bisa menikmati syahdunya Lingsir Wengi dan Ketaman Asmara. Orang yang tidak suka musik pop The Beatles, pasti tidak bisa paham betapa nelangs...

Ulasan Film : How To Make Millions Before Grandma Dies (2024)

Sore itu saya agak terlambat masuk studio 1 Transmart Setiabudi XXI untuk menonton film berbahasa Thailand ini pada hari Sabtu sore, 18 Mei. Judul filmnya Lahn Mah atau dalam versi Bahasa Inggris "How To Make Millions Before Grandma Dies." Ketika saya akhirnya duduk di seat K9, adegan di layar mempertontonkan sebuah keluarga sedang berkumpul di atas makam sambil membawa beberapa uborampe : dupa, kelopak bunga, jeruk, dan sesajen lain. Ini namanya Qing Ming atau tomb-sweeping festival. Keluarga datang ke makam leluhur mereka untuk bersih-bersih makam, karena makam yang terpelihara dengan baik akan membawa rejeki dan kemakmuran bagi keluarga yang masih hidup. Setelah sebuah insiden di pemakaman, keluarga akhirnya tau bahwa nenek mereka mengidap kanker dan divonis hidupnya hanya akan bertahan setahun. Pada sepertiga durasi film, Lahn Mah terasa bagai film slice-of-life kebanyakan.  Fragmen keseharian keluarga keturunan Tionghoa di Thailand tanpa polesan drama yang berlebih. Didu...

Ulasan Film : Concrete Utopia (2023)

Saya menonton Concrete Utopia sendirian pada hari Sabtu sore 2 September 2023 sepulang kerja di Cinepolis Javamall, satu-satunya bioskop di Semarang yang memutar film ini. Saya sama sekali nggak lihat video trailer, bahkan nggak googling siapa nama aktor Korea yang main (padahal mereka famous loh...). Saya nonton hanya bermodal premis ini : terjadi gempa dahsyat di Korea Selatan yang meluluhlantakkan semua bangunan yang ada, kecuali satu gedung apartment.  Dah tuh, baca gitu doang aja langsung berangkat ke bioskop. Karena saya penasaran banget, gimana ceritanya ada satu gedung (beserta penghuninya) yang survive, kemudian masih harus bertahan hidup entah gimana caranya (jadi kanibal, mungkin?) dan harus rebutan lahan dengan orang-orang di luar sana yang juga kepengen berteduh berhubung rumah tinggal mereka hancur. See? Film survival emang nggak pernah habis buat dikupas bahkan dari plot yang paling sederhana. (Tuh, penulis skrip film Indonesia... Bikin premis nggak perlu muluk-muluk...

Ulasan Film : Sakaratul Maut (2024)

Baiklah, langsung saja, ya. Ini adalah pengalaman saya menonton film Sakaratul Maut di Transmart Setiabudi XXI pada hari Sabtu malam tanggal 3 Agustus 2024. Ini adalah film karya Sidharta Tata yang sebelumnya menyutradarai Malam Pencabut Nyawa, yang merupakan adaptasi novel Respati karya Ragiel JP. Jujur saya terkesan dengan Malam Pencabut Nyawa yang successfully blending elemen horor dan fantasi, jadi ketika Sidharta Tata bikin film lagi, saya tetep nonton. Tapi sebelum nonton Sakaratul Maut, saya nggak ngeset standar apa-apa, sih. Biar judgement saya tetap netral. Let it flow aja :)) Yang saya suka dari Sakaratul Maut : - sekuens pembukanya biarpun belum banyak menebar teror tapi cukup gripping . Pondasi yang cukup oke untuk mengikat penonton ke adegan-adegan setelahnya. - alur cerita solid, dan penokohannya cukup gampang diikuti. Alih-alih kisah hidupnya dibeberkan di bagian depan, latar belakang tiap karakter utamanya dikulik pelan-pelan sampai di pertengahan film. Kalo misalnya k...

Ulasan Film : GRAN TURISMO Based on A True Story (2023)

Saya nonton film Gran Turismo pada bulan Agustus 2023, di bioskop Tentrem XXI. Iya judulnya filmnya memang kayak gitu : GRAN TURISMO Based on A True Story. Berikut ini ulasan pribadi saya, yang saya salin dari notepad : - Filmnya kecee parahh. Salah satu adegan kompetisi balap mobil paling seru yang pernah ditonton. Saking serunya sampai penonton tepuk tangan waktu mobil Jaan menang. Alur ceritanya solid, runut dan nggak keteteran.  Mungkin beberapa adegan kerasa agak membuang durasi, ya. Cerita soal ceweknya Jaan, misalnya. Tapi yah, menurut pendapat pribadi sih, enggak masalah. Seneng banget sama Orlando Bloom yang comeback di layar lebar. Munculnya cameo Kazunori Yamauchi, si tokoh asli pembuat game Gran Turismo juga pas. Takjub banget melihat bagaimana permainan balap mobil Gran Turismo ini dibuat sedetail mungkin. Setiap inci bagian mobil balap (sampai ke spare part dalemmya pun) diperiksa, diteliti, dan ditiru, sehingga sensasi mainnya beneran mirip kayak lagi berada di sirku...

Pekerja Salon

Jika saya diberi kesempatan untuk mencoba me-reset kehidupan saya, mungkin pekerjaan yang saya tekuni adalah menjadi tukang salon.    Saya ingin sekali mahir memangkas rambut orang dengan menyesuaikan bentuk muka, kemudian mewarnai rambut dengan shade ala jajanan arum manis sampai warna perak, meluruskan atau mengeriting rambut, membentuk alis, memasang bulu mata tambahan, dan melakukan perawatan muka maupun merias wajah untuk acara tertentu. Di mata saya, ini pekerjaan yang seru untuk dijalani. Saya membayangkan pekerjaan mereka yang setiap hari bertemu macam-macam manusia dengan karakter yang unik. Setiap orang akan duduk manis, lalu sambil 'dipermak' mereka akan menyampaikan cerita hidup mereka, keluh kesah mereka, potret kehidupan yang mereka jalani, sampai segelintir kasak-kusuk yang belum tentu diketahui banyak orang. Misalnyq, seorang klien yang kerja di kelurahan mungkin akan membeberkan cerita perselingkuhan antara kepala administrasi dengan pegawai catering langganan...