Ketika tulisan ini saya unggah di blog, film Gowok sudah tidak tayang lagi di bioskop.
Film karya Hanung Bramantyo ini bertahan 28 hari di bioskop kota Semarang. Rating film-nya 21+ jadi ekspektasi saya filmnya akan mengekspos sensualitas, karena arti kata 'gowok' adalah ehem, perempuan dewasa yang akan mengajarkan laki-laki bagaimana cara memuaskan pasangan mereka. Dan yang saya tonton adalah versi uncut. Hmm, hmm.
A grown up woman giving (literally) sex education to young man. Yeah, bring it on, baby.
Itu ekspektasi awal saya, ketika saya nonton film ini pada hari Sabtu, 7 Juni 2025 di Paragon Mall.
Dan saya keliru.
Gowok dibuka dengan adegan berdarah-darah, ketika seorang perempuan membawa parang dengan penuh amarah menyerang laki-laki yang kemudian kita tahu adalah suaminya sendiri. Tidak cukup di situ, perempuan itu juga membantai perempuan lain yang beberapa menit lalu tampak di layar sedang bercinta dengan suaminya. Oh ini drama pelakor yah, batin saya.
Dan saya keliru. Lagi.
Film Gowok : Kamasutra Jawa (Uncut Version) yang ber-setting di wilayah Kebumen ini ternyata menyajikan sesuatu dari masa lampau yang sekarang punah, yaitu tradisi gowok. Jadi pada tahun 1950an bahkan mungkin sebelum itu setiap anak laki-laki yang sudah balig dan akan dinikahkan, mereka akan dititipkan ke rumah atau padepokan untuk digowok. Mereka diajari keahlian di atas ranjang, bagimana cara berhubungan badan yang bisa memuaskan pasangannya, dikasih tau posisi saat berhubungan badan apakah itu misionaris, Doggystyle, sixty-nine, woman on top, reverse cowgirl (NGGAK USAH NANYA KENAPA SAYA BISA TAU), dan lain-lain. Kenapa pada zaman itu hal ini penting? Karena ternyata ini menyangkut satu konsep : Lananging Jagat.
Lelaki penguasa dunia.
Jujur, sebelum nonton film ini saya tidak punya pemahaman tentang Gowok, Lananging Jagat, kitab kuno Serat Centhini, dan lain-lain. Untungnya, ketidaktahuan saya bisa dijelaskan dengan baik karena alur film ini cukup enak diikuti meskipun saking pengennya menjelaskan secara mudah beberapa dialognya jadi terasa seperti acara edukasi anak-anak di TV.
Semakin ke belakang, isi filmnya berbelok menjadi sajian bermuatan politik dan tidak lupa menyinggung peristiwa 1965. Agak de javu dengan tema film Lentera Merah yang juga sama-sama karya Hanung.
Soal akting, Lola Amaria dan Raihaanun layak dapat kredit paling atas. Ditambah Reza Rahadian, Djenar Maesa Ayu, Donny Damara, dan Slamet Rahardjo Djarot, lengkap sudah sajian konflik yang emosi dan ekspresinya maksimal. Untuk aktor dan aktris pemeran Reza dan Anun muda, masih perlu jam terbang. Waktu nangis, emosinya nggak sampai. Cuma kelihatan merengek-rengek yang bagi saya jadi annoying.
Sinematografi? Indah.
Tapi ada juga yang berlebihan, kelihatan seperti drama cinta ala FTV. Tinggal ditambah lagu Aku Memang Manusia Biasa dari Yovie and Nuno, lalu diberi judul Mbak-mbak Plat AA Menyerempet Hatiku dan judul-judul sejenisnya. Musik tema pun menurut saya tidak berperan banyak dan kurang hmm.. memorable.
Kesan keseluruhan saya setelah menonton : Gowok adalah film yang disajikan cukup baik dan berani mencoba mengeksplorasi tema yang notabene dianggap sensitif (judulnya aja pakai kata Kamasutra). Sebelum tayang di bioskop, film Gowok terlebih dulu ditayangkan pada perhelatan International Film Festival Rotterdam ke-54. Kemudian beberapa bulan setelahnya ke New York Asian Film Festival 2025. I wish it got the best response.
Ngomong-ngomong, film Gowok menyorot konsep Lananging Jagat, kan? Tapi kenapa ya, justru kaum laki-laki lah yang yang diajari 'per-gowok-an' untuk memuaskan wanita? Kenapa bukan wanita yang diajari kemampuan memuaskan laki-laki? Apakah di film ini justru menunjukkan bahwa perempuan lah yang superior? Hmm, hmm?
Oh this is so interesting.
Have a nice day, people.
best regards,
Devi Oktavia
Komentar
Posting Komentar