Langsung ke konten utama

Ulasan film : The Phoenician Scheme (2025)

 Wes Anderson, at last!

Akhirnya saya kesampaian nonton film karya Wes Anderson di bioskop Indonesia!

Now I can scratch that off my bucket list. Haha!

Kenapa saya bersemangat? Karena sepengetahuan saya belum pernah ada satu pun film Wes Anderson yang ditayangkan di bioskop Indonesia, sejak Rushmore sampai Asteroid City. Saya tidak berlangganan platform streaming, jadi tidak tahu apakah film-film Wes Anderson ada di Netflix, HBO, atau Disney. Kalau pun ada, saya juga belum pernah nonton karena bagi saya film dari sutradara auteur seperti itu harus ditonton di layar besar, bukan layar ponsel atau gawai lain.

Tapi meski belum pernah menonton karya filmnya, saya toh membaca beberapa artikel di internet dan cuitan tentang gaya khas Wes Anderson di film-film buatannya, yaitu :

  1. Pengaturan komponen visual (aktor, benda-benda, latar belakang) secara simetris.

  2. Nuansa warna palet.

  3. Ekspresi katakter filmnya yang nyaris tanpa senyum dan dialog yang kaku, tapi masih terasa kocak.

Pada hari Sabtu yang cerah tanggal 7 Juni 2025 saya ke bioskop DP Mall XXI untuk menunaikan ibadah sinema ini. The Phoenician Scheme hanya kebagian 2 jam tayang : pukul 17.05 dan 21.05. Kalau saya tidak segera nonton, batin saya, bisa jadi keesokan harinya film ini sudah hilang dari peredaran digantikan film lain yang okupansinya lebih besar.

Sebelum nonton saya sengaja tidak melihat trailer, baca sinopsis, atau baca ulasan kritikus tentang The Phoenician Scheme. Ini pengalaman pertama saya. Apapun hasilnya yang terjadi, mata dan hati ini sudah siap menerima karya Wes Anderson. 'Njayy..

Baiklah. Ini kesan saya setelah menonton filmnya :

1. Benar apa kata mereka : Wes Anderson mengatur tata letak setiap frame secara simetris. Bahkan adegan yang melibatkan kerumunan orang pun bisa ditata dengan rata kanan-tengah-kiri. Very visual symmetry. Ini juga berlaku di poster filmnya (bisa googling), kalian bisa lihat ada Benicio Del Toro di sisi ujung kiri berendam di dalam bathtub, sementara sisi ujung kanan ada meja kotak yang hampir serupa. Poster film ini diambil dari adegan ketika Sza Sza Korda ditangani oleh tenaga medis pasca kecelakaan pesawat. Adegan ini juga dipakai untuk menampilkan deretan nama pemain dan nama karakter mereka di film. Benicia Del Toro as Anatole "Sza Sza" Korda. Mia Threapleton as Liesl. Michael Cera as Bjørn. Benedict Cumberbatch as Uncle Nubar. Dan seterusnya, dan seterusnya... 

Nama-nama ini muncul silih berganti, sementara Del Toro di dalam bathtub diganti perbannya oleh perawat tapi dia masih tetap sarapan, minum anggur, dan mendengarkan musik dari vinyl. Orang kaya mah bebas. Jenis huruf pun dipilih yang 'Wes Anderson banget' sehingga penonton bisa membaca nama cast tanpa kehilangan fokus ke adegan di film.

2. Palet warna filmnya dominan pastel, tidak ada warna gelap maupun warna neon. Warna langit misalnya, birunya tidak terang dan apa adanya tapi seperti ditimpa sedikit warna abu-abu. Tapi di mata saya, tetap kesan yang muncul 'oh ini langitnya cerah' 

Kemudian adegan-adegan indoor, misalnya kabin pesawat, kapal, aula, dan rumah, gradasi warnanya kalem. Ibarat edit gambar di aplikasi Paint, pilihan warnanya bukan dari hue yang paling atas tapi di bagian tengah agak ke bawah. Tau kan, yang udah campur-campur dikit sama warna putih dan hitam. Tapi itu yang membuat filmnya jadi punya ciri khas, yang mungkin tidak gampang ditiru sineas lain. Karena elemennya bukan cuma warna, melainkan karakter dan elemen pendukung pun ditempatkan di sudut-sudut yang pas. Kalau pendapat saya, misal kita nge-freeze salah satu adengan terus di-screenshot, akan kelihatan seperti lukisan atau poster yang estetik.

3. Dialog yang diucapkan dengan kaku. Ibaratnya, jika film ini dibuat memakai Bahasa Indonesia maka pemilihan kata-katanya sesuai KBBI dan susunan kalimatnya memenuhi EYD. Oh kecuali kata-kata umpatan, ya. Tapi ini pun jarang.

Selain dialog yang memang sengaja dibuat kaku, pace lempar-lemparan dialog ini pun cepat. Dan tetap lucu! 

Waktu Sza Sza Korda bertemu Liesl di rumah dan menjelaskan 'roda' bisnisnya, mereka bantering kata-kata dengan lucu meskipun kosakata dan kalimat yang dipakai seperti diambil dari buku. Entahlah. Mungkin karena para aktor dan aktrisnya membawakan dialog dengan baik, tektokannya enak banget. Bahkan potongan kliping dan judul surat kabar pun juga kocak. Saran saya, nggak usah baca subtitle aja biar lebih asyik. Hehe.. 

Apakah ada kekurangan dari film The Phoenician Scheme? Kalau secara teknis, menurut saya tidak ada. Dari naskah, segi visual, sound, dan pengadeganan, semuanya unggul.

Tapi (dan ini opini pribadi), bagian ketika layar menjadi hitam dengan tulisan "presentase saham" yang muncul di setiap interval film rasanya bikin filmnya membosankan. Pertama kali sih, lucu. Tapi diulang terus sampai tokoh kelima jadi repetitif dan bikin ngantuk. Padahal mungkin ini cara yang bagus juga untuk menampilkan karakter pendukung (sekaligus perpindahan set tempat).

Demikianlah.

Untuk sebuah pengalaman pertama menonton film artistik Wes Anderson, The Phoenician Scheme tidak mengecewakan. Saya bolak-balik nyengir sendiri selama nonton. Semenyenangkan itu :))

NB : kalau udah pernah nonton satu film Wes Anderson apakah dengan ini saya udah bisa mengklaim diri saya sebagai sinefil? Belum, ya? Tapi kan nontonnya di bioskop. Masih belum bisa dibilang sinefil juga? Hmm? (Oh shut up Devi

 

Karcis film The Phoenician Scheme, yang saya tonton di hari yang sama dengan Bring Her Back. Coba perhatikan nomer teater dan nomer kursi. Yep, saya nggak pindah tempat :))

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hompimpa (Sebuah puisi dari Tengsoe Tjahjono)

Puisi Hompimpa karangan Tengsoe Tjahjono pertama kali saya ketahui saat kelas 1 SMP. Tepatnya saat classmeeting yang diadakan pasca ulangan umum. Sekolah saya SMP Negeri 6 Semarang mengadakan beberapa lomba. Yah, buat ngisi hari aja sih. Supaya murid-muridnya nggak nganggur gitu. Waktu itu Bu Tamsih (salah satu pengajar Bahasa Indonesia) mengadakan lomba deklamasi puisi Hom-Pim-Pa untuk anak-anak kelas tiga. Syaratnya : saat deklamasi puisi, satu kelas harus maju semua. Tidak boleh hanya satu orang yang maju deklamasi mewakili kelas mereka. Pokoknya, satu kelas maju bareng. Tampil di tengah-tengah lapangan. Ditonton oleh kelas satu dan kelas dua. Asik ya? Tampil rombongan, gitu. Jadi bisa dilihat kekompakan masing-masing kelas. Kalau satu orang salah, ya satu kelas bisa ancur. Pernah ada kelas yang tampil bagus banget di awal. Setelah memasuki bagian tengah-tengah, ada murid yang suaranya cempreng dan cengengesan (sungguh kombinasi yang absurd, hehe) yang tentu saja membuat semua penon...

i can't believe i have been three years here (part 4 - End)

Chapter #4 : The Planning World  Ah, akhirnya diterusin juga ceritanya. Pada waktu postingan ini pertama dibuat, saya genap tiga tahun kerja di PT USG, hence the title. Kemudian saya lanjutkan ceritanya, lalu sempat vakum, lalu posting lagi cerita lanjutannya, dan vakum lagi cukup lamaaaaaaa di chapter tiga. Ketika chapter empat ini saya susun, saya sudah bekerja di perusahaan ini selama uhmm... delapan puluh sembilan bulan. Sudah menjelang sewindu. Masih ingat kan, hitungan matematika sewindu itu berapa tahun? Gara-gara cerita ini juga, banyak sekali email-email yang masuk ke Gmail dari para calon pelamar kerja yang nanya-nanya soal PT USG kepada saya. Umumnya mereka ini para lulusan baru alias fresh graduate yang lagi nyari kerja, terus mereka lihat lowongan di PT USG sebagai PPMC. Karena nggak paham apa itu PPMC, mereka akhirnya buka Google, terus ngetik keyword "PPMC." Hasil penelusuran mereka salah satunya mengarah ke postingan ini Rata-rata dari mereka adala...

I can't believe i have been three years here

my desk, June 14th 2013 I can't believe i have been three years here. Yep, it is my 3rd year in PT Ungaran Sari Garment. After all the stormy periods, exhausted time, crazy works and many stuffs, I am still alive. Let me emphasize. I - CAN - SURVIVE. Hahaha.. Wow. Waktu cepat sekali berlalu ya? Ceritanya bakal panjang nih. Kalo kamu udah bosen, mending pindah channel aja gih. Biar kayak sinetron, saya akan membagi cerita kilas balik ini dalam beberapa chapter. Dan ini, ladies and gentlement, adalah bagian satu. Chapter #1 : The Beginning Almost three years ago, in 14th June 2010 I was called to be receptionist at Front Office PA1. Nggak kebayang senengnya waktu saya dikasih tau : Kamu keterima. Besok senin mulai masuk ya. Ya Robbi, saya bakal kerja! Setelah hampir satu minggu bolak-balik buat interview, test tertulis, dan test kesehatan, akhirnya besok Senin saya resmi jadi seorang karyawan. Saya bukan anak sekolah lagi! Saya bakal cari duit sendiri! Ay, karam...