Langsung ke konten utama

Ulasan Film : Weapons (2025)

Baik, langsung saja. Ini catatan saya tentang film Weapons, film horor yang saya tonton di hari Sabtu 9 Agustus 2025 di Paragon XXI Semarang, tepatnya di studio 1 yang sudah pakai Dolby Atmoss. Film horor yang tadinya sudah pakai scoring khas buat nakut-nakutin penonton jadi semakin maksimal efeknya. Kalau mau tambah mantap, kalian kudu nonton di IMAX, sih.
 

- Film ini buatan New Line Cinema, yang juga memproduksi The Conjuring dan The Nun. Sutradaranya Zach Cregger, yang juga bikin Barbarian tahun 2022. Denger-denger sih bagus. Saya nggak nemu film Barbarian ini di Prime atau Catchplay. Kayaknya ada di koleksi Netflix. 

- Ngomong-ngomong soal The Conjuring, installment ini akan dilanjut dan film terbarunya 'The Last Rite' akan tayang September 2025. Saya nggak mungkin absen. Harus nonton. 

Dan untuk menyambut film The Conjuring : The Last Rite, pihak bioskop memutar ulang film-film The Conjuring sebelumnya: mulai dari misteri rumah keluarga Perron, Enfield Poltergeist sampai The Devil Made Me Do It. Kayaknya seru deh, maraton ulang. Atau kalau nggak sempet, langganan HBO Max. Masih ada waktu sebelum 6 September.

Ahem, maaf jadi melebar pembahasannya.
Balik ke Weapons.

- Yang saya suka dari Weapons : posisi kameranya mengikuti setiap karakter, kebanyakan dari belakang. Dan pengambilan angle-nya bikin penonton merasa lagi jalan di belakang karakter-karakter ini. Kalo mereka nengok ke belakang, belum apa-apa kita udah kaget duluan.
Kamera pun beberapa kali bergerak bersama karakter ketika mereka jalan cepat dan berlati, walaupun nggak seliar di film-filmnya Paul Greengrass.


Belakangan saya ketahui, shooting adegan kejar-kejaran di toko minuman itu ternyata pakai roller skates. Kameramennya pakai sepatu roda, jalan di belakang para aktor. Pantesan POV-nya kelihatan cepet banget dan kayak "memburu" gitu. Berhasil menaikkan tensi film, tapi apa nggak deg-degan, ya.. harga kamera kan mahal banget. Kalo jatuh, walah.. nangisnya sampe Rejeb juga belum kelar.

- Salah satu tipe bercerita yang saya sukai di film : alurnya diceritakan dari beberapa sudut pandang. Mirip seperti menyusun puzzle, setiap tokoh di film ini punya kepingannya sendiri. Kemudian penonton-lah yang menyatukan semua kepingan tadi seiring cerita bergulir, sampai jadi utuh dan kelihatan gambar besarnya.

Multi point of view seperti ini terakhir saya jumpai di film Monsters-nya Hirokazu Koreeda.


Karena ada banyak sudut pandang, penonton seperti 'ditipu' karena seolah-olah yang salah adalah karakter tertentu. Ya namanya manusia, masak sih nggak judgemental. Hehehe


Dan ternyata setelah semuanya tersusun, baru kebenarannya bisa dipahami.

- Tentu saja yang paling menarik adalah point of view-nya Alex. Pas adegan ini tampil, seisi teater langsung bergumam antusias. "Nah, ini.."
Part-nya si Alex ini adalah momen-momen  kami para penonton akhirnya dapat pencerahan dan nyeletuk "Owalah..."
Hehehe.. seru kan, makanya nonton di bioskop.

- Elemen jump-scare tidak banyak, tapi efektif. Saya hampir selalu memekik setiap momen ini. Dan masih trauma selepas nonton, soalnya beberapa adegannya terlalu familiar :((

- Akting para pemerannya bagus, termasuk aktor cilik yang menjadi sentra misteri.
Ngomong-ngomong soal cast, tiga pemeran utama di film ini juga main di Marvel : Josh Brolin adalah Thanos di Avengers, Benedict Wong sebagai Master Wong di Doctor Strange, dan Julia Garner adalah The Silver Surfer di film teranyar Marvel Fantastic Four.


Saya jadi ngebayangin kalo mereka lagi break syuting, jangan-jangan mereka ghibahin Kevin Feige.

Nonton Weapons jauh lebih asik kalau kita nggak lihat trailernya atau googling soal premisnya. The less you know, the better.

Buruan nonton, mumpung masih ada.

Cheers,
Devi Okta


*******************************
Tambahan :
Catatan ini hanya untuk yang sudah nonton karena mengandung bocoran yang mungkin bisa ganggu apabila kamu belum nonton film-nya :
- Archer lihat AK-47 raksasa melayang di atas rumah pas dinihari. Apakah ini perwujudan 'weapon' yang jadi judul filmnya?
- Yang jadi narrator siapa? Feeling saya sih anaknya Archer 
- Kenapa Bibi Gladys me-nyetting waktunya harus jam 2.17 ? 
- Bibi Gladys bilang orangtua Alex nggak bisa bantu menyembuhkan dia, tapi temen-temennya Alex mungkin bisa. Itu mereka diapain, ya? Kirain mau dimakan, tapi mereka semua masih utuh. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hompimpa (Sebuah puisi dari Tengsoe Tjahjono)

Puisi Hompimpa karangan Tengsoe Tjahjono pertama kali saya ketahui saat kelas 1 SMP. Tepatnya saat classmeeting yang diadakan pasca ulangan umum. Sekolah saya SMP Negeri 6 Semarang mengadakan beberapa lomba. Yah, buat ngisi hari aja sih. Supaya murid-muridnya nggak nganggur gitu. Waktu itu Bu Tamsih (salah satu pengajar Bahasa Indonesia) mengadakan lomba deklamasi puisi Hom-Pim-Pa untuk anak-anak kelas tiga. Syaratnya : saat deklamasi puisi, satu kelas harus maju semua. Tidak boleh hanya satu orang yang maju deklamasi mewakili kelas mereka. Pokoknya, satu kelas maju bareng. Tampil di tengah-tengah lapangan. Ditonton oleh kelas satu dan kelas dua. Asik ya? Tampil rombongan, gitu. Jadi bisa dilihat kekompakan masing-masing kelas. Kalau satu orang salah, ya satu kelas bisa ancur. Pernah ada kelas yang tampil bagus banget di awal. Setelah memasuki bagian tengah-tengah, ada murid yang suaranya cempreng dan cengengesan (sungguh kombinasi yang absurd, hehe) yang tentu saja membuat semua penon...

I can't believe i have been three years here

my desk, June 14th 2013 I can't believe i have been three years here. Yep, it is my 3rd year in PT Ungaran Sari Garment. After all the stormy periods, exhausted time, crazy works and many stuffs, I am still alive. Let me emphasize. I - CAN - SURVIVE. Hahaha.. Wow. Waktu cepat sekali berlalu ya? Ceritanya bakal panjang nih. Kalo kamu udah bosen, mending pindah channel aja gih. Biar kayak sinetron, saya akan membagi cerita kilas balik ini dalam beberapa chapter. Dan ini, ladies and gentlement, adalah bagian satu. Chapter #1 : The Beginning Almost three years ago, in 14th June 2010 I was called to be receptionist at Front Office PA1. Nggak kebayang senengnya waktu saya dikasih tau : Kamu keterima. Besok senin mulai masuk ya. Ya Robbi, saya bakal kerja! Setelah hampir satu minggu bolak-balik buat interview, test tertulis, dan test kesehatan, akhirnya besok Senin saya resmi jadi seorang karyawan. Saya bukan anak sekolah lagi! Saya bakal cari duit sendiri! Ay, karam...

i can't believe i have been three years here (part 4 - End)

Chapter #4 : The Planning World  Ah, akhirnya diterusin juga ceritanya. Pada waktu postingan ini pertama dibuat, saya genap tiga tahun kerja di PT USG, hence the title. Kemudian saya lanjutkan ceritanya, lalu sempat vakum, lalu posting lagi cerita lanjutannya, dan vakum lagi cukup lamaaaaaaa di chapter tiga. Ketika chapter empat ini saya susun, saya sudah bekerja di perusahaan ini selama uhmm... delapan puluh sembilan bulan. Sudah menjelang sewindu. Masih ingat kan, hitungan matematika sewindu itu berapa tahun? Gara-gara cerita ini juga, banyak sekali email-email yang masuk ke Gmail dari para calon pelamar kerja yang nanya-nanya soal PT USG kepada saya. Umumnya mereka ini para lulusan baru alias fresh graduate yang lagi nyari kerja, terus mereka lihat lowongan di PT USG sebagai PPMC. Karena nggak paham apa itu PPMC, mereka akhirnya buka Google, terus ngetik keyword "PPMC." Hasil penelusuran mereka salah satunya mengarah ke postingan ini Rata-rata dari mereka adala...