Langsung ke konten utama

Namanya juga Iklan

Back to couple years ago, waktu saya latihan debat bahasa Inggris di sekolah dulu pernah ada motion (topik) debat seperti ini : This house believes that cigarette advertisements are bad. Kami diminta membuat opini tentang iklan rokok, apa bahayanya dan kenapa bisa dikatakan jelek (bad). Beberapa siswa, termasuk saya, berebut bicara :

“karena rokok mempengaruhi kesehatan!”
“karena bisa menimbulkan kanker!”
“karena merugikan paru-paru”

See? Semua orang (iya, semua orang termasuk saya) terjebak. Mereka melontarkan alasan-alasan tentang bahaya rokok, padahal topiknya adalah cigarette advertisement alias iklan rokok. Sekali lagi ya. I-K-L-A-N. Bukan rokoknya. Sial, kami terpedaya. Huh.

Kenapa iklan rokok dikatakan bad (jelek) ? Sebagai tim affimative (pendukung topik) kita bisa jabarkan dalam alasan berikut :

- Pertama karena tampilannya. Iklan rokok yang kita lihat di TV rata-rata menampilkan profil pria-pria dengan potongan masa kini, gaya hidup berselera tinggi, punya kapal pesiar, dan ikut olahraga yang memacu adrenalin. Pokoknya keren. Tampilan iklan yang elegan dan bikin ngiler ini bisa membuat penonton menyimpulkan “kalau elo mau keren kayak pria-pria ini, ya elo musti ngisep rokok ini”

- Walaupun tidak ada visualisasi orang menghisap rokok di dalam iklannya, tapi pada intinya iklan-iklan rokok ini bilang “Ini baru namanya hidup, men. Ngisep rokok ini biar hidup lo lebih hidup’. Pada akhirnya, kita bisa bilang bahwa cigarette advertisement will influence people to smoke. That’s why we call it bad.

Kebalikannya, sebagai tim negatif (oposisi) kita bisa membalik motion itu dengan mengatakan “This house believes that cigarette advertisements are not bad” Kenapa? Berikut ini alasannya :

- Secara tampilan, iklan rokok itu tidak jelek. Ya iya lah. Sebenernya iklan rokok itu bagus-bagus lho. Beneran. Tau iklan Sampoerna hijau? Dari dulu iklannya selalu mengetengahkan persahabatan. Selalu bersama dalam suka dan duka. Semua rintangan diselesaikan bersama, kadang menimbulkan kelucuan. Tagline mereka masih kita ingat sampai sekarang : Nggak ada loe, enggak rame.

Ada lagi rokok kretek yang mereknya “Sejati”, dimana iklannya menampilkan sosok cowok karismatik yang memajukan desanya dan menjadi panutan. Kalau kamu masih ingat iklan Gudang Garam Merah (dibintangi Fedi Nuril pra-Ayat Ayat Cinta) kamu akan melihat si Fedi Nuril dengan sopan dan ikhlas ngasih tempat duduk buat ibu-ibu di kereta saat melihat ibu itu nggak dapat tempat duduk dan penumpang lainnya malah pura-pura nggak lihat. Lalu ada lagi iklan rokok MILD, yang rutin menampilkan kata-kata motivasi untuk nggak berdiam diri, take action, bebas, dan jadi diri sendiri. Dengan kemasan iklan yang bagus dan estetik kayak gini, dimana sisi jeleknya?

- Yang kedua adalah timing iklannya. Iklan rokok itu ditayangkan selalu diatas jam 21.00. Itu sudah kebijakannya. Kebanyakan pemirsa TV yang masih nongkrong jam segitu adalah orang-orang kantoran yang baru pulang kerja lembur, ibu-ibu yang lagi LDR gara-gara suaminya dinas keluar, penggemar film (kayak saya) yang kebetulan film favoritnya tayang di TV, atau para Insomniac. Intinya, yang masih melek dan mantengin TV jam segitu adalah orang dewasa diatas 17 tahun. Mereka sudah bisa mem-filter konten sebuah iklan rokok. Anak-anak mah udah di kamar. Lagipula, kalaupun ada beberapa anak yang masing nongkrong jam segitu (entah orangtuanya lagi pergi, atau keluarga mereka seperti keluarganya Harry Wormwood di film Matilda yang kecanduan sama TV), anak-anak tak akan melihat langsung gambar atau konten orang merokok.

- Alasan ketiga adalah tentang pesannya. Dibanding yang lain, iklan rokok adalah satu-satunya iklan yang menunjukkan kejelekan produknya. Iklan rokok selalu menyertakan kalimat ini : Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin.
Beberapa bulan terakhir, kalimat itu disederhanakan menjadi dua kata : Merokok Membunuhmu (dan entah kenapa saya jadi membayangkan Rian si vokalis D’Massiv akan menyibakkan poninya kemudian berkata “Merokok membunuhmu? Ah, cinta juga bisa membunuhmu kaleee…")

The point is : iklan rokok tidak bisa dibilang jelek karena iklan rokok merupakan iklan yang jujur, kata tim oposisi. Iklan minuman ringan seperti Minute Maid, soft drink seperti Coca Cola, atau makanan instant seperti Mie Gelas menampilkan gambar keluarga yang kelihatan hepi pas lagi minum dan makan. Sama sekali nggak ada notifikasi bahwa makanan-makanan diatas punya kandungan gula yang tinggi, yang kalau dikonsumsi terus-menerus akan menyebabkan timbunan gula di dalam tubuh dan ujung-ujungnya bikin diabetes. Nggak ada satupun iklan makanan ringan (snack) yang menyebutkan “Kandungan mecin dan MSG dalam snack ini dapat menyebabkan penurunan sel otak, kerusakan ginjal, hati, usus, penyakit gula, dan obesitas”
Malahan, beberapa produsen makanan instant dengan pedenya berkoar di iklan : ini jajanan sehat. Aman dikonsumsi. Iya sih, pas dikonsumsi emang aman. Tapi dampaknya baru terasa beberapa tahun kemudian.

Lain dengan iklan rokok. Bahaya dan efek samping penggunaan rokok terbaca jelas disitu. Bahkan sekarang bungkus rokok dibuat lebih seram dengan gambar paru-paru rusak (eeww…!)

Okay, enough about cigarette advertisement. Kita tinggalkan debat tim afirmatif dan tim oposisi tentang iklan rokok.

Karena nonton TV adalah salah satu kegiatan yang saya lakukan saat free time, boleh dikatakan saya udah kenyang nonton iklan-iklan TV itu. All I can say is: semua iklan itu nggak lebih dari permainan kata dan trik visual. Intinya : semua produk yang diiklankan nggak sama dengan aslinya. Inti dari intinya : Iklan itu penipu.

Sekarang gini deh. Coba lihat iklan shampoo. Dimana-mana iklan shampoo selalu bilang kalau merk A dapat menghilangkan ketombe dalam 1 kali pemakaian. Merk B dapat membuat rambut indah bagai dari salon. Shampoo merk C dapat mengatasi rambut rontok berkurang setengah.

Pertanyaannya, benarkah merk-merk shampoo tadi memberikan hasil seperti iklannya? Apa iya, kalo habis pakai shampoo Tresemee trus rambut kita jadi seindah Velove Vexia di iklan? Saya berani jawab enggak. Temen saya pernah nyoba shampoo ini. Habis keramas dan pakai kondisioner, rambutnya biasa aja tuh. Nggak melambai-lambai dan berkibar kayak rambut Velove atau rambutnya Raline Shah di iklan. Lagian kalo mau dirunut, si Velove dan Raline kan hanya ‘bintang’ iklan disitu. Sebelum dia syuting iklan, rambutnya udah diperindah dulu oleh makeup artist, biar kelihatan ‘dramatis’. Plus, sebelum iklan itu tayang di TV pasti sebelumnya udah diedit dulu kan? Brightness, contrast, render, sound, dan lain-lain pasti diatur lagi. Ketika iklan itu ditayangkan, pemirsa dirumah terpukau dan membeli produk shampoo seperti yang diiklankan. Berhasil kena jeratan.

Iklan detergent juga gitu. Hampir semua merk detergent mengklaim dapat menghilangkan semua noda. Sekali kucek, noda hilang. Sekali rendam, noda lenyap tanpa perlu dikucek. Gitu-gitu deh bunyinya. Saya udah gonta-ganti detergent, tapi nggak ada tuh yang bisa ngilangin noda kuning bekas deodorant di ketiak baju. Bayangin, padahal deterjennya udah saya oplos pakai sabun colek + deterjen cair. Tetep aja nggak ampuh. Yah, namanya juga iklan.

Yang paling marak adalah iklan produk kecantikan, terutama krim pemutih. Waktu saya masih SMP, saya hanya memoles muka pakai bedak. Itupun bedak mamak-mamak punya ibu saya mereknya Fanbo. Pas SMA, atas nama tuntutan pergaulan, saya nyoba pakai krim pemutih yang ada di iklan-iklan. Biar mukanya lebih mendingan. Padahal sama saja. Iklan-iklan krim pemutih wajah itu punya satu kesamaan : nggak bisa bikin putih. Mereka cuma bilang “Kulit tampak lebih putih”

Perhatikan ya. T-A-M-P-A-K. Jadi mukanya keliatan lebih putih. Padahal aslinya sama aja.
Nggak percaya? Habis baca ini, silakan tonton TV kalian. Lihat iklan krim pemutih, merek apa aja. Hampir semua produsen menggunakan kata “tampak”.

Merk A : Menyamarkan noda gelap, menghilangkan bekas jerawat, membuat kulit tampak lebih putih.
Merk B : Menghilangkan noda, mencegah jerawat, kulit tampak lebih putih
Merk C : Mencerahkan kulit, membuat kulit tampak lebih putih dalam 7 hari
Merk D : Membuat kulit tampak dua tingkat lebih putih, jernih merona bagaikan kulit Korea

Mau dimodifikasi jadi kalimat apapun, intinya sama. Hanya kelihatan putih. Padahal aslinya? Kulit asli muka kita, ya gitu-gitu aja. Pigmen kulit nggak bisa dirubah warnanya, kecuali pakai operasi plastik. Atau dilumuri pakai cat putih sekalian.

Satu hal lagi yang membuat iklan pemutih begitu mengesankan (dan menjerumuskan) adalah : bintang iklannya. Coba sebutin bintang iklan krim pemutih yang kamu lihat di TV. Ada Chelsea Islan. Gita Gutawa. Dewi Sandra. Maudy Ayunda. Raisa. Jessica Mila. Nadya Hutagalung. Siapa lagi? Eva Celia. Eh tapi Eva tampil di iklan bedak sih. Nggakpapa deh, kita masukin sekalian aja.

Coba perhatikan model-model iklan pemutih ini. Hellaaw…. Mereka kan emang udah putih dari sononya. Para model itu nggak butuh krim pemutih lagi. Bangun tidur aja udah cantik mulus. Muka mereka dari lahir juga nggak bakal item. Beda kayak kulit rakyat jelata kayak saya. Kalau memang iklan pemutih itu benar-benar efektif mencerahkan, harusnya yang dipajang ya muka-muka orang awam yang masih kusam, kucel, agak dekil. Biar masyarakat bisa tau bahwa produk pemutih mereka benar-benar ampuh mencerahkan kulit.

Mungkin kalian ada yang membantah “enggak kok, Dev. Kamu salah. Di iklan Garnier keliatan mukanya Chelsea kusam, habis itu dia pakai Garnier dan jadi putih lagi. Iklannya nggak bohong”

Well… saya nggak mau repot-repot jawab pertanyaan kamu. Terserah, kalian punya hak untuk percaya iklan. Bagi saya, muka seorang artis bisa dipermak menjadi kusam dengan make up dan teknik edit komputer. As I said, muka Chelsea itu udah putih dari sononya (doi lahir di Washington DC, dan denger-denger sih dia blasteran). Untuk membuat kulitnya terlihat kusam, make-up artist bisa memulasnya dengan blush, liner, dan foundation yang efeknya dusty. Setelah itu Chelsea didandani lagi biar cantik, untuk menimbulkan kesan Before and After using whitening cream.

Lagipula, saya sedikit sangsi bahwa Chelsea beneran pakai Garnier. Artis dengan biaya jutaan kayak dia minimal pakai produk Nars, Bobby Brown, The Body Shop atau paling mentok nyari kosmetik impor dari Sephora. Bukan pakai produk pemutih yang harganya 2x mangkuk bakso.

Iklan-iklan makanan yang ditampilkan di TV seringkali juga mempedaya pemirsa. Ibu saya sering jadi korban iklan-iklan kayak ini. Iklan bubur instan yang terlihat menggiurkan, ternyata rasanya eneg pas kita bikin sendiri. Iklan biskuit coklat yang kelihatan enak, ternyata pas dibeli rasanya biasa aja. Gurih enggak, manis juga nanggung. Iklan makanan fastfood dari McD keliatan enak dan ukurannya terlihat mengenyangkan. Tapi pas saya beli, ternyata ukurannya nggak sebesar iklannya. Dan banyak lagi iklan makanan dan minuman yang bikin otak ikutan aktif dan langsung tergoda buat beli. Namanya juga iklan.

Saya masih ingat euphoria saat Walls Magnum pertama kali muncul. Iklan eskrim ukuran besar, rasa vanilla, dilapisi coklat Belgia. Semua orang tiba-tiba jadi doyan eskrim dan rame-rame update status kalo mereka lagi makan Magnum dan merasakan nikmatnya bunyi ‘crack’ saat pertama kali menggigit pinggirnya. The power of advertisement sometimes can be so strongly influential.

Ya sudah.

Mau dikatakan bagaimanapun, iklan tetaplah iklan. Hanya reklame. Bagian dari promosi tim marketing biar masyarakat mau mencoba sebuah produk. Biar produknya laku. Mereka gencar membuat berbagai iklan dengan memanfaatkan sifat dasar: ingin tahu dan ingin meniru. Rasa penasaran ini akan mendorong seseorang untuk mencoba produk yang diiklankan. Apalagi kalo bintang iklannya adalah artis ngetop. Begitu sebuah iklan dilempar, masyarakat biasanya akan tergoda mencoba produknya karena penasaran : kayak apa ya, rasanya? Beneran manis nggak ya? Beneran wangi nggak ya? Beneran bisa ngilangin komedo nggak ya? Beneran bisa bikin kamar mandi bersih nggak ya? Beneran nggak ya, gel rambut ini bisa bikin rambut gue klimis kayak Adipati Dolkien?

Dan pertanyaan-pertanyaan tadi baru akan terjawab ketika kita membeli produknya. Tim marketing seneng, karena produknya berhasil terbeli. Konsumen-nya bisa aja ikutan seneng kalo produknya sesuai sama iklan. Kalo produknya nggak kayak iklan, ya paling cuman bisa gondok.  Makanya, hati-hati kalo beli barang. Be a smart customer.

Eh by the way, kalian pernah nyoba iklan susu yang katanya bisa bikin tambah tinggi badan? Yang selalu bilang “Tumbuh tuh ke atas, nggak ke samping” gitu?
Saya pernah nyoba, tapi tinggi badan saya segini-gini terus. Entah karena susunya beneran nggak bisa bikin tinggi, atau karena saya jarang olahraga ya?

Entahlah.. namanya juga iklan.

See ya later!

regards,
Devi

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

i can't believe i have been three years here (part 4 - End)

Chapter #4 : The Planning World  Ah, akhirnya diterusin juga ceritanya. Pada waktu postingan ini pertama dibuat, saya genap tiga tahun kerja di PT USG, hence the title. Kemudian saya lanjutkan ceritanya, lalu sempat vakum, lalu posting lagi cerita lanjutannya, dan vakum lagi cukup lamaaaaaaa di chapter tiga. Ketika chapter empat ini saya susun, saya sudah bekerja di perusahaan ini selama uhmm... delapan puluh sembilan bulan. Sudah menjelang sewindu. Masih ingat kan, hitungan matematika sewindu itu berapa tahun? Gara-gara cerita ini juga, banyak sekali email-email yang masuk ke Gmail dari para calon pelamar kerja yang nanya-nanya soal PT USG kepada saya. Umumnya mereka ini para lulusan baru alias fresh graduate yang lagi nyari kerja, terus mereka lihat lowongan di PT USG sebagai PPMC. Karena nggak paham apa itu PPMC, mereka akhirnya buka Google, terus ngetik keyword "PPMC." Hasil penelusuran mereka salah satunya mengarah ke postingan ini Rata-rata dari mereka adala

Hompimpa (Sebuah puisi dari Tengsoe Tjahjono)

Puisi Hompimpa karangan Tengsoe Tjahjono pertama kali saya ketahui saat kelas 1 SMP. Tepatnya saat classmeeting yang diadakan pasca ulangan umum. Sekolah saya SMP Negeri 6 Semarang mengadakan beberapa lomba. Yah, buat ngisi hari aja sih. Supaya murid-muridnya nggak nganggur gitu. Waktu itu Bu Tamsih (salah satu pengajar Bahasa Indonesia) mengadakan lomba deklamasi puisi Hom-Pim-Pa untuk anak-anak kelas tiga. Syaratnya : saat deklamasi puisi, satu kelas harus maju semua. Tidak boleh hanya satu orang yang maju deklamasi mewakili kelas mereka. Pokoknya, satu kelas maju bareng. Tampil di tengah-tengah lapangan. Ditonton oleh kelas satu dan kelas dua. Asik ya? Tampil rombongan, gitu. Jadi bisa dilihat kekompakan masing-masing kelas. Kalau satu orang salah, ya satu kelas bisa ancur. Pernah ada kelas yang tampil bagus banget di awal. Setelah memasuki bagian tengah-tengah, ada murid yang suaranya cempreng dan cengengesan (sungguh kombinasi yang absurd, hehe) yang tentu saja membuat semua penon

I can't believe i have been three years here

my desk, June 14th 2013 I can't believe i have been three years here. Yep, it is my 3rd year in PT Ungaran Sari Garment. After all the stormy periods, exhausted time, crazy works and many stuffs, I am still alive. Let me emphasize. I - CAN - SURVIVE. Hahaha.. Wow. Waktu cepat sekali berlalu ya? Ceritanya bakal panjang nih. Kalo kamu udah bosen, mending pindah channel aja gih. Biar kayak sinetron, saya akan membagi cerita kilas balik ini dalam beberapa chapter. Dan ini, ladies and gentlement, adalah bagian satu. Chapter #1 : The Beginning Almost three years ago, in 14th June 2010 I was called to be receptionist at Front Office PA1. Nggak kebayang senengnya waktu saya dikasih tau : Kamu keterima. Besok senin mulai masuk ya. Ya Robbi, saya bakal kerja! Setelah hampir satu minggu bolak-balik buat interview, test tertulis, dan test kesehatan, akhirnya besok Senin saya resmi jadi seorang karyawan. Saya bukan anak sekolah lagi! Saya bakal cari duit sendiri! Ay, karam