Langsung ke konten utama

Tiga alasan kenapa lebih enak ngajak orang nonton standup comedy daripada ngajak orang nonton film ke bioskop

in my own thought, mungkin inilah alasan kenapa lebih simpel mengajak nonton standup comedy daripada mengajak nonton bioskop

Satu, harga tiketnya

Let's see, berapa sih tarif Harga Tiket Masuk (HTM) untuk nonton di bioskop?
Di Semarang, ada 3 bioskop yang masih beroperasi : Citra 21 (di mal Citraland), XXI (di Paragon Mall) dan E-Plaza.
Pada hari Senin-Kamis, harga tiket masuknya 30ribu untuk Citra dan E-Plaza Semarang, sementara di XXI Paragon harganya 40ribu.
Kalau hari Minggu dan hari libur nasional, tarifnya menjadi 40ribu (Citra dan E-Plaza), dan tarif di bioskop XXI itu 60ribu. Di Karangjati, duit 60ribu itu kalau dibelikan nasi goreng bisa dapat 6 piring plus es teh manis 1 gelas.

Itu artinya, kalau kamu nonton sama pacar kamu di hari Minggu, at least musti ngeluarin duit 80ribu buat beli 2 tiket, dan akan muncul pengeluaran lain (misalnya makan bareng). Kalau ditotal-total, yah paling enggak pengeluarannya jadi 150ribu.

Itu baru nonton di Citra atau E-Plaza. Kalau kamu nonton di Paragon hari Minggu, untuk beli tiketnya saja sudah habis 120ribu. Ya, betul. 120ribu untuk duduk bersama pacar kamu dan kalian menatap layar yang sama. Ditambah popcorn, snack dan makan bersama, habislah 200ribu. Sama kayak harga SKS satu semester.

Sementara, tiket nonton StandUp Comedy tidaklah semahal itu. Harga tiket standup comedy yang paling mahal adalah 50ribu.

Oke, memang untuk para komika yang sudah punya 'nama' di Indonesia, misalnya Pandji Pragiwaksono atau Sammy D. Putra, harga tiket pertunjukan mereka sekitar 75-100ribu. Bahkan ada harga tiket 400ribu (kelas Platinum) di shownya Pandji yang bertajuk Mesakke Bangsaku. Tapi harga 400ribu ini sudah termasuk pembelian DVD Mesakke Bangsaku yang ditandatangani oleh Pandji sendiri. Namun diluar semua itu, di level-level komika yang masih baru, harga tiket paling mahal ya cuma 50ribu. Itupun kalau belinya on-the-spot alias pas hari H. Kalau yang tampil adalah komika lokal alias komika kota mereka masing-masing, harga tiketnya bahkan cuma 25ribu (untuk umum) dan untuk pelajar 20ribu.

Harga tiket pertunjukan standup comedy termahal yang pernah saya beli adalah 90ribu, yaitu saat menonton show-nya Ge Pamungkas, Gilang Bhaskara, dan Kemal Palevi saat mereka perform di Semarang dalam Three Mas Kenthis. Saya beli yang harganya 90ribu karena harga tiket yang 60ribu sudah habis.

Oh satu lagi. Kalau beli tiket standup comedy, ada yang namanya harga Pre-Sale dan harga on-the-spot. Biasanya Pre-Sale ini digelar tiga minggu atau satu bulan sebelum hari H. Jadi harga tiketnya lumayan murah, tapi ya harus cepet-cepetan. Sedangkan harga On-The-Spot adalah harga tiket saat hari pertunjukan. Biasanya panitia memang menyisakan beberapa tiket untuk dibeli pas hari H, untuk mengakomodasi kalau-kalau ada yang belum sempet beli tiket di hari sebelumnya. Harga tiket on-the-spot ini biasanya lebih mahal, paling selisih 10ribu-20ribu dari tiket presale.

Hmm... coba kalau di bioskop juga ada sistem Pre-Sale ya. Atau dikasih bonus, buat yang nonton diatas jam 23.00 harga tiketnya jadi separuh. Kan asik. Sisa duitnya bisa dipakai buat jajan es teh manis.

Dua, there will be no many (other) options

Di bioskop terdapat setidaknya 3 - 4 studio yang menampilkan film berbeda. Saat kamu ngajak teman untuk nonton film, kalian bisa milih film mana yang mau ditonton.
Lebih enak kalau sebelumnya kalian sudah punya rencana untuk nonton film tertentu. Jadi nggak usah diskusi lagi dan muncul pertanyaan "mau nonton film apa nih?" begitu sampai di bioskop.

Lain halnya kalau kamu ngajak pacar kamu atau teman kamu tapi kalian belum memutuskan film apa yang mau kalian tonton. Seringnya gitu kan? Salah satu dari kalian memutuskan mau nonton film The Raid, sementara yang satu lebih suka House at the End of The street. Gimana tuh?

Kira-kira gini deh, diskusinya :

cowok : kita mau nonton film apa nih?
cewek : apa ya?
cowok : The Raid aja gimana?'
cewek : ih, itu kan sadis banget. Enggak ah.
cowok : terus mau nonton yang mana?
cewek : yang ini aja gimana? Mr Peabody and Sherman.
cowok : masak film kartun sih?
cewek : House at The End of the street aja ya? Horor nih.


Semakin banyak pilihan filmnya, semakin lama diskusinya untuk menentukan mau nonton yang mana. Tapi biasanya sih cowok yang ngalah ya? Si cowok akhirnya merelakan nonton House at The End of the street yang alurnya lambat itu, walaupun dia nggak suka. Akibatnya? Sepanjang film dia bete dan mencibir dalam hati.

Di sisi lain, pertunjukan standup comedy itu udah fix. Acaranya kapan, siapa saja yang akan tampil, semuanya udah jelas. Jadi pertanyaannya cuma satu : Mau nonton acara ini apa enggak?

Kalau mau, ayok berangkat. Kalau nggak mau, ya udah gue nonton sendiri. Elu dirumah aja.

Dalam acara standup comedy, biasanya ada 2 opener (penampil di pembukaan) dan artis utama. Semuanya udah terpampang di poster.
Inti acaranya juga sama : melawak dan mengajak tertawa. Nggak ada acara joged sama-sama atau dihipnotis.

Kalau menurut kamu si pacar bakal suka sama acara kayak gini, ya udah ajak aja. Mau berdebat memilih apa lagi, wong pertunjukannya cuma ada itu kok.

Tiga, standup comedy is not just a laugh
Apa sih yang kita dapat dari film? Jelas, entertainment. Film itu menghibur. Lalu apa lagi?

Inspirasi untuk belajar bela diri seperti di film The Raid? Ya, bisa juga.
Melatih senam jantung seperti film horor Insidious? Oke, boleh.

Tapi coba jawab, berapa film yang memberi nilai pendidikan? Selain film-film Mira Lesmana dan Riri Riza, saya belum banyak menemukan film-film lain yang menyinggung dunia pendidikan.

Take a look again, adakah film yang mengajak kita untuk refleksi diri kita dan lingkungan sekitar kita? Mungkin ada. Tapi namanya juga film, kadang didramatisir.

Saat menonton film The Hobbit, Divergent, The Host atau Percy Jackson, saya sangat terhibur dengan dunia penuh makhluk magis. Ada Hippocampus, ada Legolas yang ganteng (ya iyalah, yang main Orlando Bloom. Coba diganti sama Will Smith, pasti beda), atau melihat aksi Tobias alias Four di film Divergent.
Saya kepengen hidup di era mereka, ikut ujian memilih Faksi seperti Beatrice Prior, atau memanah seperti Legolas, tapi jelas itu TIDAK MUNGKIN.
Kenapa? Ya karena itu fiktif. Karangan. Fantasi. Nggak mungkin terjadi di dunia nyata.

Di sisi lain, standup comedy bercerita tentang hal yang nyata. Mengangkat isu-isu yang nyata, dan kebiasaan yang sering kita lakukan. Mereka mengupas kebiasaan ini dari sisi komedik, menjadikannya kelucuan yang kita tertawakan bersama.

Beberapa standup comedian bahkan ada yang tergolong garis keras, misalnya Setiawan Yogi yang sering menyinggung masalah gender, seks, atau agama. Bahkan Tuhan. Tapi dibuat bercanda.

Kalau nonton film, kita bisa baca sinopsisnya di Wikipedia, atau baca reviewnya di Rotten Tomatoes. Kamu juga bisa nonton trailernya di Youtube.
Jadi kamu ada gambaran, kira-kira filmnya akan seperti apa.

Standup Comedy, justru tidak bisa ditebak. Kita tidak tau para komika ini akan menampilkan aksi apa dan membawakan materi apa.
Setiap komika akan menampilkan bit-bit yang bisa jadi belum pernah dilihat di show manapun.


Salah satu adik kelas saya yang juga debater, namanya Nanda, pernah bilang "Lebih mending nonton film aja, daripada nonton standup comedy. Udah bayar 60ribu, eh disana cuma ketawa doang"

I think he's wrong. Semua orang yang suka nonton Standup Comedy pasti setuju bahwa setelah acara selesai, kepala mereka penuh hal baru. Mereka memandang sesuatu dengan kacamata yang berbeda.

Sebenarnya nonton standup comedy itu syaratnya juga cuma 3 kok : udah diatas 17tahun, tidak fanatik, dan tidak sensian. Udah itu aja.
Kalau pacar kamu termasuk orang yang sensian, pendukung fanatik suatu klub sepakbola, atau masih umur 15, mending jangan diajak. Kasian. Dia akan menderita selama 2 jam. Kupingnya bisa panas kalau klub kesayangannya dijadikan bahan becandaan. Mending suruh aja dia nonton Dora, hehehe :P

Saya nulis ini bukan karena saya penggemar standup comedy lho ya. Bukan berarti saya memihak para komika. Saya tetep suka film kok. Tapi jika membandingkan Nonton Film vs Nonton StandUp comedy show, sorry to say but I prefer to watch stand up comedy. Sangat-sangat-sangat menyenangkan saat mendengarkan para komika berbagi sudut pandang dan bercerita tentang kekonyolan manusia yang sering dilakukan.

Bersama-sama, kami menertawakan hal remeh yang sering kami temui, tapi tak pernah sadar bahwa itu konyol. Bersama-sama, kami menertawakan diri kami sendiri.

Ah, andai kalian tau. Derai tawa yang membahana itu candu, temanku.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

i can't believe i have been three years here (part 4 - End)

Chapter #4 : The Planning World  Ah, akhirnya diterusin juga ceritanya. Pada waktu postingan ini pertama dibuat, saya genap tiga tahun kerja di PT USG, hence the title. Kemudian saya lanjutkan ceritanya, lalu sempat vakum, lalu posting lagi cerita lanjutannya, dan vakum lagi cukup lamaaaaaaa di chapter tiga. Ketika chapter empat ini saya susun, saya sudah bekerja di perusahaan ini selama uhmm... delapan puluh sembilan bulan. Sudah menjelang sewindu. Masih ingat kan, hitungan matematika sewindu itu berapa tahun? Gara-gara cerita ini juga, banyak sekali email-email yang masuk ke Gmail dari para calon pelamar kerja yang nanya-nanya soal PT USG kepada saya. Umumnya mereka ini para lulusan baru alias fresh graduate yang lagi nyari kerja, terus mereka lihat lowongan di PT USG sebagai PPMC. Karena nggak paham apa itu PPMC, mereka akhirnya buka Google, terus ngetik keyword "PPMC." Hasil penelusuran mereka salah satunya mengarah ke postingan ini Rata-rata dari mereka adala

Hompimpa (Sebuah puisi dari Tengsoe Tjahjono)

Puisi Hompimpa karangan Tengsoe Tjahjono pertama kali saya ketahui saat kelas 1 SMP. Tepatnya saat classmeeting yang diadakan pasca ulangan umum. Sekolah saya SMP Negeri 6 Semarang mengadakan beberapa lomba. Yah, buat ngisi hari aja sih. Supaya murid-muridnya nggak nganggur gitu. Waktu itu Bu Tamsih (salah satu pengajar Bahasa Indonesia) mengadakan lomba deklamasi puisi Hom-Pim-Pa untuk anak-anak kelas tiga. Syaratnya : saat deklamasi puisi, satu kelas harus maju semua. Tidak boleh hanya satu orang yang maju deklamasi mewakili kelas mereka. Pokoknya, satu kelas maju bareng. Tampil di tengah-tengah lapangan. Ditonton oleh kelas satu dan kelas dua. Asik ya? Tampil rombongan, gitu. Jadi bisa dilihat kekompakan masing-masing kelas. Kalau satu orang salah, ya satu kelas bisa ancur. Pernah ada kelas yang tampil bagus banget di awal. Setelah memasuki bagian tengah-tengah, ada murid yang suaranya cempreng dan cengengesan (sungguh kombinasi yang absurd, hehe) yang tentu saja membuat semua penon

I can't believe i have been three years here

my desk, June 14th 2013 I can't believe i have been three years here. Yep, it is my 3rd year in PT Ungaran Sari Garment. After all the stormy periods, exhausted time, crazy works and many stuffs, I am still alive. Let me emphasize. I - CAN - SURVIVE. Hahaha.. Wow. Waktu cepat sekali berlalu ya? Ceritanya bakal panjang nih. Kalo kamu udah bosen, mending pindah channel aja gih. Biar kayak sinetron, saya akan membagi cerita kilas balik ini dalam beberapa chapter. Dan ini, ladies and gentlement, adalah bagian satu. Chapter #1 : The Beginning Almost three years ago, in 14th June 2010 I was called to be receptionist at Front Office PA1. Nggak kebayang senengnya waktu saya dikasih tau : Kamu keterima. Besok senin mulai masuk ya. Ya Robbi, saya bakal kerja! Setelah hampir satu minggu bolak-balik buat interview, test tertulis, dan test kesehatan, akhirnya besok Senin saya resmi jadi seorang karyawan. Saya bukan anak sekolah lagi! Saya bakal cari duit sendiri! Ay, karam