Langsung ke konten utama

The new members of Devitopia

Saya punya kesayangan baru. Sini, saya kenalin.

Sejak lima bulan belakangan ini, saya punya 'yayang' baru. Yang biasa saya bawa kemana-mana. Yang menemani saya saat bengong. Yang membantu saya membunuh idle time. Yang membuat saya seolah masuk ke sebuah gelembung dan lupa pada hal-hal lain.
Dan jumlahnya nggak hanya satu. Tapi ada tiga.

Yang pertama adalah sepeda saya. Namanya Mi Azul Fuerte. Atau saya panggil Azul.
Sepeda merek Polygon tipe Monarch 2.0 ini saya beli saat menang arisan bulan Mei. Sudah lama saya berangan-angan punya sepeda sendiri untuk berangkat kerja.
I was purchasing this bike from Rodalink, which is the official store of Polygon. Toko Rodalink ini ada di area Bangkong, Semarang. Harganya (waktu itu) IDR 1600 K. Sebenarnya, Toko Rodalink menyediakan jasa pengantaran sih. Waktu saya tanya berapa kira-kira biaya pengiriman ke Genuk, si pramuniaga menjawab "sekitar 100 ribu mbak"

Mulut saya langsung mangap.

Dari Genuk ke Bangkong musti bayar pengiriman 100 ribu itu mahal lho. Serius. Setelah saya pikir lagi, jarak Bangkong ke rumah saya sekitar 26 kilo mungkin. It will take 1 hour. Kemudian ...

"Nggak usah deh Mas. Sepedanya langsung saya naiki aja. Saya berani kok, bawa sepeda ini dari Bangkong ke Genuk"

Dan begitulah. Perjalanan satu jam melewati area Milo, Majapahit, Pedurungan, Bangetayu, dan Genuk adalah petualangan pertama saya dan sepeda ini. Sejak itu, saya mulai mengayuh sepeda ini saat berangkat dan pulang kerja. For your info, jarak antara kost dan tempat kerja saya adalah 5 kilometer. Buat kamu yang belum pernah sekalipun ke Pringapus, mungkin komentar kamu adalah "Alaah, 5 kilo mah kecil. Deket itu"

Tapi bagi orang yang beberapa kali kesana, atau bahkan kerja di Pringapus kayak saya, komentar mereka adalah "Gilak. Berani banget"

Kenapa? Itu karena kondisi jalan Karangjati - Pringapus sangat menantang. Jalannya naik dan turun. Melewati perbukitan karet Jangkang. Beberapa punya tanjakan dengan sudut 40 derajat. Belum lagi arus kendaraannya. Seperti lazimnya di jalanan lain, ada banyak motor bersliweran bersama mobil angkot. Kadang-kadang ada truk dan kontainer besar. Kalau nggak bener-bener nekad (dan bandel), ya pasti nggak akan sanggup.
Dan Azul menemani saya melewati medan yang naik turun itu. Bersama-sama, kami menjadi partner yang sehati. Bagaikan Maggie Peyton dan Herbie. Seperti Eragon dan Saphira. Seperti Hiccup dan Toothless. Seperti Si Buta dari Gua Hantu dan si Kliwon (eh..)
Kalo lagi menunggangi si Azul, kadang saya suka mendesis sendiri. "Come on, Azul. Di depan ada jalan menurun. Got to be careful"
Atau kalau saya berhasil melewati jalan yang mendaki, saya bergumam "We did it, Azul. Good job"

Kadang saya bingung apakah kewarasan saya benar-benar sudah tergangggu karena bicara dengan sebuah sepeda.

Normally it takes 12 - 15 minutes saat naik angkot dari kos ke tempat kerja. Jadi kurang lebih 30 menit untuk perjalanan pulang-pergi dari kost ke tempat kerja. Itu kalo naik angkot. Ketika naik sepeda, waktu tempuhnya jelas beda.

Saat berangkat kerja, saya membutuhkan waktu 10-13 menit dari kost ke tempat kerja. Cepat ya? Itu karena arah jalannya banyak yang menurun.
Nah, pas pulang itulah perjuangan terberatnya. Saya harus mengayuh sepeda melewati jalanan yang rata-rata mendaki arahnya. Belum lagi karena arahnya memutari hutan, jadi waktu tempuhnya bisa sampai 30 menit dari tempat kerja kembali ke kost. Abot tenan, rek.

Semenjak bersama Azul, saya jadi terbiasa berangkat lebih pagi untuk menghindari kepadatan arus lalu lintas. Eh jangan salah sangka ya. Biarpun Karangjati dan Pringapus itu kota yang bisa dibilang kecil, tapi disini banyak pabrik. Pabrik garment, pabrik roti, pabrik permen, pabrik handuk, sampai pabrik anak (he...?).

Kalau sudah jam 06.30, itu artinya sudah masuk rush hour. Jam-nya orang-orang pada heboh untuk salip-menyalip agar segera sampai di tempat kerja. Segala motor, angkot bahkan bus jemputan bersliweran di jalan. Sedang saya? Naik sepeda. Jelas jadi minoritas. Di hari pertama saya naik sepeda, orang-orang mengalihkan pandangan seolah-olah melihat Jennifer Lawrence lagi jalan sama Jaja Miharja. Dramatis. Rata-rata bergumam "Wuih.."

Itu baru reaksi pengguna jalan. Di tempat saya kerja, reaksinya lebih cetar lagi. Rata-rata bertanya pada saya : "kok berani sih naik sepeda? Enggak takut lewat tanjakan Jangkang?" Sebagian besar lainnya berseloroh "sehat, Dev?" atau nyeletuk "Sekalian olahraga ya Dev"

Apapun reaksi mereka, sebagai orang yang merendahkan hati (ninggiin mutu), saya cuma senyum dan menjawab pertanyaan dan todongan mereka. Dengan populasi masyarakat Karangjati yang nggak begitu banyak, saya langsung dikenali sebagai satu-satunya karyawan yang mengayuh sepeda. Yes, that's right. Satu-satunya.

Sekali lagi ya. Satu-satunya karyawan yang mengayuh sepeda, diantara 5000 karyawan lainnya.  Ya, segubrak itulah perbandingannya.

Misalnya sehari saja saya tidak bersepeda dan naik angkot (yah, namanya manusia kan pasti bisa capek dong) orang-orang, terutama supir angkot pasti langsung menegur "kok nggak naek sepeda, Mbak?" atau mereka bilang "Mbak'e ini kerja di papros kan? Sepedanya mana mbak?"

Nah kan. Gara-gara bawa sepeda, saya jadi tambah terkenal. Terkenal di kalangan supir angkot. Hehehehe..

Salah satu teman saya, namanya Mba Ana boleh saja bangga menjadi satu-satunya cewek di unit PA 3 yang memakai rok, sementara karyawan cewek lain memakai celana panjang. Tapi itu dulu. Sekarang, saya dong, yang boleh bangga karena jadi satu-satunya yang memakai kereta angin. Yeah =D

Azul sedang di-trimming sama Mas Deri dan Mas Angga di toko Rodalink, at the day when I bought it.

The shoes, the jacket and the bike

salah satu pemandangan yang saya lihat saat pulang naik sepeda
kadang-kadang ketemu bebek-bebek yang mau balik ke kandang

===
Kesayangan saya yang kedua bernama Black Shadow. Bukan, dia bukan pendekar. Black Shadow adalah sebuah laptop.
Yes, persisnya sebuah laptop warna hitam keluaran Hewlett & Packard (HP), yang sudah berada di golongan quad core. Saya baru 'jadian' sama Black Shadow sejak Juni 2015, yaitu saat mendapatkan annual appraisal. Rencananya, Black Shadow ini akan saya gunakan untuk menunjang aktivitas tulis-menulis biar kemampuan menulis saya makin terasah. Selain itu, rencananya kan tahun ini saya mau kuliah, jadi ya sekalian Black Shadow akan dipakai untuk men-download materi kuliah atau ngerjain tugas.

Yeah, rencananya sih gitu.

Tapi realita-nya, selama empat bulan ini Black Shadow lebih sering dipakai buat nonton film dan main mahjong. Bhihihikik..

Turun derajat banget yak? Ini mah sama aja beli gimbot seharga 3.5 juta. Ujung-ujungnya buat maenan di waktu senggang =P

Tapi nggak juga kok. Akhir-akhir ini saya sering nulis, terutama nulis hal-hal yang saya impikan semalam. Atau sekadar menulis jurnal harian. Kadang saat cuti kerja, saya juga memakai Black Shadow untuk membuka email-email dari supplier dan mengecek invoice / packing list. Jadi, walaupun sering dipakai buat mainan tapi laptop ini juga masih dibuat melakukan hal yang produktif. *nyari justifikasi*

Black Shadow ini belinya di Plaza Simpanglima lantai 7. Nama tokonya Alyosha. Kenapa saya milih laptop merek ini? Simpel : karena diantara merek lainnya, hanya laptop inilah yang waktu itu lagi diskon gede. Ya, saya memang sepelit itu.

Selama 4 bulan ini Shadow sudah membantu menurunkan kadar kebosanan dan penderitaan insomnia saya. Ketika saya susah tidur dan ingin begadang (terutama kalo besoknya hari libur), saya bisa browsing macam-macam hal dan artikel. Kalau ada hal-hal yang tiba-tiba melintas di pikiran saya, Black Shadow bisa menyimpan hal itu. Layar selebar 14 inchi bisa memuaskan saya saat melihat trailer film-film yang akan tayang. Kalau saya bosen sama acara TV, saya bisa muter film secara maraton tanpa jeda.

Suatu ketika saya pernah browsing tentang pegadaian. Ternyata, harga 'gadai' untuk satu laptop Quad Core adalah 500ribu - 1 juta. Ini jelas berita bagus. Kalau suatu ketika saya kehabisan duit sebelum gajian, saya bisa membawa Black Shadow ke pegadaian untuk mendapat pinjaman uang 500ribu. Tidak disangka, selain menjadi pacar kedua ternyata Shadow juga merupakan sebuah aset. Heu.. heu.. heu..

Black Shadow lagi nunggu proses instalan aplikasi sama Mas Aji (yang pake baju merah)

mbak Vita, si admin yang biarpun kalem tapi tatonya mantap


===
Pacar saya yang ketiga namanya... nggak ada.

Saya sengaja nggak kasih nama dia. Biar begitu, pacar ketiga inilah yang selalu nempel sama saya dibanding kedua kesayangan saya yang lain. Bisa menebak? Kesayangan saya yang ketiga adalah sebuah smartphone. Sama seperti Black Shadow, smartphone yang belum lama jadian ini juga berwarna hitam. Mereknya Lenovo, tipe A6000 Plus.
Saya kenalan sama pacar ketiga ini saat browsing-browsing handphone android. Hati saya gundah saat handphone pertama saya, si Maverick, layar LCD-nya bocor gara-gara ketabrak pinggiran meja. Kebocoran layar LCD ini makin parah ketika tanpa sengaja Maverick jatuh dari meja ke lantai waktu akan dicharge.

Ini bentuk layar Maverick waktu itu :


See? Hampir separuh layarnya tertutup oleh bayangan hitam. Teman kerja saya malah ada yang bilang kalau layar handphone ini seperti kena kutukan -__-

Dengan kondisi layar seperti itu, otomatis saya tidak bisa membaca chat maupun pesan yang dikirimkan ke saya. Susah banget. Musti diputer-puter ke kanan ke kiri biar bisa membaca sebagian besar kalimatnya. Kalau ngetik balasan pesan, benar-benar harus pakai intuisi dan baca doa mudah-mudahan tidak ada typo atau kesalahan tulis yang parah. Dan karena masalah itulah, kebersamaan selama 28 bulan bersama Maverick si Samsung Galaxy ch@t harus diakhiri. Padahal banyak banget kenangan yang tersimpan di hape itu. Segala chat di whatsapp, Line dan PIN BBM juga harus dihapus karena tak bisa dipakai. Satu hal lagi yang bikin saya demen sama Maverick : dia satu-satunya HP Android yang keyboard-nya “nyata” alias bukan layar sentuh. Disaat HP android lain saling lomba-lomba membuat layar berukuran besar dan full-touchscreen, si Maverick masih menyisakan sepetak bagian untuk keyboard yang beneran bisa dipencet. Bukan apa-apa sih. Cuman, layar sentuh itu merepotkan untuk ngetik. Bikin sering typo.

Tapi semua hal indah itu harus diakhiri. Mengingat kondisi fisiknya yang sudah nggak support, saya akhirnya putus dengan Maverick. Dia harus dibuang? dikubur? disimpan di lemari bagian paling bawah, biar nggak dibuka-buka lagi. Beberapa hari kemudian, saya mulai browsing HP baru. Awalnya, teman-teman secara beringas memanas-manasi saya agar membeli Lenovo A7000. “Kameranya mantap, Dev. Yang belakang 8 megapixel, yang depan 5 megapixel. Udah pakai Lollipop dan quad core. Quad core, Dev. Wis to, apik banget iku”

Dan harga gadget bernama A7000 ini adalah : 2.4 jutaan. Yang jelas saja langsung saya tolak. Wong budget saya aja nggak sampe segitu.

Kemudian saya beralih ke bagian bawahnya. Ada A6000 plus. Bisa dibilang ini ‘adeknya’ A7000. Baru dilaunching ke pasaran sekitar April 2015 dengan selisih harga 800-700 ribu dibanding A7000. Kamera belakang 5 megapixel, kamera depan 2 megapixel. Basisnya Android Kitkat. Memori internal 11 gigabyte. Not bad, pikir saya. Tanggal 1 September 2015, saya ke gerai selular EDEN CELL untuk memboyong handphone ini.


Begitu saya resmi jadi pemiliknya, hal pertama yang saya lakukan adalah : test kamera. I need to check the image-capturing skill. And I am impressed. Hasilnya jelas jauh lebih bening daripada kamera Samsung Galaxy ch@t yang cuma 1.2 megapixel. Lalu fitur lainnya : text, phone book, sampai display setting. Cuma satu yang kurang sreg : tidak ada fitur notepad. Entah beneran nggak ada, atau mungkin saya aja yang katrok dan nggak bisa nemu fiturnya di daftar menu.

Berhadapan dengan smartphone ini, saya kembali terjangkit virus “socmed-addict”. Bangun pagi, sebelum tidur, dan setelah makan siang selalu ngecek timeline. Siklus bersama Maverick pun terulang lagi. Pagi-pagi sebelum mandi, saya udah scroll down timeline Twitter. Istirahat makan siang sambil lihat-lihat foto instagram. Diatas jam 14.00 pasti ngecek Ask.fm dan senyam-senyum liat jawaban para selebAsk. Apalagi kalau habis nonton film. Dengan gaya kritikus amatir, saya mereview film-film dan saya posting di Facebook. Sebelum tidur, minimal harus liat 1 trailer film baru di Youtube.

See? Bahkan buku The Old Man and the Sea yang tipis (127 halaman) butuh waktu 1 bulan untuk dibaca. Kenapa? Ya gara-gara saya nggak bisa menahan diri memantau twitter. Godaan melihat kicauan Muhadkly Acho jauh lebih besar daripada membaca usaha Pak Tua menangkap ikan marlin raksasa. Kuota internet saya juga boros banget sejak memakai si yayang ini. Tapi apalah gunanya mengeluh. It has been my consequence, right?

Well.. itu tadi ketiga pacar saya. Dan sebagai pacar yang baik, saya juga akan melindungi mereka. Menjaga mereka dengan segenap jiwa raga. Kalau ada yang mau pinjem, saya nggak rela ketiga pacar ini diapa-apain sama orang lain. Musti tetap suci.

Sebagian dari kalian mungkin merasa prihatin dan kasihan ketika baca tulisan ini. Kehidupan asmara kamu pasti ngenes banget ya Dev, sampai memutuskan untuk pacaran dengan benda-benda kayak gini. Makanya, cari pacar beneran dong. Biar nggak delusi, begitu mungkin pikir kalian.
Masa bodo. Terserah, saya nggak peduli kalian mau komentar apa.

Kenyataannya,  ketiga benda yang saya sebut diatas sudah resmi menjadi penghuni baru dunia Devitopia. Dunia saya. Azul membantu saya tetap bergerak dan berkeringat, syukur-syukur bisa nurunin berat badan (Amin. Amin. AAMMINN..). Kalau saya lagi bosen, saya bisa mengayuh Azul untuk menjelajah desa-desa di Pringapus. Black Shadow bisa dipakai untuk back-up kerjaan saya. Kalau saya sedang bĂȘte, Shadow bisa menemani saya membantai pesawat alien di Aliens Star. Si henpon Lenovo dipakai untuk membuka email kerjaan di Wordclient, sekaligus sarana untuk stalking gebetan mengetahui perkembangan dunia.

Memiliki benda-benda ini tidak lantas menjadikan saya orang kaya. Saya yakin ada banyak orang yang lebih mampu dan afford benda-benda diatas dengan merek dan jenis yang lebih canggih. But I am proud, because in fact I can buy those things by my own money after working. I am not seeking that ‘orang kaya’ predicate. Being ‘orang kaya’ will always made you craving for anything higher. I don’t want to be that one. For now, all I can say is : I am contented. :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

i can't believe i have been three years here (part 4 - End)

Chapter #4 : The Planning World  Ah, akhirnya diterusin juga ceritanya. Pada waktu postingan ini pertama dibuat, saya genap tiga tahun kerja di PT USG, hence the title. Kemudian saya lanjutkan ceritanya, lalu sempat vakum, lalu posting lagi cerita lanjutannya, dan vakum lagi cukup lamaaaaaaa di chapter tiga. Ketika chapter empat ini saya susun, saya sudah bekerja di perusahaan ini selama uhmm... delapan puluh sembilan bulan. Sudah menjelang sewindu. Masih ingat kan, hitungan matematika sewindu itu berapa tahun? Gara-gara cerita ini juga, banyak sekali email-email yang masuk ke Gmail dari para calon pelamar kerja yang nanya-nanya soal PT USG kepada saya. Umumnya mereka ini para lulusan baru alias fresh graduate yang lagi nyari kerja, terus mereka lihat lowongan di PT USG sebagai PPMC. Karena nggak paham apa itu PPMC, mereka akhirnya buka Google, terus ngetik keyword "PPMC." Hasil penelusuran mereka salah satunya mengarah ke postingan ini Rata-rata dari mereka adala

Hompimpa (Sebuah puisi dari Tengsoe Tjahjono)

Puisi Hompimpa karangan Tengsoe Tjahjono pertama kali saya ketahui saat kelas 1 SMP. Tepatnya saat classmeeting yang diadakan pasca ulangan umum. Sekolah saya SMP Negeri 6 Semarang mengadakan beberapa lomba. Yah, buat ngisi hari aja sih. Supaya murid-muridnya nggak nganggur gitu. Waktu itu Bu Tamsih (salah satu pengajar Bahasa Indonesia) mengadakan lomba deklamasi puisi Hom-Pim-Pa untuk anak-anak kelas tiga. Syaratnya : saat deklamasi puisi, satu kelas harus maju semua. Tidak boleh hanya satu orang yang maju deklamasi mewakili kelas mereka. Pokoknya, satu kelas maju bareng. Tampil di tengah-tengah lapangan. Ditonton oleh kelas satu dan kelas dua. Asik ya? Tampil rombongan, gitu. Jadi bisa dilihat kekompakan masing-masing kelas. Kalau satu orang salah, ya satu kelas bisa ancur. Pernah ada kelas yang tampil bagus banget di awal. Setelah memasuki bagian tengah-tengah, ada murid yang suaranya cempreng dan cengengesan (sungguh kombinasi yang absurd, hehe) yang tentu saja membuat semua penon

I can't believe i have been three years here

my desk, June 14th 2013 I can't believe i have been three years here. Yep, it is my 3rd year in PT Ungaran Sari Garment. After all the stormy periods, exhausted time, crazy works and many stuffs, I am still alive. Let me emphasize. I - CAN - SURVIVE. Hahaha.. Wow. Waktu cepat sekali berlalu ya? Ceritanya bakal panjang nih. Kalo kamu udah bosen, mending pindah channel aja gih. Biar kayak sinetron, saya akan membagi cerita kilas balik ini dalam beberapa chapter. Dan ini, ladies and gentlement, adalah bagian satu. Chapter #1 : The Beginning Almost three years ago, in 14th June 2010 I was called to be receptionist at Front Office PA1. Nggak kebayang senengnya waktu saya dikasih tau : Kamu keterima. Besok senin mulai masuk ya. Ya Robbi, saya bakal kerja! Setelah hampir satu minggu bolak-balik buat interview, test tertulis, dan test kesehatan, akhirnya besok Senin saya resmi jadi seorang karyawan. Saya bukan anak sekolah lagi! Saya bakal cari duit sendiri! Ay, karam