Langsung ke konten utama

In the name of Fear

SATU

Beberapa waktu lalu saya nonton ulang film Harry Potter kelima (Harry Potter and the Order of the Phoenix) dari DVD. Walaupun udah hapal ceritanya tapi saya nggak pernah bosen nonton ulang. In my opinion, dari semua film Harry Potter lainnya, film kelima ini adalah adaptasi yang paling bagus dan paling emosional kedua setelah Harry Potter and the Deathly Hallows part 2. Problema dilematis yang dilewati Harry di masa transisinya sebagai remaja begitu rumit. Persidangan di Departemen Sihir, sikap Profesor Dumbledore yang tiba-tiba menjauh, kisah cintanya dengan Cho Chang (yang akhirnya kandas, hahaha.. saya senang sekali!) dan puncaknya Harry kehilangan satu-satunya keluarga yang masih dimilikinya (dan saya nangis waktu adegan ini. Biarin)

Di film kelima ini, Pangeran Kegelapan Lord Voldemort mulai bangkit. Sesuatu yang amat ditakuti oleh semua masyarakat sihir. Terjadi pelarian besar-besaran di penjara Azkaban dan penyihir-penyihir keji kembali mengabdi pada tuan besar mereka. Kementrian Sihir ikut panik dan membungkam siapa saja yang menyebarkan berita kebangkitan Lord Voldemort. Bahkan Harry Potter pun disidang dihadapan semua Wizengamot (anggota dewan kehormatan penyihir) hanya karena menggunakan mantra Patronus (yang waktu itu terpaksa dia lakukan karena dua Dementor menyerang Harry dan sepupunya). Harry dituduh berbohong karena berkeras menyatakan bahwa Voldemort telah kembali dan telah membunuh Cedric Diggory, seorang murid kebanggaan Hogwarts. Dumbledore mendukung pernyataan Harry dengan banyaknya bukti, yang sayangnya –secara ngotot- Kementrian Sihir terus menyangkal. “Cornelius, I implore you to see reason. The evidence that the Dark Lord has returned is incontrovertible” kata Dumbledore.

Tapi Cornelius si menteri sihir tetap ogah percaya. Karena dia takut. Bukan takut pada Voldemort. Tapi takut kalau Dumbledore akan mengambil jabatannya sebagai menteri sihir. Pikiran yang konyol, karena semua penggemar setia Harry Potter yang udah baca bukunya pasti tau bahwa Dumbledore sama sekali nggak punya keinginan untuk jadi menteri sihir. Tapi Cornelius Fudge menganggap Dumbledore sebagai saingan terberatnya, karena kalau dipikir-pikir Dumbledore lebih populer, lebih disegani masyarakat (pertarungan dahsyatnya melawan Gellert Grindelwald merupakan legenda), dan yang jelas Dumbledore adalah satu-satunya penyihir terhebat yang masih ditakuti oleh Voldemort. Berminat atau enggak, Dumbledore jelas lebih unggul dalam hal apapun dibandingkan Cornelius Fudge untuk menjadi menteri sihir. Dan itulah yang ditakuti Fudge. Ketakutan bahwa Dumbledore mengincar jabatannya. Rasa takut ini membuat menteri sihir menggunakan semua kekuasaan mereka (termasuk memanipulasi berita di harian penyihir Daily Prophet dengan informasi yang makin lama makin nggak masuk akal) untuk menutupi semua fakta dan menyangkal bahwa Voldermort akan kembali. The minister will do almost anything to avoid facing that terrifying truth.

***
DUA

Waktu SMP, saya pernah dimusuhi satu kelas, karena saya terlalu idealis tentang Anti-Nyontek. Bagi saya, menyontek itu tidak boleh. Nyontek itu tidak jujur.
Baru sekolah saja mulai tidak jujur, apalagi nanti kalau sudah dewasa? Karena tidak tahan melihat fenomena Duile-Anak-Pinter-Tapi-Nyontek ini, saya yang waktu itu menjabat sebagai ketua kelas kemudian melakukan hal yang barangkali dikutuk oleh oknum pencontek di seluruh Indonesia : melapor pada guru.
Saya lapor ke wali kelas, lalu diam-diam saat istirahat saya ke guru BP untuk melaporkan nama-nama siswa yang bermufakat untuk mencontek saat ulangan.

Itu belum cukup. Setiap kali ada guru yang akan mengadakan ulangan harian, beberapa menit sebelum ulangan dimulai saya akan membisiki si guru tentang siswa yang akan mencontek. Wali kelas memuji saya. Guru BP berterimakasih karena saya mau bertindak atas sesuatu yang salah. Sementara di mata teman-teman : saya menjijikkan, sok suci, penjilat, sok idealis, orang paling menyebalkan yang layak disiksa dengan kutukan Cruciatus atau Sectumsempra.

Terus terang, saya geram melihat mereka menyontek. Padahal teman-teman saya bisa dikatakan pandai. Mereka adalah anak-anak pilihan. Anak-anak dengan yang nilai rapor tertinggi di kelas 1. Saat naik ke kelas dua, pihak sekolah punya ide untuk menyatukan anak-anak ini ke dalam sebuah kelas: kelas eksekutif 2A. Satu kelas hanya 24 orang, yang rata-rata mendapat rangking 1 atau 2 di kelas mereka. Pendek kata, mereka bukan anak-anak yang punya kesulitan belajar. They’re smart.

So, if they're smart why are they cheating in examination?

Setelah saya telusuri dan amati, alasan utama mereka mencontek adalah : Takut Nilai Jelek. Para guru dan siswa lain menganggap kelas kami adalah kelas pilihan. Kumpulan anak-anak peraih rangking 1 dan rangking dua di kelas satu. Kalau nilai ulangan jelek, mau dikemanakan reputasi ini?
Dan ketakutan mendapat nilai jelek itulah yang membuat mereka mempertaruhkan rasa malu (dan mungkin harga diri juga) dengan menyontek.

***
TIGA

Beberapa waktu lalu ada berita tentang mucikari berinisial RA sebagai penyelia jasa prostitusi elit yang melibatkan kalangan artis. Bukan hanya wanita, beberapa laki-laki juga ditawarkan pada orang-orang berduit. Tarifnya nggak  tanggung-tanggung, minimal 80 juta rupiah selama 3 jam.
Kalau memang prostitusi ini melibatkan artis (yang entah pernah main film atau sinetron apa. Jangan-jangan cuma jadi bintang iklan kaos kaki aja trus ngaku artis), kenapa para artis ini mau? Bukankah mereka punya pendapatan yang lumayan saat tampil di TV? Jawaban umum dari para narasumber adalah : gengsi. Takut kalah glamor dari artis yang lain. Bergaul di lingkungan yang serba bling and sparkling menuntut mereka untuk memakai barang-barang yang luks. Tas harus import, minimal Prada. Sepatu Christian Louboutin. And you must carry Iphone, at least.
Budget pergaulan mewah seperti ini tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Karena takut dikucilkan, dicibir dan dipermalukan, beberapa artis memilih jalan pintas : menjadi simpanan orang kaya, atau ya itu tadi. Memuaskan nafsu orang-orang berduit dengan bayaran sekian puluh juta dalam berapa jam.

***

Ketiga cerita tadi memiliki inti yang sama : Takut. Rasa takut dapat memicu seseorang melakukan hal-hal yang sulit dimengerti. Seperti yang dikatakan Professor Remus Lupin di film Harry Potter kelima tentang si menteri sihir Cornelius Fudge :

“Fudge isn't in his right mind. It's been twisted and warped by fear. Now, fear makes people do terrible things, Harry

Pada cerita pertama, Cornelius Fudge takut kehilangan posisi. Teman-teman saya takut mendapat nilai jelek. Artis pendatang baru takut kalah saing dalam pergaulan. Beberapa pejabat ada yang takut miskin. Sehingga mereka mengambil sebanyak-banyaknya sambitan dari beberapa proyek, mengambil yang bukan haknya. Beberapa orang takut dihukum, maka mereka memilih kabur, atau bunuh diri. Sebagian orang dari kita takut dianggap jomblo abadi, maka mereka memutuskan untuk main dukun. Biar pelet yang berbicara.

Rasa takut itu wajar. Manusiawi. Dalam kasus Nyontek yang dilakukan teman-tema saya, tentunya itu bukan salah mereka sepenuhnya. Semasa sekolah, saya pun takut dapat nilai jelek, sama seperti jutaan pelajar Indonesia lainnya. Ini salah satunya karena sistem pendidikan kita yang menjadikan skor tinggi sebagai tolok ukur. Tidak mendapat nilai bagus = jaminan nggak naik kelas = dimarahi orangtua = masa depan suram. Sistem pemuja nilai seperti ini membuat siswa tertekan. Ujung-ujungnya, karena kepepet ya mereka bakalan nyontek. Menipu diri sendiri.

Beberapa artis ada yang terlibat skandal (menjadi selingkuhan orang kaya, terlibat prostitusi elit) mengalami tekanan untuk selalu tampil wah. Di satu sisi, mereka public figure yang sering dibuntuti oleh kamera wartawan. Masak iya, jalan-jalan ke mall trus ke-gap pakai tas buatan Cibaduyut pinggiran dan sepatu ala pasar Mayestik? Di sisi lain, saat bergaul dengan rekan-rekan sesama artis, mereka juga merasa harus tampil setara. Kalau bisa lebih. Padahal tak ada hukum dan peraturan tertulis bahwa semua artis harus belanja minimal di Singapura. Penampilan ngejreng, pakaian bermerek, dan perawatan tubuh pasti makan uang yang nggak sedikit untuk level ‘artis’ (berhubung saya bukan artis, saya nggak tau jumlah nominal untuk ‘level artis’ itu seberapa banyak)

It’s okay to be afraid. It’s normal to have a fear. Yang perlu kita ingat, apa yang kita takutkan biasanya berasal dari pikiran kita sendiri. Dari pengandaian otak kita sendiri. Kita melebih-lebihkan khayalan terburuk kita, membangun prasangka buruk pada sesuatu yang kita hadapi. Prasangka buruk itu akhirnya mendominasi dan …. Bam! kita terdorong melakukan hal yang buruk. Demikian juga tentang pejabat dan politisi yang korup. Saya yakin beberapa dari mereka sebetulnya masih punya nurani untuk tidak korupsi. Kecuali mereka selalu tidur saat pelajaran PPKn atau atheis, mereka pasti tau kalau korupsi itu salah dan dosa. Tapi kenapa mereka masih korupsi? Well… sometimes the situation made them to do so. Mereka takut mereka bakal jatuh miskin. Mereka takut gaji mereka yang sekarang nggak akan cukup untuk bayar utang di masa kampanye dulu sebelum mereka terpilih. Mereka takut kebutuhan mereka tak akan terpenuhi dengan gaji belasan juta. Dan lain-lain, dan lain-lain.
Begitu terus. Akhirnya menjadi neverending evil cycle. Seperti lingkaran yang tak ada putusnya, dan lingkaran itu terus mengurung kita.

Fears are stories that we tell to ourselves. At the end, we will realize that to overcome fears, we have to go through. Not around.

Jangan mau dibuat takut oleh pikiran. You are stronger than your worse nightmares. Jadilah dirimu sendiri dan beranilah.


Selamat pagi dan semoga November ini jadi bulan keberhasilan untuk kita semua.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

i can't believe i have been three years here (part 4 - End)

Chapter #4 : The Planning World  Ah, akhirnya diterusin juga ceritanya. Pada waktu postingan ini pertama dibuat, saya genap tiga tahun kerja di PT USG, hence the title. Kemudian saya lanjutkan ceritanya, lalu sempat vakum, lalu posting lagi cerita lanjutannya, dan vakum lagi cukup lamaaaaaaa di chapter tiga. Ketika chapter empat ini saya susun, saya sudah bekerja di perusahaan ini selama uhmm... delapan puluh sembilan bulan. Sudah menjelang sewindu. Masih ingat kan, hitungan matematika sewindu itu berapa tahun? Gara-gara cerita ini juga, banyak sekali email-email yang masuk ke Gmail dari para calon pelamar kerja yang nanya-nanya soal PT USG kepada saya. Umumnya mereka ini para lulusan baru alias fresh graduate yang lagi nyari kerja, terus mereka lihat lowongan di PT USG sebagai PPMC. Karena nggak paham apa itu PPMC, mereka akhirnya buka Google, terus ngetik keyword "PPMC." Hasil penelusuran mereka salah satunya mengarah ke postingan ini Rata-rata dari mereka adala

Hompimpa (Sebuah puisi dari Tengsoe Tjahjono)

Puisi Hompimpa karangan Tengsoe Tjahjono pertama kali saya ketahui saat kelas 1 SMP. Tepatnya saat classmeeting yang diadakan pasca ulangan umum. Sekolah saya SMP Negeri 6 Semarang mengadakan beberapa lomba. Yah, buat ngisi hari aja sih. Supaya murid-muridnya nggak nganggur gitu. Waktu itu Bu Tamsih (salah satu pengajar Bahasa Indonesia) mengadakan lomba deklamasi puisi Hom-Pim-Pa untuk anak-anak kelas tiga. Syaratnya : saat deklamasi puisi, satu kelas harus maju semua. Tidak boleh hanya satu orang yang maju deklamasi mewakili kelas mereka. Pokoknya, satu kelas maju bareng. Tampil di tengah-tengah lapangan. Ditonton oleh kelas satu dan kelas dua. Asik ya? Tampil rombongan, gitu. Jadi bisa dilihat kekompakan masing-masing kelas. Kalau satu orang salah, ya satu kelas bisa ancur. Pernah ada kelas yang tampil bagus banget di awal. Setelah memasuki bagian tengah-tengah, ada murid yang suaranya cempreng dan cengengesan (sungguh kombinasi yang absurd, hehe) yang tentu saja membuat semua penon

I can't believe i have been three years here

my desk, June 14th 2013 I can't believe i have been three years here. Yep, it is my 3rd year in PT Ungaran Sari Garment. After all the stormy periods, exhausted time, crazy works and many stuffs, I am still alive. Let me emphasize. I - CAN - SURVIVE. Hahaha.. Wow. Waktu cepat sekali berlalu ya? Ceritanya bakal panjang nih. Kalo kamu udah bosen, mending pindah channel aja gih. Biar kayak sinetron, saya akan membagi cerita kilas balik ini dalam beberapa chapter. Dan ini, ladies and gentlement, adalah bagian satu. Chapter #1 : The Beginning Almost three years ago, in 14th June 2010 I was called to be receptionist at Front Office PA1. Nggak kebayang senengnya waktu saya dikasih tau : Kamu keterima. Besok senin mulai masuk ya. Ya Robbi, saya bakal kerja! Setelah hampir satu minggu bolak-balik buat interview, test tertulis, dan test kesehatan, akhirnya besok Senin saya resmi jadi seorang karyawan. Saya bukan anak sekolah lagi! Saya bakal cari duit sendiri! Ay, karam