Itu satu kata yang saya pakai untuk
menggambarkan sebagian besar masyarakat kita.
Bukan malas, bukan.
Saya yakin kalau digerakkan, dimotivasi dan
dipandu dengan benar, masyarakat kita mau kok turun ke jalan. Ikutan gerak. Ikutan
ngasih kontribusi untuk sekeliling mereka.
Rasa gotong royong masih ada dalam masyarakat
kita, jangan lupakan itu.
Kita cuma manja. Maunya selalu disuapi, walaupun
sudah bisa mengangkat sendok dan makan sendiri.
Maunya apa-apa tinggal disodorkan ke muka kita, tanpa punya kecenderungan berusaha mencari sendiri apa yang kita butuhkan.
Mau bukti? Ada. Saya kasih satu ya : Informasi.
Kita sudah hidup di tengah teknologi yang berkembang
pesat. Betul, sodara-sodara? Sekarang hampir semua orang
sudah menggenggam smartphone di tangan mereka. Ketika saya naik angkutan umum, saya sering melihat rata-rata para penumpangnya menunduk. Asik menatap layar Samsung Galaxy, Lenovo, Smartfren. Informasi bisa diakses dalam sentuhan jari.
Kalau butuh teman ngobrol, bisa langsung buka
smartphone lalu chatting di Whatsapp (by the way, bacanya watsap atau wats-ep sih? Ah sudahlah...). Kalau ingin tahu caranya pakai jilbab
gaul, bisa lihat video tutorial di Youtube. Mau cari resep masakan, tinggal googling. Mau cari berita, tinggal buka portal-portal berita (yang judulnya kadang-kadang terlalu bombastis dan sering bikin missleading)
Semua ada. Semua tersedia. Tinggal masukkan kata kunci dan mulai mencari.
Tapi berapa banyak orang-orang pengguna smartphone yang bersedia mencari? Tidak banyak.
Berapa banyak yang mau menelusuri situs per situs, membaca isinya sebelum menarik kesimpulan atas suatu berita? Tidak banyak. Only a few.
Karena ya itu tadi. Manja.
Sederhananya, masyarakat itu maunya AMKM : Aku
Bertanya Kamu Menjawab. Maunya instan, cepet, tapi nggak mau nyari sendiri.
Lebih suka melempar pertanyaan, lalu biarkan orang lain yang mencari. Biarkan orang lain yang menelusuri dan mengklarifikasi. (Anyway, AMKM itu nama acara TV lho. Singkatan dari Anda Menelpon, Kami Menjawab. Tayang tahun 90'an di TPI, dipandu sama Rina Gunawan. Mungkin yang seumuran sama saya rada-rada ingat. Eh tunggu, kenapa juga saya bahas hal ini? Ini malah semakin menegaskan bahwa saya sudah tua. Hiss...)
Contohnya gini deh. Waktu ada kasus soal
Satinah, seorang TKW di Arab Saudi yang akan dihukum pancung kecuali dia
sanggup membayar denda sebesar 21 milyar rupiah. Berita menyebar dengan cepat, tak terkecuali di media sosial. Berbagai link berita tentang hukuman Pancung bagi Satinah disebar secara luas.
Masyarakat kita ikut heboh. Ramai-ramai
menggalang dana supaya terkumpul 21 Milyar dan Satinah tidak dihukum pancung.
Hampir semua lapisan masyarakat berpartisipasi. Musisi, artis, buruh, politisi,
bahkan partai politik. Golongan yang masih muda pun diajak
berpartisipasi. Ada yang nyumbang sendiri, ada yang menggalang charity lewat
acara komunitas.
Pertanyaan saya : do they really know what
actually happen? Apa mereka tau cerita lengkapnya kenapa Satinah sampe diminta bayar denda?
Menggelikan sekali karena ternyata sebagian
besar dari mereka hanya ikut-ikutan. Mereka gampang dipengaruhi oleh informasi
sepotong-sepotong yang di-share lewat social media. Mbok ya mereka nyari berita
lengkapnya dulu. Mereka pegang HP canggih, tapi manja. Nunggu orang lain yang
menjelaskan ke mereka.
Padahal kalau kita mau nyari tau dan rajin denger
berita, kita bakal punya sudut pandang baru. Kenapa Satinah musti dibela? Sudah
terbuktikah bahwa dia membunuh majikannya untuk pembelaan?
Kalau Satinah musti dibela, trus gimana nasib
TKW yang lain yang juga sama-sama akan dihukum pancung tapi nggak sanggup
membayar uang pembelaan?
Contoh lain adalah saat epic moment Pemilu
Presiden : Persaingan Prabowo Subianto dan Joko Widodo dalam meraih kursi
presiden.
Sebagai generasi yang lahir pasca reformasi,
kita mungkin nggak begitu paham masa lalu masing-masing kandidat. Tentang
Prabowo dan kejahatan HAM. Tentang Jokowi yang jadi boneka Megawati.
But hey, we are living in a gigantic access of
information era, right?
Kalau kita mau buka mata dan cari tau sendiri,
segunung informasi bisa kita temukan. Bukannya langsung terbakar amarah
gara-gara secuil artikel yang di-screenshoot entah darimana lalu di-post di
Twitter. Kalau hanya mengandalkan cuilan informasi (yang belum tentu bener
itu), kita gampang banget kemakan black campaign.
Saya sendiri juga kerap menemukan orang-orang yang sedikit manja untuk mencari informasi.
Beberapa kali saya posting status di
Facebook, tentang sebuah event StandUp Comedy di Semarang. Di post itu saya sudah
tulis tanggal dan tempat pelaksanaan, siapa saja yang tampil, harga tiket
sampai alamat ticket box dan contact person bagi yang mau beli tiket. Beberapa
orang memberi comment, dan diantara komentar-komentar itu masih saja ada orang-orang yang terlalu manja untuk
membaca status secara tuntas. Mereka bertanya beli tiketnya dimana, ini
acaranya kapan sih, tempat pertunjukannya dimana, padahal udah jelas-jelas
tertulis di status. Baca dulu secara tuntas, woy! *emosi sendiri*
Tahun sudah berganti. Semakin kesini, we will
get more limitless access of information. Tapi semua informasi dan akes ini
disediakan untuk memudahkan, bukan untuk memanjakan. Ingin tau linspirasi lagu
bagus? Buka google, cari Billboard chart. Semua tinggal klik
.
Sebenarnya yang bagus itu baca koran sih. Bahasanya baku dan teredit
rapi. Nggak mau buka koran? Beli aja versi digitalnya. Lebih murah dan bisa
kita tenteng kemana-mana di IPAD. Nggak punya Ipad? Tapi punya smartphone, kan?
Buka aja Google atau Yahoo yang menyediakan berbagai macam link. Nggak punya smartphone? Tapi tau warnet kan? Datang
ke warnet, terus googling. Atau numpang baca koran di toko buku dan
perpustakaan umum. Rumahmu jauh dari perpustakaan umum? Naik angkot atau naik
sepeda motor kan bisa. Masih mau alasan lagi? Ah, dasar manja.
Ya kebanyakan masyarakat sudah berada di zona nyaman, mereka ingin perubahan yang maksudnya semakin memanjakan mereka saja. :)
BalasHapusBenar. Inilah yang kadang saya sesalkan juga. Kemudahan mengakses informasi membuat sebagian orang terbiasa dengan hal yang instan. Kalau sekali atau dua kali 'disuapi' sih nggak masalah. Tapi kalau lama-lama jadi kebiasaan ya bahaya. Istilah bahasa Jawa-nya "tuman" alias keterusan.
BalasHapus