Langsung ke konten utama

Man Machina

Tutup dan Majunya sebuah pabrik garment tidak hanya berpengaruh pada karyawannya.

Hari Selasa lalu kepala departemen saya mengirim pesan surel yang berisi potongan artikel dari Bloomberg dan Time. Yang satu membahas tentang berubahnya peta pekerjaan di wilayah Asia karena dominasi mesin dan robot, sementara artikel satunya lagi tentang fenomena mall-mall perbelanjaan di Amerika yang tutup di tahun 2017. Ada lagi artikel lain, dilansir dari South Cina Morning Post yang juga bicara tentang penggunaan mesin otomatis, sampai artikel dari Sourcing Journal yang lagi-lagi masih soal robot untuk menyokong produktivitas. Para manajer di tempat kerja saya memang secara teratur membagikan artikel (online atau cetak) tentang kondisi bisnis garment maupun sekedar motivasi ringan.

Pada artikel berjudul "The Asian Jobs Ladder is Broken" dari Bloomberg tertulis bahwa penggerak industri pabrik, utamanya di Tiongkok sedang gencar mengganti tenaga pekerja dengan mesin. Di industri tekstil, misalnya, ada sebuah pabrik di Xinjiang yang luasnya hampir lima kali Empire State Building tapi hanya terdiri dari ratusan pekerja di tiap shift. Sisanya? Sudah dikerjakan pakai mesin. Tidak perlu ada belasan orang untuk memintal dan merapikan serat kapas, cukup pakai mesin pemintal otomatis. Proses penenunan kain juga dilakukan oleh mesin. Penghitungan serat pun oleh mesin. Jangan heran kalau pemindaian cacat / defect pada kain juga sudah dilakukan oleh mesin scanner. Hanya butuh beberapa teknisi yang lalu-lalang, mengawasi dan memastikan semua mesin bekerja secara efisien. Satu mesin bisa mengkaver pekerjaan puluhan orang. Praktis, dan mengirit ongkos upah. Dan tentu saja, mesin tidak akan pernah demo minta kenaikan gaji. Keunggulan inilah yang membuat para pengusaha semakin melirik penggunaan mesin dan robot untuk industri mereka.

Dalam artikel lainnya "Filling the automation gap in garment manufacturing" dari Source Journal menyinggung perkembangan robot yang semakin mutakhir dan sesuai dengan kebutuhan industri pakaian jadi. Hingga hari ini, pelaku industri garment masih menggunakan mesin jahit biasa dengan kecepatan tinggi (contoh : merek JUKI, Brother, Nissinbo). Mesin jahit ini dioperasikan oleh satu orang. Dalam sehari bisa dipakai untuk produksi 600 baju. Selama lima tahun ke depan, kita harus bersiap  menerima kedatangan robot yang bisa menjahit otomatis alias nggak pakai operator jahit. Diprediksi tahun 2022 para robot ini akan "menguasai" area produksi industri manufaktur. Bukan hanya menjahit baju, tapi juga menjahit sepatu atau tas. Semuanya pakai robot. Gambaran ini sudah pernah kita baca di novel lawas bertema robot futuristik karangan Isaac Asimov. Bedanya, sekarang kita benar-benar berada di era tersebut.

Kenapa penggunaan robot semakin marak? Duit, tentu saja.

Ekonomi lagi reses. Bahan baku makin mahal, biaya produksi makin tinggi, sementara tarif hidup karyawan juga minta ditingkatkan. Di sisi lain, industri fashion maupun makanan sering pasang-surut yang akhirnya membuat permintaan produksi tidak bisa dikatakan tinggi. Jadi industri dituntut untuk berhemat dan memangkas biaya, salah satunya untuk mengupah ribuan karyawan dan pekerja. Tidak jarang ada pabrik yang mem-PHK karyawannya, atau bahkan membebani karyawan dengan 2-3 tumpuk pekerjaan. Sebuah pekerjaan yang harusnya dikerjakan 3 orang akhirnya ditimpakan pada 1 orang karyawan, ketimbang mencari tambahan orang atau mengupah tenaga baru.

Sebetulnya, ada alternatif lain untuk memangkas biaya gaji seperti ini : carilah pabrik baru di kabupaten atau kecamatan yang Upah Minimum Karyawannya lebih kecil. Kabupaten Demak nilai UMK-nya lebih sedikit ketimbang kota Semarang. Semarang punya jumlah UMK yang lebih rendah dibanding DKI Jakarta. Perbedaan UMK ini menjadi salah satu faktor pendorong banyak pengusaha yang mendirikan pabrik di pedesaan. Pabrik makanan Indofood bahkan mulai menjangkau Ethiopia. Alasannya? Sumber Daya Manusianya masih di bayar murah. Meski begitu, alternatif memindahkan industri ke daerah terpencil ini tak banyak diambil para pengusaha karena inventaris dan modal pembangunan yang tidak sedikit.
Pilihannya akhirnya kembali lagi pada pemakaian mesin. Kenapa?

Pertama, karena mesin tidak membutuhkan biaya pemeliharaan sebanyak manusia. Less human means less money for salary, welfare, and health. Mesin memang mahal, tapi dipakai selamanya. Untuk membeli mesin, para pengusaha bisa saja bekerjasama dengan pembuat mesin supaya diberikan keringanan angsuran. Nah kalo manusia, emang mau bayar gaji dicicil? 

Dua, karena satu mesin bisa mengkaver pekerjaan lebih dari 5 orang sekaligus. Untuk mesin pembuat bordir (embroidery), satu mesin bisa langsung mengerjakan 10-15 desain bordir sekaligus. Kalau sebuah pabrik punya 4 mesin bordir, mereka hanya perlu mempekerjakan 4 orang saja untuk mengawasi jalannya mesin bordir. Mesin juga bisa menghasilkan output yang lebih banyak ketimbang tenaga manusia, sehingga tidak perlu memusingkan biaya overtime atau lembur.

Apa dampak yang terasa? Yang pertama tentu saja karyawan. Berapa ribu karyawan dan operator yang harus dirumahkan karena pekerjaan mereka sudah ditangani robot? Yang tadinya punya penghasilan rutin, kini jadi pengangguran. Yang tadinya bisa menyokong ekonomi keluarga, sekarang malah membebani keluarga. Imbasnya pada perekonomian keluarga yang menjadi timpang. Daya beli bisa menurun, pendidikan anak-anak bisa jadi tak terjamin karena tak ada biaya.

Mayoritas karyawan pabrik garment adalah perempuan. Ambil contoh di Kabupaten Semarang, dimana hampir semua karyawan perempuan (yang sudah menikah) kebanyakan menjadi tulang punggung keluarga dengan bekerja di pabrik. Sementara suaminya jadi tukang ojek, supir angkot, atau jual makanan. Itu buat yang mau bekerja. Kalo yang suaminya nggak mau kerja, ya sehari-hari cuma di rumah. Tugasnya cuma ternak teri. Nganter anak, nganterin istri. Ketika pulang kerja naik angkutan umum, saya sering mendengar obrolan dan keluh kesah para perempuan yang kerja di garment. Perkara uang lembur yang berkurang, misalnya, yang mengakibatkan uang belanja ikut menipis. Dulu masih bisa kredit motor atau emas, sekarang mau hutang jadi susah karena untuk biaya bulanan sudah mepet. Apalagi untuk menabung. Itu baru dampak karena uang gajian yang berkurang, kalau akhirnya mereka benar-benar diberhentikan dari pabrik ya wassalam. Entah darimana uang untuk beli susu dan makan.

Dan ini cuma puncak gunung es. Dampak yang tidak kelihatan adalah sektor-sektor lain yang menyertai aktivitas karyawan. Angkot yang biasanya nganter karyawan pabrik, termasuk ojek yang biasanya mangkal mengantar karyawan pulang dan pergi. Saya ambil contoh di tempat kerja saya, yang notabene berada di tengah pedesaan dan kecamatan kecil. Salah satu akses dari jalan besar menuju lokasi pabrik adalah dengan naik mobil Suzuki Carry. Satu mobil bisa membawa 14 karyawan, tarifnya 3000 rupiah sekali naik. Para sopir angkot ini akan 'ngetem di depan pabrik-pabrik pada jam pulang kerja. Sekali narik, seorang supir angkot bisa mendapat 42000. Kalau dalam sehari dia bisa mendapat lima kali tangkapan alias narik dari orang-orang pabrik yang berangkat dan pulang kerja, ya silakan dikalikan sendiri. Karyawan pabrik turut menyumbangkan sumber pendapatan yang tidak sedikit bagi bapak-bapak yang narik angkot. Bagaimana kalau tidak ada lagi karyawan yang bekerja di pabrik? Alamat tangkapan terbesar para supir ini juga hilang.

Keberadaan sebuah pabrik juga diikuti dengan menjamurnya para pedagang kecil kali lima yang menjual makanan, jajan pasar, pakaian, sepatu, sandal, sampai jilbab dan gamis. Pasar mereka jelas : karyawan pabrik, apalagi mendekati tanggal gajian. Lapak-lapak mereka digelar di depan pintu gerbang pabrik tempat saya bekerja. Setiap pagi dan sore para pedagang ini menjajakan dagangannya. Margin keuntungan mereka juga dipengaruhi oleh geliat belanja para karyawan. Matinya sektor industri pabrik tentunya berdampak juga bagi para pedagang ini.

Ada satu sektor lagi yang akan ikut kena dampak tidak langsung jika robot dan mesin menguasai pabrik dan menggantikan manusia : usaha kos-kosan. Sepele memang, tapi sebagian besar karyawan pabrik adalah para perantau, baik dari luar kota maupun luar pulau. Mereka tidak punya rumah, saudara atau kenalan yang tinggal di area pabrik tempat kerja. Penduduk di sekitar memanfaatkan peluang ini dengan membuka kos-kosan. Yang punya rumah besar, akhirnya rumahnya dibuka untuk kost. Yang punya lahan kosong, akhirnya dibangun kos juga. Rata-rata tarif kost untuk karyawan berkisar 100-300 ribu per kamar dalam satu bulan. Pendapatan para warga yang membuka kost bisa mencapai 5 juta atau lebih per bulan, dan angka ini tentu saja menguap jika tidak ada lagi karyawan yang menempati kost lantaran dipulangkan.

Situasi mesin VS karyawan ini memang dilematis. Bukan hanya tentang humanisme, tapi juga persaingan bisnis. Di satu sisi, tujuan utama pembangunan sebuah pabrik salah satunya adalah menyerap tenaga kerja. Tapi kita juga tidak bisa naif bahwa kebutuhan menggunakan mesin mau tidak mau pasti akan diambil untuk kemajuan pabrik. Sebuah industri manufaktur yang melulu menggunakan teknologi manual nantinya akan semakin tergerus dan ditinggalkan konsumen, digantikan oleh pabrik lain yang menggunakan mesin mutakhir. Lantas harus bagaimana? Terus terang saya belum tau solusinya, dan saya tidak akan pura-pura sok intelek dan membeberkan solusi.
Tapi secara hematnya, menurut saya sebuah perusahaan harus memilah dulu : pekerjaan mana yang benar-benar harus dimekanisasi dan bidang apa yang masih bisa dipertahankan dengan tenaga manusia. Dalam industri kreatif seperti pabrik mebel, tentu sulit kalau harus menggunakan mesin. Level artistik ukiran buatan manusia tidak sama dengan ukiran buatan mesin. Memang lebih praktis, tapi tidak ada seninya. Begitu juga dengan mengamplas kayu, misalnya. Di tangan manusia, mengamplas kayu butuh waktu berjam-jam untuk menghasilkan kusen yang halus. Arah mengamplasnya juga harus diperhatikan. Untuk bidang seperti ini, saya rasa perlu pakai mesin agar output mebel yang dihasilkan cepat banyak. Saya pernah melihat proses pembuatan jamu dari sebuah pabrik di Banyumanik Semarang. Bahan-bahan seperti jahe, kunyit, kencur, lempuyang, hingga temulawak, dihaluskan pakai mesin, kemudian direbus dengan kawah raksasa, dan diolah lagi sampai menjadi bubuk. Semuanya pakai mesin canggih, tapi saya masih melihat ibu-ibu bekerja di sana. Mereka duduk dan memilah empon-empon mana yang layak jadi bahan baku. Ada juga pekerja lain sebagai Quality Control (QC) yang memeriksa dan mencecap hasil produksi. Yang seperti ini, mana bisa digantikan mesin?

Jadi begitulah. Sebuah paparan tentang hal-hal yang ikut terpengaruh dengan mati-hidupnya sebuah pabrik. Ada saran dan koreksi? Monggo.


Tabik!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

i can't believe i have been three years here (part 4 - End)

Chapter #4 : The Planning World  Ah, akhirnya diterusin juga ceritanya. Pada waktu postingan ini pertama dibuat, saya genap tiga tahun kerja di PT USG, hence the title. Kemudian saya lanjutkan ceritanya, lalu sempat vakum, lalu posting lagi cerita lanjutannya, dan vakum lagi cukup lamaaaaaaa di chapter tiga. Ketika chapter empat ini saya susun, saya sudah bekerja di perusahaan ini selama uhmm... delapan puluh sembilan bulan. Sudah menjelang sewindu. Masih ingat kan, hitungan matematika sewindu itu berapa tahun? Gara-gara cerita ini juga, banyak sekali email-email yang masuk ke Gmail dari para calon pelamar kerja yang nanya-nanya soal PT USG kepada saya. Umumnya mereka ini para lulusan baru alias fresh graduate yang lagi nyari kerja, terus mereka lihat lowongan di PT USG sebagai PPMC. Karena nggak paham apa itu PPMC, mereka akhirnya buka Google, terus ngetik keyword "PPMC." Hasil penelusuran mereka salah satunya mengarah ke postingan ini Rata-rata dari mereka adala

Hompimpa (Sebuah puisi dari Tengsoe Tjahjono)

Puisi Hompimpa karangan Tengsoe Tjahjono pertama kali saya ketahui saat kelas 1 SMP. Tepatnya saat classmeeting yang diadakan pasca ulangan umum. Sekolah saya SMP Negeri 6 Semarang mengadakan beberapa lomba. Yah, buat ngisi hari aja sih. Supaya murid-muridnya nggak nganggur gitu. Waktu itu Bu Tamsih (salah satu pengajar Bahasa Indonesia) mengadakan lomba deklamasi puisi Hom-Pim-Pa untuk anak-anak kelas tiga. Syaratnya : saat deklamasi puisi, satu kelas harus maju semua. Tidak boleh hanya satu orang yang maju deklamasi mewakili kelas mereka. Pokoknya, satu kelas maju bareng. Tampil di tengah-tengah lapangan. Ditonton oleh kelas satu dan kelas dua. Asik ya? Tampil rombongan, gitu. Jadi bisa dilihat kekompakan masing-masing kelas. Kalau satu orang salah, ya satu kelas bisa ancur. Pernah ada kelas yang tampil bagus banget di awal. Setelah memasuki bagian tengah-tengah, ada murid yang suaranya cempreng dan cengengesan (sungguh kombinasi yang absurd, hehe) yang tentu saja membuat semua penon

I can't believe i have been three years here

my desk, June 14th 2013 I can't believe i have been three years here. Yep, it is my 3rd year in PT Ungaran Sari Garment. After all the stormy periods, exhausted time, crazy works and many stuffs, I am still alive. Let me emphasize. I - CAN - SURVIVE. Hahaha.. Wow. Waktu cepat sekali berlalu ya? Ceritanya bakal panjang nih. Kalo kamu udah bosen, mending pindah channel aja gih. Biar kayak sinetron, saya akan membagi cerita kilas balik ini dalam beberapa chapter. Dan ini, ladies and gentlement, adalah bagian satu. Chapter #1 : The Beginning Almost three years ago, in 14th June 2010 I was called to be receptionist at Front Office PA1. Nggak kebayang senengnya waktu saya dikasih tau : Kamu keterima. Besok senin mulai masuk ya. Ya Robbi, saya bakal kerja! Setelah hampir satu minggu bolak-balik buat interview, test tertulis, dan test kesehatan, akhirnya besok Senin saya resmi jadi seorang karyawan. Saya bukan anak sekolah lagi! Saya bakal cari duit sendiri! Ay, karam