Langsung ke konten utama

Mimpi hari Kamis malam tanggal 07 Desember 2017

Saya pernah baca novel The Story Girl karangan LM Montgomery (terjemahan Bahasa Indonesia : Si Gadis Pendongeng), yang mana disebutkan bahwa makan ketimun di malam hari bisa membuat seseorang memimpikan hal yang fantastis. Percaya nggak percaya sih, lagipula tidak ada penjelasan ilmiahnya. Tapi setiap kali saya mimpi aneh, saya lalu mencoba mengingat apakah malam sebelumnya saya makan sesuatu yang mengandung ketimun : entah itu nasi goreng, gado-gado, atau ayam penyet dengan lalapan timun.

Pada hari Kamis malam (atau malam Jumat) tanggal 7 Desember saya kebetulan makan tahu gimbal dan di dalamnya ada seiris timun. Malamnya pas tidur, saya mengalami mimpi yang mungkin akan menginspirasi Aa Gatot Brajamusti bikin sekuel Azrax. Apakah ini mimpi yang muncul gara-gara makan ketimun di malam hari? Nggak tau ya. Mumpung saya masih ingat, saya mau nulis mimpi itu di sini. Tumben-tumbenan nih, saya sharing mimpi di blog. Nggak apa-apa lah ya? Itung-itung biar blog ini nggak terlalu sepi postingan. Biar kayak filmnya Mouly Surya, mari kita beri judul mimpi ini sebagai : "Devi si Anak Minggat dalam Empat Babak"

babak 1 : The Argue
Tokoh utama kita, Devi, seorang perempuan berusia 25 tahun lebih sedikit, tinggi badan rata-rata, badan bongsor, sedang berada di dapur rumah. Rupanya hendak makan. Kemudian terdengar suara bapaknya marah-marah yang rupanya disebabkan oleh hal sepele (air minum yang habis? lauk yang tinggal separuh?) Devi, yang biasanya jadi anak penurut dan hanya diam membisu ketika si bapak sedang marah, kali ini menjadi berani. Dengan suara keras, Devi mendebat bapaknya sendiri. Emosi dua orang itu pecah. Si bapak murka, Devi juga ikut muntap. Sampai akhirnya Devi meminta supaya bapaknya pergi. Tak percaya mendengar anak perempuannya sendiri menyentak dan mengusir, si bapak akhirnya tertunduk sakit hati.

Devi akhirnya menyadari ucapannya dan meminta maaf. Apakah bapaknya memaafkan? Oh, tidak. Sekalipun Devi bersimpuh dan memohon-mohon ampun supaya bapaknya tidak pergi, si bapak tetap bergeming. Matanya agak menerawang, sambil mengetik sesuatu di handphone (padahal di dunia nyata, bapak adalah orang yang gaptek soal handphone). 

Dan begitulah. Bagian pertama dalam mimpi yang singkat ini diakhiri dengan adegan si Bapak yang sudah kadung tersinggung. Dia bangkit, lalu berdiri. Pergi dari rumah.

babak 2 : The Leaving
Perginya si bapak membuat orang-orang bingung dan menatap Devi dengan tatapan menyalahkan. Adiknya, ibunya, tantenya, termasuk para tetangga. Dasar anak tak tahu diri, kata mereka mencelos dengan tatapan ala-ala Bu Laily Sagita. Dasar anak durhaka, sambung yang lain -masih dengan nada-nada ala karakter antagonis sinetron- yang tentu saja membuat Devi semakin jengkel dan tidak tenang dengan bisik-bisik tetangga.

Mulanya Devi cuek. Biar saja lah, toh nanti bapak juga pulang sendiri. Kemana lagi kalau tidak ke rumah?

Tapi ternyata, bapak tidak kunjung pulang. Di cari-cari ke rumah saudara, kemenakan, ke tempat kerja, ke pos satpam, tapi tidak ketemu juga. Ibu makin uring-uringan.
Karena tak tahan dengan ibunya yang terus sedih dan adiknya yang juga bersikap dingin, kali ini giliran devi yang minggat. Tentu saja tanpa pamit. Barang-barangnya, uangnya, semuanya masih ada di kasur (karena sebelum minggat, Devi sedang melakukan kebiasaan rutinnya : mencatat dan menghitung pengeluaran pada hari itu). Dengan mencangklong tas, dia meninggalkan rumah.

Setelah jalan kaki, Devi kemudian memutuskan naik BRT (karena tarifnya murah, cuma 3500 perak). Setelah agak jauh berjalan dari gang rumahnya, Devi melihat ada Halte sekitaran POM Bensin Tanggul Angin. Padahal di dunia nyata, tidak ada Halte BRT di sekitar situ. Boro-boro BRT, angkot aja jumlahnya jarang. Tapi di dalam mimpi, terlihat jelas Halte BRT di situ. Kemudian Devi memutuskan naik ke halte dan menunggu bis berangkat. Lalu terdengar ada kegemparan.

Entah ada peristiwa apa, yang jelas orang-orang jadi pada panik dan lari dari Halte. Kalau ini adegan film, backsound musik dari Hans Zimmer bakalan pas untuk bagian ini.

babak 3 : The Chaos
Orang-orang masih berlari. Devi berdiri dari bangku halte, mengamati orang-orang yang panik menuju jalan besar. Terdengar suara keras (mungkin bom? bangunan ambruk? perkelahian?). Terlihat wajah-wajah para calon penumpang : ada bapak-bapak paro baya yang membawa tas koper, sepasang nenek dan kakek, lelaki muda berjaket memanggul ransel dan membawa tas di kanan kiri. Devi kemudian bergabung bersama orang-orang ini, ikutan lari, walau tidak tau orang-orang ini lari dari siapa.

Di antara orang-orang yang panik ini, ada seorang pahmud (papah muda) bersama seorang anak kecil. Melihat bapaknya rempong lagi bawa barang-barang, Devi lalu menawarkan diri untuk membantu menggendong si anak. Maksudnya, biar si pahmud ini nggak kerepotan, gitu (saya lupa bagaimana rupa si pahmud ini. Apakah dia ganteng? Kemungkinan sih iya. Kalo enggak, ngapain juga saya begitu semangatnya menawarkan bantuan buat menggendong? Tapi enggak juga ding, mungkin emang dasarnya si Devi ini anaknya suka menolong orang, apalagi kalau sudah menyangkut anak kecil. Haseekk)

Si pahmud ini kemudian menitipkan anaknya pada Devi dan pergi sebentar. Eh, orang-orang malah mengira Devi ini bisa dititipin apa saja. "Mbak, saya nitip tas ya. Mau solat bentar" kata mas-mas. Lalu ada ibu-ibu lain yang juga nitip tas koper. Ada juga nenek-nenek yang masih energik, yang ikut menitipkan cucu perempuannya. Karena susah berkelit, Devi pun akhirnya ikhlas dan pasrah menjaga si cucu perempuan sementara si nenek pergi sebentar. Oh iya, cucu perempuan ini usianya sekitar 4 tahunan. Rambut pendek berponi, kayak anaknya Gading Marten.

Ketika sedang menjaga dan memangku si cucu perempuan, terlihat ada dua orang mas-mas yang mengamati Devi. Sepertinya mencurigakan sekali. Apalagi pandangan mereka juga mengarah ke anak perempuan yang sedang dipangku Devi. Jangan-jangan anak ini hendak diculik?

Ternyata bener. Dua orang mas-mas ini maju dan mencoba mengambil si anak perempuan. Devi mengelak, tapi lama-lama dia panik, terancam, dan terdesak. Anak perempuan kecil itu berhasil direbut dua orang mas-mas tadi. Kalo ini film, ini udah masuk bagian klimaks. Mungkin bakalan ditambah dengan scoring drum pelan dan simbal beradu.

Dua orang mas-mas yang menculik anak kecil tadi kemudian kabur. Ketika Devi panik, muncullah si nenek yang tadi menitipkan cucunya. Si nenek jadi panik dan histeris mengetahui cucunya hilang diculik. Kalo ini film, pasti wajah si nenek udah di-Zoom in dan Zoom out berkali-kali oleh kamera, lengkap dengan sound effect 'jeng..jeng..jeng..'
Tak ingin tinggal diam (sekaligus mencoba bertanggung jawab), Devi pun lari ke arah kaburnya dua mas-mas berandal itu.

babak 4 : The Escapist
Berhubung ini mimpi, maka dengan mudah Devi bisa menyusul dua orang mas-mas penculik tadi. Coba kalo ini dunia nyata, Devi pasti udah ngos-ngosan dan besoknya akan tertidur 2x24 jam untuk memulihkan kondisi badan, karena cardio tidak termasuk dalam daftar kegiatan umum sehari-hari.

Dalam waktu singkat, Devi sudah berada di belakang dua orang mas-mas berandal dengan jarak lima meter. Si penculik tadi masuk ke sebuah bangunan. Bentuk bangunan ini mirip dengan gudang pembuatan lemari kaca yang dimiliki oleh Bos Mitro, seorang kaya yang tinggal di kawasan kampung RT5. Kampung RT5 berada di sebelah kampung tempat tinggal Devi. Kawasan itu sungguh mirip. Dan ke dalam gudang home industry itulah para begundal itu masuk. Pintu besinya sedikit terbuka ketika mas-mas penculik itu masuk. Saat pintu terbuka itulah, Devi melihat ada banyak laki-laki yang misterius. Tampangnya seram-seram. Sepertinya ini sarang penjahat. (insert music scoring Joseph Bishara -- teuteup ala film)

Pelan-pelan, Devi mendekati gudang berpintu besi itu. Ketika mengintip lewat pintu yang terbuka setengah, Devi sempat melihat ada pemukulan. Siapa yang dipukul? Enggak tau. Laki-laki atau perempuan? Enggak tau juga. Tapi kemudian ada suara jeritan, campuran antara histeris ketakutan dan kesakitan. Ini sebenarnya tempat apa? Lagi-lagi tokoh utama kita tidak tau.

Dari belakang, Devi mendengar ada suara memanggilnya. Ketika menoleh, ada sekelompok wanita berusia 30-40 tahunan yang meringkuk di dekat bangunan rumah. Di dunia nyata, Devi bisa mengingat bahwa "bangunan rumah" tempat para wanita itu meringkuk adalah bekas rumah almarhum Mbah Ngaidi. Rumah itu kosong, tapi di dalam mimpi bentuknya seperti rumah dengan satu ruangan.

Devi mendekati para wanita yang bermuka tegang. Dengan berbisik, mereka mengajak Devi masuk ke bangunan rumah dan ikut sembunyi. Ketika masuk, Devi melihat banyak sekali wanita-wanita yang memakai daster. Rambut sedikit awut-awutan. Siapa mereka ini, batin Devi. Apa merek TKI ilegal? Atau -karena melihat dandanan mereka- para wanita ini adalah pembantu rumah tangga?

Salah satu dari wanita yang bersembunyi (yang wajahnya mirip Mbak Rondiyah, tetangga Devi dari kampung Bitaran) mengatakan bahwa mereka korban penculikan. Mereka berhasil kabur dan sekarang memata-matai markas penjahat. Kalau dipikir, aneh juga sih. Ngapain juga elo sembunyi di dekat markas penculik setelah elo berhasil kabur? Bukannya lapor polisi kek, atau lari sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu. Tapi yah... sekali lagi karena ini hanyalah mimpi. Mana ada yang bisa mendebat hal-hal yang paling absurd sekalipun, ya tho?

Tiba-tiba pintu digedor dengan kencang. Rupanya salah satu penjahat ada yang melihat sewaktu Devi dibawa masuk ke tempat persembunyian para wanita. Mereka mendatangi dan mengepung sekeliling rumah. Kemudian, pintu didobrak. Braaakk!! 
 
Para penjahat masuk ke dalam rumah, satu per satu meraih para wanita yang meringkuk ketakutan. Salah satu penjahat menarik tangan Devi secara kasar, kemudian menggiringnya ke luar rumah bersama para wanita. Sepertinya kami akan dibawa ke markas penjahat, entah akan dipukul, disiksa, atau diperkosa kemudian dibunuh. Di tengah-tengah rasa takutnya, si penjahat yang mencengkeram tangan Devi menoleh. Kemudian tampaklah mukanya.... Ya Allah, ini kan Deva Mahenra. Mas-mas penjahat gue ternyata ganteng gini? Apa gue pasrah aja ya, dibawa doski? batin Devi.

Dan emang bener, itu si Deva, kelihatan dari rambutnya yang belah tengah. Tak dinyana, Deva malah melipir dari rombongan para penjahat yang sedang menggiring wanita-wanita. Sepersekian detik kemudian, Deva Mahenra ngomong gini ke Devi : "Lari! Cepet!"

Iya, udah ngomong gitu doang. Nggak pakai adegan slow motion, nggak pakai cium kening, atau pelukan yang dramatis. Devi bahkan nggak sempat memperkenalkan diri atau minta foto selfie buat dipajang di Instagram. "Lari! Cepat!" kata si Deva Mahenra menyuruh Devi untuk menyelamatkan diri. Dan Devi pun lari sejauh-jauhnya. Nggak tau deh, nasib si Deva gimana.

Setelah lari untuk beberapa lama, Devi menoleh ke belakang. Nggak kelihatan ada penjahat yang mengikuti dia. Kemudian dia melihat sekeliling.. hei, ini kan jalan di kampung rumahnya. Devi mulai mengenali rumah-rumah, musala, dan sepetak-dua petak kebun pisang. Kalau begitu rumahku sudah dekat, batin Devi. Rasanya perjalanan pulang itu singkat sekali. Tidak butuh waktu lama bagi Devi untuk menemukan jalan ke rumah.

Sampai ke rumah, ternyata ada Bapak. Beliau sedang tiduran (atau terbaring sakit?) dan semuanya masih sama seperti terakhir kali Devi pergi. Bahkan uang dan barang-barangnya masih utuh di atas kasur, tergeletak persis ketika terakhir kali dia meninggalkannya. Seketika Devi menghampiri Bapak, bersimpuh, memeluk, minta maaf dan mohon ampun.

"I am sorry, please forgive me. Forgive me, my wonder woman" kata Bapak.

Ebuset.. Bapak bisa ngomong bahasa Inggris? Bahkan di dalam mimpi pun, Devi jadi terkaget-kaget. Sejak kapan bapak bisa ngomong pake bahasa Inggris? Ngucapin kata chair (kursi) aja belepotan.

Kemudian pemandangan ini jadi kabur. Endingnya mimpinya ikutan 'nggantung. Apakah bapak bersedia menolong Devi membongkar sindikat perdagangan wanita? Entahlah. Mimpi Empat Babak ini belum sempat kelar karena si empunya mimpi udah keburu bangun. Hadeehh..






PS : di antara kalian ada yang ahli nujum nggak? Kira-kira apa makna mimpi saya malam itu?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

i can't believe i have been three years here (part 4 - End)

Chapter #4 : The Planning World  Ah, akhirnya diterusin juga ceritanya. Pada waktu postingan ini pertama dibuat, saya genap tiga tahun kerja di PT USG, hence the title. Kemudian saya lanjutkan ceritanya, lalu sempat vakum, lalu posting lagi cerita lanjutannya, dan vakum lagi cukup lamaaaaaaa di chapter tiga. Ketika chapter empat ini saya susun, saya sudah bekerja di perusahaan ini selama uhmm... delapan puluh sembilan bulan. Sudah menjelang sewindu. Masih ingat kan, hitungan matematika sewindu itu berapa tahun? Gara-gara cerita ini juga, banyak sekali email-email yang masuk ke Gmail dari para calon pelamar kerja yang nanya-nanya soal PT USG kepada saya. Umumnya mereka ini para lulusan baru alias fresh graduate yang lagi nyari kerja, terus mereka lihat lowongan di PT USG sebagai PPMC. Karena nggak paham apa itu PPMC, mereka akhirnya buka Google, terus ngetik keyword "PPMC." Hasil penelusuran mereka salah satunya mengarah ke postingan ini Rata-rata dari mereka adala

Hompimpa (Sebuah puisi dari Tengsoe Tjahjono)

Puisi Hompimpa karangan Tengsoe Tjahjono pertama kali saya ketahui saat kelas 1 SMP. Tepatnya saat classmeeting yang diadakan pasca ulangan umum. Sekolah saya SMP Negeri 6 Semarang mengadakan beberapa lomba. Yah, buat ngisi hari aja sih. Supaya murid-muridnya nggak nganggur gitu. Waktu itu Bu Tamsih (salah satu pengajar Bahasa Indonesia) mengadakan lomba deklamasi puisi Hom-Pim-Pa untuk anak-anak kelas tiga. Syaratnya : saat deklamasi puisi, satu kelas harus maju semua. Tidak boleh hanya satu orang yang maju deklamasi mewakili kelas mereka. Pokoknya, satu kelas maju bareng. Tampil di tengah-tengah lapangan. Ditonton oleh kelas satu dan kelas dua. Asik ya? Tampil rombongan, gitu. Jadi bisa dilihat kekompakan masing-masing kelas. Kalau satu orang salah, ya satu kelas bisa ancur. Pernah ada kelas yang tampil bagus banget di awal. Setelah memasuki bagian tengah-tengah, ada murid yang suaranya cempreng dan cengengesan (sungguh kombinasi yang absurd, hehe) yang tentu saja membuat semua penon

I can't believe i have been three years here

my desk, June 14th 2013 I can't believe i have been three years here. Yep, it is my 3rd year in PT Ungaran Sari Garment. After all the stormy periods, exhausted time, crazy works and many stuffs, I am still alive. Let me emphasize. I - CAN - SURVIVE. Hahaha.. Wow. Waktu cepat sekali berlalu ya? Ceritanya bakal panjang nih. Kalo kamu udah bosen, mending pindah channel aja gih. Biar kayak sinetron, saya akan membagi cerita kilas balik ini dalam beberapa chapter. Dan ini, ladies and gentlement, adalah bagian satu. Chapter #1 : The Beginning Almost three years ago, in 14th June 2010 I was called to be receptionist at Front Office PA1. Nggak kebayang senengnya waktu saya dikasih tau : Kamu keterima. Besok senin mulai masuk ya. Ya Robbi, saya bakal kerja! Setelah hampir satu minggu bolak-balik buat interview, test tertulis, dan test kesehatan, akhirnya besok Senin saya resmi jadi seorang karyawan. Saya bukan anak sekolah lagi! Saya bakal cari duit sendiri! Ay, karam