Kenalkan, nama saya Devi Okta yang sejak Maret 2016 sudah punya predikat baru : mahasiswa. Untuk pertama kalinya sejak lulus dari sekolah menengah atas hampir 6 tahun yang lalu, akhirnya saya punya predikat anak sekolah lagi. Bergelut dengan buku-buku lagi, dengan tugas-tugas, dan dengan diskusi.
Ketika tulisan ini diposting, saya sudah mulai menjajaki semester kedua. Nilai ujian semester satu baru saja dibagikan semingguan lalu. Dari 6 mata kuliah, lima diantaranya saya dapat nilai A. Cuman ada satu mata kuliah yang dapat nilai C, dan itu adalah.... mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Tengsin abis. Kalo Pak Hamid, Pak Arwani, Pak Kaelani, Bu Umami, dan guru-guru lain yang pernah ngajarin saya ngaji sampai tau saya dapat nilai C, saya pasti langsung dicoret dari daftar alumni. But that's over. Semester dua akan dimulai sebentar lagi. Selamat tinggal, pelajaran Agama. Halo kamu, ilmu sosial budaya.
Lalu kenapa akhirnya kuliah lagi, Dev? mungkin kamu bertanya.
Pertama karena memang awalnya saya sudah punya keinginan mau kuliah. Tapi duitnya nggak ada. Plus, waktu itu sebelum lulus saya sudah keterima kerja jadi resepsionis di sebuah perusahaan swasta di Ungaran. Mau dilepas juga tanggung, lumayan kan buat pemasukan.
Akhirnya saya memutuskan : oke deh, kerja dulu. Nanti cari aja kuliah yang bisa disambi kerja.
Setahun, dua tahun, sampai tiga tahun berlalu, saya tetap kerja tapi tidak juga mendaftar kuliah. Ternyata kerja itu asik. Capek sih, tapi asik. Apalagi kalo udah terima slip gaji. Yassalam.. rasanya bahagiaaa banget. Karena keasikan nyari duit, akhirnya rencana kuliah saya semakin tertunda. Dan tahun ini, kebetulan saya baru bisa merealisasikan niat kuliah itu.
Alasan lain kenapa saya kuliah? Karena saya ingin menuntut ilmu lagi. Saya ingin meng-upgrade kemampuan saya. Di era mendatang, persaingan pasti semakin ketat. Kalau saya ingin bertahan di dalam pekerjaan, saya juga harus mampu bersaing. Mungkin saat ini saya nyaman-nyaman aja kerja sebagai staf, tapi secara kasar latar belakang pendidikan saya masih tercantum "lulusan STM". Kalau ada penilaian, grade saya bakal susah naik.
Seadainya ada kemungkinan terburuk saya harus resign dan mencoba melamar pekerjaan lain, saya pasti kesulitan dengan ijazah saya yang cuma sekolah menengah. Rata-rata perusahaan sekarang pasti nyari sarjana. Ini adalah pertimbangan kedua.
So there it is. Bulan Februari 2016 saya mendaftar kuliah di Universitas Terbuka Semarang. Yesss.. Sekarang saya jadi punya alasan buat ngeles misalnya saya mau stay di kamar seharian di hari Minggu :
"Dev, hari Minggu besok pas acara tujuhbelasan kamu ngurusin lomba makan krupuk ya"
"Nggak bisa. Lagi ngerjain tugas kuliah"
"Oh gitu"
Maka saya pun bebas dan bisa melalui hari Minggu dengan sejahtera. Begitu juga kalau ada saudara yang reseh, yang sering nanya Kapan Kawin, datang berkunjung ke rumah.
"Devi mana? Kok nggak keliatan, malah di kamar terus?"
"Lagi ngerjain tugas kuliah"
"Oh gitu"
Maka sekali lagi saya bisa gegoleran di kasur, nonton film di laptop sambil ngemil Bitemie. Bebas dari serangan verbal "Kapan Kawin?" dari sanak saudara. Oh yeah.
Dampak pertama yang saya rasakan setelah kuliah adalah jam tidur yang makin berantakan. Pagi sampai sore kerja di kantor. Malamnya bikin tugas. Normalnya, habis pulang kerja ya istirahat atau nonton filem, terus tidur jam 23.00 maksimal. Setelah ada kuliah, boro-boro tidur jam sebelas malam. Bisa ngelarin tugas hari itu aja udah bersyukur. Biasanya jam 02.00 atau jam 02.30 saya baru merangkak ke kasur.
Sistem belajar saya memang full online, tanpa ada tatap muka dengan dosen. Jadi material belajarnya didownload, lalu tugasnya dikerjakan, dikumpulkan secara online. Bahkan diskusinya juga online. Kita bisa menanggapi jawaban tugas teman-teman lain, atau saling bertanya dan memberikan solusi. Setiap minggunya pasti ada materi baru. Makanya setiap mahasiswa diminta agar lebih disiplin dan mengumpulkan tugas paling tidak dalam minggu yang sama. Biar nggak numpuk-numpuk.
Sebenarnya ada sih, option untuk tatap muka dengan dosen 1x seminggu. Tapi... untuk bisa mengatur kelas dengan dosen paling tidak harus ada 20 orang mahasiswa dalam satu program studi. Kebetulan saya ambil Sastra Inggris. Nggak kebetulannya, tahun ini yang daftar Sastra Inggris nggak nyampe 20 orang. Jadi ya, mau nggak mau para mahasiswa harus rajin-rajin aktif di belajar online biar nggak ketinggalan. Dan yang belajar online ini nggak cuma para mahasiswa di Semarang, tapi juga para mahasiswa Sastra Inggris dari Universitas Terbuka seluruh Indonesia.
Kalau nggak ada tatap muka, berarti kamu nggak tau siapa aja temen kamu dong, Dev? mungkin kamu nanya gitu.
Ya bisa dibilang begitu sih. Kami cuma akan bertemu pas ujian semesteran. Jadi saya cuma bisa melihat wajah-wajah temen saya pas ujian semesteran di gedung yang ditunjuk universitas. Misalnya saya punya temen sekelas yang mukanya Chris Evans juga saya nggak tau. Atau kalau ternyata saya sekelas dengan orang yang sama-sama suka Harry Potter, misalnya. Saya juga nggak akan tau kalo misalnya ada mahasiswa suicidal bergaya Gothic yang hobinya melukis pakai darahnya sendiri, ya saya nggak akan tau. Semuanya baru akan diketahui ketika ujian semesteran.
Sejauh ini saya mah enjoy-enjoy aja menjalankan kewajiban menuntut ilmu secara online ini. Mungkin karena dasarnya sudah suka sama bahasa Inggris. Dan semoga saja, pada semester mendatang semangat saya masih meluap-luap. Dan kalo bisa kuliahnya jangan lama-lama deh. Udah nggak sabar pengen ngerasain pakai toga dan dinyanyiin Gaudeamus Igitur.
Oh satu lagi, dengan kesibukan kuliah ini, berarti saya bisa ngeles kalo telat nulis postingan blog.
"Dev, kok blog-nya nggak diupdate sih? Nggak ada postingan baru"
"Nggak bisa. Lagi ngerjain tugas kuliah"
"Oh gitu"
Nah, sip kan? (ditoyor)
Ketika tulisan ini diposting, saya sudah mulai menjajaki semester kedua. Nilai ujian semester satu baru saja dibagikan semingguan lalu. Dari 6 mata kuliah, lima diantaranya saya dapat nilai A. Cuman ada satu mata kuliah yang dapat nilai C, dan itu adalah.... mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Tengsin abis. Kalo Pak Hamid, Pak Arwani, Pak Kaelani, Bu Umami, dan guru-guru lain yang pernah ngajarin saya ngaji sampai tau saya dapat nilai C, saya pasti langsung dicoret dari daftar alumni. But that's over. Semester dua akan dimulai sebentar lagi. Selamat tinggal, pelajaran Agama. Halo kamu, ilmu sosial budaya.
Lalu kenapa akhirnya kuliah lagi, Dev? mungkin kamu bertanya.
Pertama karena memang awalnya saya sudah punya keinginan mau kuliah. Tapi duitnya nggak ada. Plus, waktu itu sebelum lulus saya sudah keterima kerja jadi resepsionis di sebuah perusahaan swasta di Ungaran. Mau dilepas juga tanggung, lumayan kan buat pemasukan.
Akhirnya saya memutuskan : oke deh, kerja dulu. Nanti cari aja kuliah yang bisa disambi kerja.
Setahun, dua tahun, sampai tiga tahun berlalu, saya tetap kerja tapi tidak juga mendaftar kuliah. Ternyata kerja itu asik. Capek sih, tapi asik. Apalagi kalo udah terima slip gaji. Yassalam.. rasanya bahagiaaa banget. Karena keasikan nyari duit, akhirnya rencana kuliah saya semakin tertunda. Dan tahun ini, kebetulan saya baru bisa merealisasikan niat kuliah itu.
Alasan lain kenapa saya kuliah? Karena saya ingin menuntut ilmu lagi. Saya ingin meng-upgrade kemampuan saya. Di era mendatang, persaingan pasti semakin ketat. Kalau saya ingin bertahan di dalam pekerjaan, saya juga harus mampu bersaing. Mungkin saat ini saya nyaman-nyaman aja kerja sebagai staf, tapi secara kasar latar belakang pendidikan saya masih tercantum "lulusan STM". Kalau ada penilaian, grade saya bakal susah naik.
Seadainya ada kemungkinan terburuk saya harus resign dan mencoba melamar pekerjaan lain, saya pasti kesulitan dengan ijazah saya yang cuma sekolah menengah. Rata-rata perusahaan sekarang pasti nyari sarjana. Ini adalah pertimbangan kedua.
So there it is. Bulan Februari 2016 saya mendaftar kuliah di Universitas Terbuka Semarang. Yesss.. Sekarang saya jadi punya alasan buat ngeles misalnya saya mau stay di kamar seharian di hari Minggu :
"Dev, hari Minggu besok pas acara tujuhbelasan kamu ngurusin lomba makan krupuk ya"
"Nggak bisa. Lagi ngerjain tugas kuliah"
"Oh gitu"
Maka saya pun bebas dan bisa melalui hari Minggu dengan sejahtera. Begitu juga kalau ada saudara yang reseh, yang sering nanya Kapan Kawin, datang berkunjung ke rumah.
"Devi mana? Kok nggak keliatan, malah di kamar terus?"
"Lagi ngerjain tugas kuliah"
"Oh gitu"
Maka sekali lagi saya bisa gegoleran di kasur, nonton film di laptop sambil ngemil Bitemie. Bebas dari serangan verbal "Kapan Kawin?" dari sanak saudara. Oh yeah.
Dampak pertama yang saya rasakan setelah kuliah adalah jam tidur yang makin berantakan. Pagi sampai sore kerja di kantor. Malamnya bikin tugas. Normalnya, habis pulang kerja ya istirahat atau nonton filem, terus tidur jam 23.00 maksimal. Setelah ada kuliah, boro-boro tidur jam sebelas malam. Bisa ngelarin tugas hari itu aja udah bersyukur. Biasanya jam 02.00 atau jam 02.30 saya baru merangkak ke kasur.
Sistem belajar saya memang full online, tanpa ada tatap muka dengan dosen. Jadi material belajarnya didownload, lalu tugasnya dikerjakan, dikumpulkan secara online. Bahkan diskusinya juga online. Kita bisa menanggapi jawaban tugas teman-teman lain, atau saling bertanya dan memberikan solusi. Setiap minggunya pasti ada materi baru. Makanya setiap mahasiswa diminta agar lebih disiplin dan mengumpulkan tugas paling tidak dalam minggu yang sama. Biar nggak numpuk-numpuk.
Sebenarnya ada sih, option untuk tatap muka dengan dosen 1x seminggu. Tapi... untuk bisa mengatur kelas dengan dosen paling tidak harus ada 20 orang mahasiswa dalam satu program studi. Kebetulan saya ambil Sastra Inggris. Nggak kebetulannya, tahun ini yang daftar Sastra Inggris nggak nyampe 20 orang. Jadi ya, mau nggak mau para mahasiswa harus rajin-rajin aktif di belajar online biar nggak ketinggalan. Dan yang belajar online ini nggak cuma para mahasiswa di Semarang, tapi juga para mahasiswa Sastra Inggris dari Universitas Terbuka seluruh Indonesia.
Kalau nggak ada tatap muka, berarti kamu nggak tau siapa aja temen kamu dong, Dev? mungkin kamu nanya gitu.
Ya bisa dibilang begitu sih. Kami cuma akan bertemu pas ujian semesteran. Jadi saya cuma bisa melihat wajah-wajah temen saya pas ujian semesteran di gedung yang ditunjuk universitas. Misalnya saya punya temen sekelas yang mukanya Chris Evans juga saya nggak tau. Atau kalau ternyata saya sekelas dengan orang yang sama-sama suka Harry Potter, misalnya. Saya juga nggak akan tau kalo misalnya ada mahasiswa suicidal bergaya Gothic yang hobinya melukis pakai darahnya sendiri, ya saya nggak akan tau. Semuanya baru akan diketahui ketika ujian semesteran.
Sejauh ini saya mah enjoy-enjoy aja menjalankan kewajiban menuntut ilmu secara online ini. Mungkin karena dasarnya sudah suka sama bahasa Inggris. Dan semoga saja, pada semester mendatang semangat saya masih meluap-luap. Dan kalo bisa kuliahnya jangan lama-lama deh. Udah nggak sabar pengen ngerasain pakai toga dan dinyanyiin Gaudeamus Igitur.
Oh satu lagi, dengan kesibukan kuliah ini, berarti saya bisa ngeles kalo telat nulis postingan blog.
"Dev, kok blog-nya nggak diupdate sih? Nggak ada postingan baru"
"Nggak bisa. Lagi ngerjain tugas kuliah"
"Oh gitu"
Nah, sip kan? (ditoyor)
Lancar kuliahnya, Mbak Dev!
BalasHapusTerimakasih atas supportnya, adek kece!
Hapus^_^
akhirnya kamu di jalan yang benar..
BalasHapusberalih dari teknik ke sastra inggris..