Langsung ke konten utama

Hari Itu Ayahku Meminta Fotonya Dilukis (sebuah cerpen)

Semarang, Senin siang. Panas bukan kepalang. Aku berkeringat menunggu bus nomor 10 yang membawaku pulang. Tanpa berpikir panjang aku menaiki sebuah bus jurusan rumahku, yang sudah sarat penumpang itu. Bau keringat anak sekolah, bau sayur sisa dagangan di pasar dari ibu-ibu pedagang, dan asap polusi yang sesekali masuk lewat jendela bus semuanya membaur. Memuakkan. Untung rumahku hanya 20 menit perjalanan naik bus.
Di halaman rumah aku melihat mobil ayah. Ini masih jam 2 siang, pikirku. Kenapa Ayah pulang?

"Na, kalau sudah ganti baju tolong bantu Papimu beres-beres ya", ibu berkata padaku. Rupanya tadi ayah minta izin pulang cepat. Tak biasanya, pikirku.

Di gudang, ayahku sibuk memilah-milah barang lama. Beberapa roda bekas atau sisa cat yang sudah kering ditumpuk di satu sisi. Koran-koran lama bertumpuk di sudut lain. Ia menoleh saat melihat aku datang.

"Cari apaan sih Pi?"

"Tidak ada. Cuma mau melihat barang-barang lama Papi. Coba lihat, Na. Ini ada buku kenangan SMA punya Papi dulu. Papi keren kan?" ayahku menjelaskan.

"Papi pulang cepat karena mau lihat album kenangan SMA?"

Ayahku tertawa. "Hahaha... kamu tahu, Hafzidhana Aubrey Prisiantika, mungkin kamu benar-benar calon pengacara hebat. Selalu ingin mencari alasan tersembunyi dari sebuah hal". Bila sedang malas menjawab pertanyaanku, ayah selalu menyebut nama lengkapku yang sulit dieja itu.

"Maksud Nana, kita bisa beres-beres hari Minggu kan?"

Ayah tak menyahut, tapi menyodorkan sebuah foto. "Ini foto Papi seminggu sebelum menikah dengan Mami. Papi ganteng kan?" katanya tergelak. Aku mengerucutkan bibir, lalu menerima foto yang disodorkan ayahku. Itu foto hitam putih saat ayahku 25 tahun. Kumis tipis, potongan rambut ala Ari Wibowo."Cuman mau nostalgia aja kok sampe dibela-belain pulang cepet sih Pi"

Ayah menggeser tumpukan koran ke pinggir pintu lalu menoleh. "Papi mau minta tolong sama kamu, Na. Besok tolong cari pelukis buat menggambar foto ini ya"

Aku terbengong. "Melukis foto ini?"

"Kamu cari saja di sekitar Simpang Lima, ada beberapa pelukis wajah yang menerima pesanan lukisan foto. Minta mereka lukis foto ini jadi ukuran besar. Bisa?"

"Kenapa pakai dilukis segala Pi?" aku makin bingung.

Belum sempat ayah menjawab, ibuku masuk ke gudang menyela kami. "Na, ada telpon dari Rani tuh. Mami panggil kamu dari tadi tapi kamu nggak denger. Buruan diterima"

Aku buru-buru keluar gudang. Dibelakang kudengar suara tawa ibu saat ayah memperlihatkan album kenangan SMA.

***

Simpang Lima, Selasa siang. Tak begitu terik, syukurlah. Sambil menenteng tas berisi sepatu kets saat pelajaran olahraga, aku mencari pelukis yang mangkal di pinggiran Simpang Lima. Ah, itu dia! pikirku senang. Deretan warung-warung bakso, agak kekiri di depan stall burger ada kios kecil yang hampir tak kelihatan tertutup lukisan-lukisan.
Lelaki yang kira-kira seumur Pakdhe Anwar, dengan uban tipis-tipis sedang asik menyelesaikan lukisan tentang burung gereja.

"Permisi" kataku, agak keras. Biasanya seniman bisa tenggelam dengan imajinasinya saat melukis. Setidaknya di film-film yang kutonton sih begitu.

Laki-laki itu masih memulaskan kuas, tidak menjawab panggilanku. Tuh, benar kan. Tenggelam dalam imajinasinya.

"Pak, permisi. Saya mau minta dibuatkan lukisan", aku mengulangi maksudku dengan nada lebih tegas seperti memimpin rapat OSIS. Jengkel juga sih.

Perlahan laki - laki itu menoleh. Akhirnya. Aku tersenyum canggung. "Bapak bisa melukis foto?"

Si pelukis itu masih menatapku. Aku nyerocos saja "Begini Pak, saya punya foto. Saya mau minta tolong dibuatkan duplikatnya dalam bentuk lukisan. Kurang lebih ukuran kanvas standar saja Pak, jangan terlalu besar. Kira-kira selesainya berapa hari, dan berapa harganya?"

Ibuku bilang aku punya sifat 'suka main tembak', tak ada basa-basi orang Jawa yang halus. Ah biarlah, menurutku bukankah lebih baik kalau kita langsung ke pokok bahasan tanpa ada basa-basi yang mengulur waktu? Lagipula perutku sudah lapar, itu menambah alasan kenapa aku tak mau basa-basi.

Laki - laki itu tidak tersenyum. "Seperti apa foto yang akan dilukis?" tanyanya.

Aku merogoh saku dan mengulurkan foto ayah.

Si pelukis memperhatikan dengan seksama. "Kelihatan masih muda. Orang ini ayahmu?"

Aku mengangguk. "Kira-kira berapa hari Pak?" tanyaku.

Dia masih melihat foto ayahku. "Coba kamu kesini dua hari lagi ya" jawabnya pendek.

***

Simpang Lima, Kamis siang. Matahari memanggang. Ya Tuhan, rasanya aku ingin nyemplung ke kolam air mancur di depan kantor Gubernur yang dekat dengan gedung sekolahku. Sesuai janji, hari itu aku datang lagi ke Simpang Lima untuk mengambil lukisan ayah. Ternyata potret ayah sudah hampir jadi. Mirip sekali dengan foto aslinya.

"Tunggu sebentar ya, bentuk alisnya masih kurang sempurna" si pelukis berkata saat aku sampai di kiosnya. Aku mengangguk, memperhatikan lukisan pedesaan.

"Berapa umur ayahmu sekarang?" si pelukis bertanya. Tangannya masih bermain diatas kanvas, sekarang ia merampungkan sedikit bagian rambut.

"Empat puluh delapan"

"Dia masih sehat-sehat saja?"

Aku yang masih mengamati gambar sungai di lukisannya mendongak. "Hah? Maksudnya?"

"Hehehe... maksud saya, apa dia sakit akhir-akhir ini?"

"Papi saya sehat-sehat saja Pak" Bahkan lebih bugar dari aku, tambahku dalam hati. Ayah selalu jogging tiap pagi, main badminton tiap Jumat sore, bersepeda tiap Minggu pagi.

"Biasanya kalau ada orang yang minta dilukis, itu artinya mereka mungkin akan pergi selamanya" sekonyong-konyong pelukis itu berkata.

"Mereka minta dibuatkan lukisan sebagai kenang-kenangan untuk keluarga yang ditinggalkan" lanjutnya.

Tulang belakangku seperti berdesir. Jadi ayah akan meninggal?

"He..he..he.. tapi itu kan cuma pemikiran sok tau saja. Bukan ramalan atau metafisika. Aja dipikir" kata si pelukis saat melepas kanvas dari dudukannya.

Aku mengangguk. Tanganku masih dingin. Hampir saja uang bayaran lukisannya tergelincir dari tanganku saat kuserahkan ke pelukis.

"Bapak namanya siapa sih?" aku tiba-tiba berkata.

"Martono. Orang sini biasa nyebut Pak Mar saja"

Buru-buru aku pamit dan berterimakasih. Sepanjang perjalanan pulang, tanganku masih saja dingin. Pikiranku dipenuhi bayang-bayang tubuh ayah yang kaku, ibu menangis. Mas Ridwan dan Mbak Voni berangkulan. Peti mati diusung ke liang lahat....

"Hoy! Kalau jalan matanya lihat ke depan dong!" seorang pengendara motor melotot sambil membunyikan klakson. Dalam keadaan normal aku pasti sudah mengomel balik padanya. Tapi tidak hari ini. Aku mau cepat-cepat bertemu ayah.

Saat makan malam, semua memuji lukisan potret ayah. Nyaris sempurna. Mbak Voni sampai kepengin dilukis juga, dengan posisi ala Rose Dewitt-Dukater di film Titanic. Baru lihat mukamu saja pelukisnya sudah nggak mood, kuasnya langsung patah, Mas Ridwan meledek. Ayah dan Ibu tertawa. Aku hanya diam dan mengamati wajah ayah. Lesung pipinya kelihatan jelas. Lesung pipi yang seperti sumur dalam, yang membuatku iri karena tak diwariskannya padaku.

"Tumben burung prenjak kita dari tadi bengong" Mas Ridwan kembali berceloteh. "Lagi jatuh cinta ya?"

Aku menatap keempat anggota keluargaku satu-satu. Nyengir. "Sudah kehabisan obat tuh" Mbak Voni ikut meledek.

Baiklah, mungkin harus kukatakan pada mereka tentang omongan pelukis tadi.

"Pelukisnya bilang kalau ada orang yang minta dibuatkan lukisan, biasanya orang itu mau pergi jauh" ujarku menirukan Pak Mar si pelukis.

Tak ada yang menyahut.

"Tandanya akan meninggal dunia. Lukisannya buat kenang-kenangan. Gitu katanya"

Masih hening.

Ayahku-lah yang pertama buka suara. "Itu kan cuma slentingan orang-orang zaman dulu" Lesung pipinya kembali muncul saat tersenyum. Sepasang lesung pipi yang rasanya ingin kurebut. Bahkan Mas Ridwan pun hanya mewarisi satu lesung pipi. "Orang zaman dulu percaya kalau sebuah lukisan atau sebuah potret bisa membuat umur seseorang berkurang. Jiwanya terperangkap. Abadi bersama potret yang dipajang"

"Sebenarnya kamu pergi ke pelukis apa ke peramal sih?" Mas Ridwan mencoba bergurau, tapi Mbak Voni memotong. "Tapi biasanya memang seperti itu. Di film-film Korea biasanya pemeran utamanya ngasih kenang-kenangan sebelum dia meninggal, misalnya lukisan atau tanaman bonsai"

Waktu aku mau menambahkan, ibuku buru-buru menengahi. "Sudah. Apa-apaan sih kalian ini. Lagi makan malah ngomongin orang mati. Lanjutkan makannya. Kamu sih, Na. Pakai cerita soal orang-orang mati segala"

"Lho, Nana kan cuma menirukan apa yang dikatakan si pelukis itu"

"Ya sudah. Besok Minggu kita ke Simpang Lima ya Na. Papi jadi pengen ketemu sama Pak Mar"

Maka usailah konspirasi tentang lukisan ayah. Kami kembali menyelesaikan makan malam. Atas permintaan ayah, Mas Ridwan memasang lukisan itu di ruang keluarga.

Besoknya kami menjalani hari seperti biasa. Ayahku berangkat kerja. Ibuku bekerja setengah hari menjaga toko Wak Daud. Mas Ridwan magang di kantor pos. Mbak Voni kuliah. Aku sekolah. Makan malam adalah momen saat kami berkumpul bersama. Sesekali aku mencuri pandang pada wajah ayah. Benarkah dia akan pergi? Bagaimana jika yang dikatakan Pak Mar benar?

"Sudahlah. Anggap saja kata-kata pelukis itu sebagai teguran biar kita tambah sayang sama Papi" nasihat Mbak Voni padaku saat kami mencuci piring.

Aku mencoba menenangkan hatiku. Jangan berpikir negatif, kataku pada diri sendiri. Lagipula besok Minggu kami akan menemui Pak Mar. Biar ayah bisa bertemu langsung dengan pelukis fotonya dan bercakap-cakap. Lagi-lagi aku mengambil napas untuk menenangkan kalut. Hampir dua hari ini aku jadi sering menghela napas dan menerawang. Otakku masih dibayangi pikiran ayah akan meninggal. Hari Sabtu ini saat berangkat aku sengaja memeluk ayah. Takut kalau aku tak punya kesempatan lagi memeluknya. Bahkan saat pelajaran bahasa Indonesia di kelas, aku tak bisa konsentrasi. Padahal ini mata pelajaran favoritku. Aku mencoba menepis bayangan buruk dari otakku. Tak mungkin ayah meninggalkan kami. Tak mungkin dia akan pergi secepat ini. Tak mungkin...

"Maaf Pak, saya menyela sebentar. Saya ingin memanggil Hafzidhana ke ruang BK"

Bu Atik, guru BK kami menghambur ke kelas dan menyela pelajaran Pak Sar guru bahasa Indonesia. Pak Sar mengangguk mempersilakan ke arahku. Aku berdiri dan mengikuti Bu Atik ke ruang BK. Disana sudah ada Mbak Voni. Matanya merah.


"Na, Papi kecelakaan....."

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

i can't believe i have been three years here (part 4 - End)

Chapter #4 : The Planning World  Ah, akhirnya diterusin juga ceritanya. Pada waktu postingan ini pertama dibuat, saya genap tiga tahun kerja di PT USG, hence the title. Kemudian saya lanjutkan ceritanya, lalu sempat vakum, lalu posting lagi cerita lanjutannya, dan vakum lagi cukup lamaaaaaaa di chapter tiga. Ketika chapter empat ini saya susun, saya sudah bekerja di perusahaan ini selama uhmm... delapan puluh sembilan bulan. Sudah menjelang sewindu. Masih ingat kan, hitungan matematika sewindu itu berapa tahun? Gara-gara cerita ini juga, banyak sekali email-email yang masuk ke Gmail dari para calon pelamar kerja yang nanya-nanya soal PT USG kepada saya. Umumnya mereka ini para lulusan baru alias fresh graduate yang lagi nyari kerja, terus mereka lihat lowongan di PT USG sebagai PPMC. Karena nggak paham apa itu PPMC, mereka akhirnya buka Google, terus ngetik keyword "PPMC." Hasil penelusuran mereka salah satunya mengarah ke postingan ini Rata-rata dari mereka adala

Hompimpa (Sebuah puisi dari Tengsoe Tjahjono)

Puisi Hompimpa karangan Tengsoe Tjahjono pertama kali saya ketahui saat kelas 1 SMP. Tepatnya saat classmeeting yang diadakan pasca ulangan umum. Sekolah saya SMP Negeri 6 Semarang mengadakan beberapa lomba. Yah, buat ngisi hari aja sih. Supaya murid-muridnya nggak nganggur gitu. Waktu itu Bu Tamsih (salah satu pengajar Bahasa Indonesia) mengadakan lomba deklamasi puisi Hom-Pim-Pa untuk anak-anak kelas tiga. Syaratnya : saat deklamasi puisi, satu kelas harus maju semua. Tidak boleh hanya satu orang yang maju deklamasi mewakili kelas mereka. Pokoknya, satu kelas maju bareng. Tampil di tengah-tengah lapangan. Ditonton oleh kelas satu dan kelas dua. Asik ya? Tampil rombongan, gitu. Jadi bisa dilihat kekompakan masing-masing kelas. Kalau satu orang salah, ya satu kelas bisa ancur. Pernah ada kelas yang tampil bagus banget di awal. Setelah memasuki bagian tengah-tengah, ada murid yang suaranya cempreng dan cengengesan (sungguh kombinasi yang absurd, hehe) yang tentu saja membuat semua penon

I can't believe i have been three years here

my desk, June 14th 2013 I can't believe i have been three years here. Yep, it is my 3rd year in PT Ungaran Sari Garment. After all the stormy periods, exhausted time, crazy works and many stuffs, I am still alive. Let me emphasize. I - CAN - SURVIVE. Hahaha.. Wow. Waktu cepat sekali berlalu ya? Ceritanya bakal panjang nih. Kalo kamu udah bosen, mending pindah channel aja gih. Biar kayak sinetron, saya akan membagi cerita kilas balik ini dalam beberapa chapter. Dan ini, ladies and gentlement, adalah bagian satu. Chapter #1 : The Beginning Almost three years ago, in 14th June 2010 I was called to be receptionist at Front Office PA1. Nggak kebayang senengnya waktu saya dikasih tau : Kamu keterima. Besok senin mulai masuk ya. Ya Robbi, saya bakal kerja! Setelah hampir satu minggu bolak-balik buat interview, test tertulis, dan test kesehatan, akhirnya besok Senin saya resmi jadi seorang karyawan. Saya bukan anak sekolah lagi! Saya bakal cari duit sendiri! Ay, karam