Langsung ke konten utama

Dikotak-kotakkan

Malam hari, tanggal 17 Desember 2014-12-10
 

Pertama, saya mau terima kasih banyak sama Misri yang sudah sangat berbaik hati untuk meminjamkan laptopnya ke saya. Yes, you got it right. Posting ini ditulis memakai laptop punya orang lain. (But then, who cares? Yang penting pikiran saya bisa tertuang) Pokoknya, kalau kalian pada akhirnya suka sama posting ini, kalian juga harus menyelipkan rasa terimakasih pada Misri. 
Oh iya, alamat facebook-nya si Misri adalah Mizzry. Gih, di-add sebagai teman. Hehe ^_^


 

Now back to the title : Dikotak-kotakkan.


Saya ingat beberapa tahun lalu saat masih SD, ada iklan di televisi. Bukan iklan komersil sih, tapi lebih ke iklan layanan masyarakat. Kalau nggak salah iklan itu dibuat oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, di era Presiden Soeharto.
Di dalam iklan itu diceritakan ada tiga orang dari kalangan keluarga menengah kebawah yang bersahabat : Acong, Sitorus dan Joko. Acong berasal dari ras Tionghoa, Sitorus berdarah Batak, dan Joko adalah orang Jawa. Walaupun berbeda latar belakang, ketiganya bersahabat sejak kecil, sampai tamat SMA. Akhirnya saat mereka dewasa mereka menempuh jalan sendiri-sendiri. Pada salah satu versi iklan, diceritakan Joko mengirim surat pada Acong dan Sitorus. Saat itu Joko berada jauh dari tempat tinggalnya, seperti sedang bertugas. Surat dari Joko ditampilkan di layar televisi, sambil diiringi asap mengepul di kejauhan.

Begitu terkenalnya iklan itu, sampai-sampai ada sebuah lagu anak-anak yang isinya tentang Acong, Sitorus dan Joko. Ini lirik bagian reffrainnya :

“Acong mah jadi cukong. Sitorus jadi pengacara. Si Joko jadio tentara. Bertiga jadi sodara..”
Yes, pada akhirnya Acong jadi pedagang. Sitorus jadi pengacara, dan Joko jadi tentara. (By the way, ada anak 90an yang tau lagu itu nggak? Wajar.. soalnya lagunya nggak pernah booming. Kalah sama lagunya Trio Kwek Kwek, hehehe...)

Pada satu sisi, iklan itu memuat pesan yang bagus : Persahabatan abadi tentang tiga orang pemuda. Persahabatan tanpa memandang suku dan latar belakang. Dan ending lagu anak-anak (yang nggak sempat booming itu) juga cukup baik : bertiga jadi sodara. Persahabatan menjadi ikatan kekeluargaan. A strong spirit of brotherhood. Beautiful, isn't it?

Di sisi lain, cerita Acong-Sitorus-Joko ini seolah mewakili pandangan sebagian masyarakat kita. Di Indonesia ras keturunan Tionghoa, Batak dan Jawa bisa dikatakan paling dominan. Sebagai contoh nih ya. Populasi keturunan Tionghoa mungkin hanya 5 atau 10%, tapi sebagian besar dari mereka menguasai sektor bisnis swasta. They have power and influence, dude.

Nah, seperti diceritakan di iklan dan lagunya : "Si Acong jadi cukong". Bukankah seperti itu pandangan masyarakat terhadap orang-orang dari ras keturunan Tionghoa yang bermukim di negara kita? Bahwa orang keturunan Tionghoa itu pandai berdagang lah, bahwa orang Tionghoa itu punya strategi dagang yang bagus lah, bahwa orang Tionghoa itu piawai mengelola uang lah. Blah.. blah.. blah..

Jujur deh, berapa banyak dari kita yang masih suka nyindir-nyindir teman kita dari ras Tionghoa dan menganggap mereka itu pelit?


Lalu kita menuju ke Sitorus, yang diceritakan akhirnya jadi pengacara. Sounds familiar, right?

Saya sendiri masih kerap mendengar orang bergumam “oh pantesan aja.. lha wong pengacaranya orang Batak..”
Padahal kan nggak ada hubungannya antara suku dan profesi. Hadeehh -__-

Tapi seperti itulah pemandangan yang sering kita jumpai kan? Ada Hotman Paris Hutapea, Ruhut Sitompul. Mungkin sebagian besar pengacara kondang di negeri kita (terlepas dari imej negatif ya) adalah keturunan suku Batak. Sitorus secara gamblang "merepresentasikan" stereotip ini. Bahwa orang Batak pintar omong, dan tentunya secara tidak langsung 'ditakdirkan' untuk jadi pengacara. Born to be a lawyer.

Bagaimana dengan Joko? Oh, si Joko akhirnya jadi tentara. Tugas yang mulia, bukan? Tapi tentunya ada sisi lain : Biarkan yang lain kerja, nanti orang Jawa yang mengawasi. Saya tak tau pasti berapa statistik dan jumlah orang Jawa yang mengabdi jadi tentara, tapi gara-gara iklan iki saya sempat berpikir bahwa orang Jawa tugasnya melindungi, bertempur, dikirim ke tempat-tempat jauh dan berperang.

Saya tak mau menjelek-jelekkan iklannya, atau lagunya. What attract my attention is : the stereotype. Stereotip itu seperti membentuk sebuah 'kotak' dan menyamaratakan sesuatu atas dasar “alah.. kan biasanya gitu” 

Misal : kalau kita ketemu cowok yang ngomongnya kalem, suka warna pink dan suka hangout sama cewek, kebanyakan dari kita langsung berpikir : Pasti dia bencong. Kenapa? Yah, kan biasanya kayak gitu.
Padahal, apa salahnya cowok suka warna pink? Enggak salah sih sebenernya. Ini gara-gara stereotip yang mengklaim bahwa pink itu warna milik cewek. Makanya jadi aneh kalo ada mas-mas pakai baju pink. Ntar salah-salah dikira homo -__-

Seperti itulah Stereotip. Rasanya memang tidak adil. Siapa sih yang mau dikotak-kotakkan seperti itu? Saya orang Jawa, tapi masak nggak boleh berkarir jadi pengacara? Atau teman saya yang berkulit putih, bermata sipit (katakanlah namanya Hyung Yung) masak dia nggak boleh masuk tentara? Harus ikut jadi kokoh-kokoh pedagang di Glodog, gitu?

Tahun 2006 ada film judulnya Crash, sebuah film Hollywood yang memenangkan Piala Oscar untuk kategori film Terbaik tahun 2006. Film ini dibintangi oleh Matt Dillon, Sandra Bullock, Terrence Howard dan disutradarai oleh Paul Haggis (dia pernah masuk nominasi Oscar untuk penulis cerita terbaik untuk film Million Dollar Baby). Film Crash bercerita tentang sebuah hari di Los Angeles, dimana kisah hidup beberapa orang yang tidak saling kenal akhirnya bertabrakan satu sama lain dalam satu kerangka : rasialisme atau prasangka kesukuan. Ada orang kulit putih, kulit hitam, Amerika Latin, Korea, serta Persia saling berinteraksi secara kebetulan dan membentuk jaringan cerita yang penuh trauma, tapi mendewasakan (dikutip dari artikel majalah Lintas, Mei 2006 hlm. 44)

Di dalam film Crash, penonton disuguhi satu fakta tentang Amerika Serikat : di tengah masyarakatnya yang majemuk dan sesak oleh beragam etnis, terdapat jurang pemisah antar warganya. Jurang pemisah itu bernama prasangka dan stereotip. Bahwa orang kulit hitam itu kriminal, bodoh dan kasar. Bahwa orang kulit putih itu sombong. Orang Arab itu teroris. Orang bertato itu mantan narapidana. Dan lain-lain.. dan lain-lain..

Balik ke Indonesia. Masyarakat kita juga majemuk kan? Sama seperti Los Angeles di film Crash, kemajemukan masyarakat Indonesia juga menimbulkan prasangka-prasangka, stereotip-stereotip dan mitos-mitos. Contohnya, ya itu tadi. Bahwa orang Batak pasti hebat jadi pengacara. Orang Tionghoa pandai berdagang. Orang Padang suka pedas. Kadang-kadang hal ini bisa dijadikan bahan guyonan atau becandaan, tapi akan jadi menyakitkan jika stereotip-nya bersifat negatif.
 
Let's take a breath for a second.


Manusia punya otoritas penuh untuk menentukan masa depan masing-masing. Kenapa harus patuh pada stereotip? Apa enaknya hidup di dalam kotak?
Kamu tidak harus terlahir sebagai orang kulit putih agar bisa menjadi aktris tenar.  Kamu bisa jadi pilot pesawat tempur walaupun kamu wanita. Atau, katakanlah saya punya teman dari suku Batak yang ngambil kuliah hukum bukan karena dia suka bidang ini, tapi gara-gara tekanan stereotip masyarakat. Sementara dia sendiri passion-nya di bidang Sastra. Lalu dia gagal di sekolah hukum dan gagal jadi pengacara. Apa lantas dia dicap ‘Gagal jadi orang Batak’ gitu? Oh, come on...

Jika berkendak, Tuhan bisa saja menciptakan kita semua seragam. Tapi Yang Maha Kuasa sengaja menjadikan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, pria dan wanita, supaya kita saling mengenal. Dan saling belajar.

Gitu kan?


Tertanda,
Devi Okta @AlwayDevi
warga negara Indonesia dari suku Jawa yang bercita-cita dapat sabuk hitam Karate

---
Catatan tambahan :

By the way, dikotak-kotakkan termasuk bentuk baku dalam Bahasa Indonesia nggak sih? Saya pernah belajar tentang frasa dikelompok-kelompokkan, yang artinya “membagi sesuatu / menempatkan sesuatu kedalam kelompok-kelompok”. Saya memakai frasa “dikotak-kotakkan” artinya menempatkan sesuatu kedalam kotak-kotak. Kalau ada yang tau bentuk baku atau frasa yang lebih pas, tolong beritahu ya. Biar sama-sama belajar ^_^

Komentar

Postingan populer dari blog ini

i can't believe i have been three years here (part 4 - End)

Chapter #4 : The Planning World  Ah, akhirnya diterusin juga ceritanya. Pada waktu postingan ini pertama dibuat, saya genap tiga tahun kerja di PT USG, hence the title. Kemudian saya lanjutkan ceritanya, lalu sempat vakum, lalu posting lagi cerita lanjutannya, dan vakum lagi cukup lamaaaaaaa di chapter tiga. Ketika chapter empat ini saya susun, saya sudah bekerja di perusahaan ini selama uhmm... delapan puluh sembilan bulan. Sudah menjelang sewindu. Masih ingat kan, hitungan matematika sewindu itu berapa tahun? Gara-gara cerita ini juga, banyak sekali email-email yang masuk ke Gmail dari para calon pelamar kerja yang nanya-nanya soal PT USG kepada saya. Umumnya mereka ini para lulusan baru alias fresh graduate yang lagi nyari kerja, terus mereka lihat lowongan di PT USG sebagai PPMC. Karena nggak paham apa itu PPMC, mereka akhirnya buka Google, terus ngetik keyword "PPMC." Hasil penelusuran mereka salah satunya mengarah ke postingan ini Rata-rata dari mereka adala

Hompimpa (Sebuah puisi dari Tengsoe Tjahjono)

Puisi Hompimpa karangan Tengsoe Tjahjono pertama kali saya ketahui saat kelas 1 SMP. Tepatnya saat classmeeting yang diadakan pasca ulangan umum. Sekolah saya SMP Negeri 6 Semarang mengadakan beberapa lomba. Yah, buat ngisi hari aja sih. Supaya murid-muridnya nggak nganggur gitu. Waktu itu Bu Tamsih (salah satu pengajar Bahasa Indonesia) mengadakan lomba deklamasi puisi Hom-Pim-Pa untuk anak-anak kelas tiga. Syaratnya : saat deklamasi puisi, satu kelas harus maju semua. Tidak boleh hanya satu orang yang maju deklamasi mewakili kelas mereka. Pokoknya, satu kelas maju bareng. Tampil di tengah-tengah lapangan. Ditonton oleh kelas satu dan kelas dua. Asik ya? Tampil rombongan, gitu. Jadi bisa dilihat kekompakan masing-masing kelas. Kalau satu orang salah, ya satu kelas bisa ancur. Pernah ada kelas yang tampil bagus banget di awal. Setelah memasuki bagian tengah-tengah, ada murid yang suaranya cempreng dan cengengesan (sungguh kombinasi yang absurd, hehe) yang tentu saja membuat semua penon

I can't believe i have been three years here

my desk, June 14th 2013 I can't believe i have been three years here. Yep, it is my 3rd year in PT Ungaran Sari Garment. After all the stormy periods, exhausted time, crazy works and many stuffs, I am still alive. Let me emphasize. I - CAN - SURVIVE. Hahaha.. Wow. Waktu cepat sekali berlalu ya? Ceritanya bakal panjang nih. Kalo kamu udah bosen, mending pindah channel aja gih. Biar kayak sinetron, saya akan membagi cerita kilas balik ini dalam beberapa chapter. Dan ini, ladies and gentlement, adalah bagian satu. Chapter #1 : The Beginning Almost three years ago, in 14th June 2010 I was called to be receptionist at Front Office PA1. Nggak kebayang senengnya waktu saya dikasih tau : Kamu keterima. Besok senin mulai masuk ya. Ya Robbi, saya bakal kerja! Setelah hampir satu minggu bolak-balik buat interview, test tertulis, dan test kesehatan, akhirnya besok Senin saya resmi jadi seorang karyawan. Saya bukan anak sekolah lagi! Saya bakal cari duit sendiri! Ay, karam