Baiklah, langsung saja, ya.
Ini adalah pengalaman saya menonton film Sakaratul Maut di Transmart Setiabudi XXI pada hari Sabtu malam tanggal 3 Agustus 2024. Ini adalah film karya Sidharta Tata yang sebelumnya menyutradarai Malam Pencabut Nyawa, yang merupakan adaptasi novel Respati karya Ragiel JP.
Jujur saya terkesan dengan Malam Pencabut Nyawa yang successfully blending elemen horor dan fantasi, jadi ketika Sidharta Tata bikin film lagi, saya tetep nonton. Tapi sebelum nonton Sakaratul Maut, saya nggak ngeset standar apa-apa, sih. Biar judgement saya tetap netral. Let it flow aja :))
Yang saya suka dari Sakaratul Maut :
- sekuens pembukanya biarpun belum banyak menebar teror tapi cukup gripping. Pondasi yang cukup oke untuk mengikat penonton ke adegan-adegan setelahnya.
- alur cerita solid, dan penokohannya cukup gampang diikuti. Alih-alih kisah hidupnya dibeberkan di bagian depan, latar belakang tiap karakter utamanya dikulik pelan-pelan sampai di pertengahan film. Kalo misalnya kamu nonton bawa temen yang telmi atau lola (loading lama), kayaknya dia tetep mudeng-mudeng aja, sih.
- meskipun kemasannya adalah film horor, ternyata Sakaratul Maut juga bisa mengaduk-aduk perasaan. Ini saya lagi ngomongin adegan ketika Retno (Indah Permatasari) curhat sama Pak Syafaat (Landung Simatupang).
- Bicara soal karakter Pak Syafaat, kalau kalian tinggal di desa pasti akan selalu nemu sosok seperti Pak Syafaat. Beliau ini sosok alim, ahli ibadah, dituakan, disegani, dan biasanya sering diminta untuk memimpin solat, tahlil, atau doa-doa bersama. Di kampung saya "Pak Syafaat" ini namanya Mbah Ratin.
Kudos buat penampilan Landung Simatupang di sini. Beliau aktor teater dan sastrawan senior. Setau saya beliau penganut Katolik tapi meyakinkan sekali jadi bapak-bapak yang paham rukyah.
- sound editing dari Sakaratul Maut sepertinya didesain untuk menggema dari setiap sisi, contohnya suara bisikan saat adegan orang tahlilan. Kadang saya celingukan, ini tuh suara bisikan dari penonton atau suara dari dalam film sih?
It's pretty impressive, but I'm sure Joko Anwar has done it first in Siksa Kubur :))
- penggunaan logat bahasa Jawa sudah oke, setidaknya lebih luwes daripada film-film lain yang sama-sama bersetting Jogja dan sekitarnya.
- there are many relatable things in this movie that resembles the actual village life. Rebutan warisan? Check. Orang tua punya 'pegangan' yang bikin proses meninggalnya sulit? Check. Santet dari istri tua yang sakit hati karena suaminya menghamili pembantu? Check. Dua kerabat berantem di pasar sampai jadi tontonan? Check! Proses mandiin jenazah perempuan dan kainnya dipegangi cuma oleh kaum perempuan aja? Yes, check!
Bagus, nih. Berarti penulis skenario betul-betul udah riset.
Yang kurang disukai dari Sakaratul Maut :
- jump scare masih template. You know, contohnya musik tiba-tiba hening kemudian 'duarr' jadi kenceng pas sosok makhluk astral muncul. Atau ya sesimpel lampu tiba-tiba mati.
- tadi saya udah bilang bahwa walaupun kemasannya adalah film horor, tapi Sakaratul Maut bisa mengaduk-aduk perasaan. Tidak hanya perasaan sih.. tapi genre horornya juga berubah dari mistis ke exorcism, jadi slasher, terus jadi gore, terus udah endingnya ada polisi. Kayak kertas ketiup angin. Terbang kemana-mana.
- saya merasa reaksi karakternya nggak natural saat menghadapi sesuatu yang odd di depan mata mereka. Kayak... misal kejadiannya beneran seperti itu di kehidupan nyata, yah nggak gitu juga sih, harusnya tokoh-tokohnya bertindak.
Demikianlah penilaian pribadi saya.
Ngomong-ngomong, kalau kalian nggak sempat nonton di bioskop, film ini bisa kalian tonton secara legal di Prime Video.
Cheers,
Devi Okta
![]() |
(foto tiket bioskop, bukti sahih kalau saya beneran nonton di layar lebar, bukan di layar tancap) |
Komentar
Posting Komentar