Jika saya diberi kesempatan untuk mencoba me-reset kehidupan saya, mungkin pekerjaan yang saya tekuni adalah menjadi tukang salon.
Saya ingin sekali mahir memangkas rambut orang dengan menyesuaikan bentuk muka, kemudian mewarnai rambut dengan shade ala jajanan arum manis sampai warna perak, meluruskan atau mengeriting rambut, membentuk alis, memasang bulu mata tambahan, dan melakukan perawatan muka maupun merias wajah untuk acara tertentu.
Di mata saya, ini pekerjaan yang seru untuk dijalani. Saya membayangkan pekerjaan mereka yang setiap hari bertemu macam-macam manusia dengan karakter yang unik. Setiap orang akan duduk manis, lalu sambil 'dipermak' mereka akan menyampaikan cerita hidup mereka, keluh kesah mereka, potret kehidupan yang mereka jalani, sampai segelintir kasak-kusuk yang belum tentu diketahui banyak orang. Misalnyq, seorang klien yang kerja di kelurahan mungkin akan membeberkan cerita perselingkuhan antara kepala administrasi dengan pegawai catering langganan kantor. Atau seorang ibu tunggal beranak satu yang meminta agar rambutnya di-bleaching karena sebentar lagi dia akan dilamar oleh laki-laki teman kerjanya yang ternyata juga punya pengalaman pahit karena ditinggal istrinya yang kabur bersama supir truk pantura. Cerita-cerita semacam itulah.
Dan tukang salon adalah sebaik-baiknya pendengar. Itu sudah SOP pekerjaan mereka sebagai tempat curahan hati. Istilah dalam Bahasa Jawanya, "kudu pinter nyerateni."
Dan saya, memang senang menyimak orang bercerita. Kisah-kisah ini memperkaya saya, menambah sudut pandang saya ketika bertemu orang lain, sekaligus mengukuhkan gagasan bahwa dunia yang saya tinggali ini tidak hanya hitam, tidak putih, atau abu-abu. Ada warna lain dari cerita orang-orang ini.
Saya ini senang banget bercerita, apalagi diceritani. Klop, kan? Tukang salon could be the perfect choice.
Memang betul, ada profesi lain yang bersinggungan dengan cerita-cerita orang. Psikolog atau psikiater, misalnya. Mereka 'dibayar' untuk mendengarkan celotehan orang, baik yang ceria maupun yang suram. Tapi psikolog harus memberi solusi, dan psikiater juga harus memberi resep obat. Itu yang saya tidak suka (dan tidak mampu).
Tukang salon hanya mendengarkan. Tidak perlu memberi solusi, masukan, atau feedback lainnya. Tugas tukang salon bisa tunai dengan sempurna ketika pelanggan puas dengan hasil potongan rambut atau dandanan muka mereka. Jika pelanggan toh bisa lebih lega karena sudah bercerita, ya itu bonus.
Hmm.
Kayaknya saya beneran musti ikut kursus salon.
Secepatnya.
Komentar
Posting Komentar