Langsung ke konten utama

Pendapat Saya Tentang Film Materialists (2025)

Saya nonton Materialists di bioskop Transmart Setiabudi pada Sabtu siang 23 Agustus 2025.

 

Dan menurut saya ini film paling personal yang pernah saya tonton tahun ini. 

 

Saya coba ceritakan kenapa, sambil menghindari spoiler soal isi filmnya.

 

Film ini terasa personal dan sangat menohok. Sangat erat dengan keadaaan saya : perempuan, umur 30an, masih lajang, dan masih membayangkan bahwa kelak sepertinya saya pun akan mati dalam kondisi jomblo.

(Yeah, I know some of you are smirking right now. Nggak apa-apa. Saya pun juga sepanjang film nyengir. Anjrit, ini film sengaja dibuat untuk saya atau gimana, nih).

 

Dakota Johnson dalam penampilannya yang chic berperan sebagai Lucy, seorang matchmaker alias mak comblang, tapi klien-kliennya dari kalangan orang mampu. Jadi bukan biro jodoh seperti yang ada di majalah atau aplikasi berisi orang dari setiap kalangan. Ini biro jodoh yang membership bulanannya aja udah ribuan dollar. Dan Lucy juga bukan mak comblang baru. Lewat usahanya, dia berhasil mempertemukan 9 pasang kliennya sampai ke jenjang pernikahan. Sementara Lucy-nya sendiri masih, ehem...single

Kemudian di acara pernikahan kliennya yang ke-9, Lucy bertemu kakak dari mempelai pria. Orangnya ganteng, dewasa, mapan, penghasilannya besar, dan mengayomi. Pokoknya 10/10. Istilahnya dalam Bahasa Inggris, he got all checking in the boxes. Yang main siapa? Pedro Pascal.

 

Kemudian di acara yang sama, ternyata ada mantan pacarnya Lucy. Diperankan oleh Chris Evans. Orangnya ganteng, masih perhatian dan sayang Lucy, tapi miskin. Seberapa miskin? Dia tinggal di flat murah, itu pun sharing sama beberapa temannya yang nggak higienis. Dulu dia putus sama Lucy gara-gara perkara duit $25 dollar. 

 

Kalau kamu cewek secantik dan punya perhitungan matematis kayak Lucy, gampang banget buat kamu pilih Pedro Pascal. Kurang apalagi, coba. Kamu resign dari kerjaan pun, hidup kamu nggak bakal kesusahan. Dan secara fisik pun dia sempurna. Kalau di istilah dunia percomblangan, karakter Pedro Pascal itu unicorn. Jenis pria langka, yang kita pikir cuma ada dalam khayalan atau buku fiksi tapi mereka beneran ada.

 

Terus kenapa Lucy malah bimbang dan masih menaruh harapan pada mantan pacarnya yang penghasilannya nggak tentu itu? Jawabannya ternyata simpel dan mungkin membosankan untuk didengar : cinta. Yeah, I know. Sounds so cliche.

 

Saya, yang dari awal sudah kebeli dengan nama sutradara Celine Song, menyimak film Materialists sambil beberapa kali melongo. Materialists adalah film rom-com cinta-cintaan orang dewasa. Dialognya bernas walaupun disampaikan dengan kasual. Zaman benar-benar berubah, meskipun soal pasangan beberapa dari kita punya kriteria mutlak. Kita melihatnya dari percakapan Lucy dengan karakter-karakter pendukung di film ini. Beberapa kali saya bergumam "naah, benerrr.." ke layar. Untung di dalam studio cuma 3 orang.

 

Secara akting, menurut saya oke. Yah gimana ya, bukan drama berat yang emosinya sampai ke mata, sih. Tapi believable. Membuat saya percaya bahwa di New York beneran ada perusahaan mak comblang bernama Adore Matchmaking.

 

Department scoring dan musik dipercayakan kepada Daniel Pemberton, komposer yang bikin saya merinding ketika nonton King Arthur (2017) karena scoring-nya yang kenceng. Pun dengan scoring di animasi Spider-Man yang beat musiknya asik banget. Di film Materialists, theme music yang lembut mengiringi pertemuan Lucy dengan karakter Pedro Pascal dengan obrolan serius mereka. Ketika bersama Chris Evans, musiknya agak funky. Oh, dan saya mau toss sama siapa pun di film ini yang punya ide masukin lagu favorit saya : Le temps de l'amour dari penyanyi Françis Hardy. Tentu saja saya ikutan nyanyi dong... Hehehe..

Untung di dalam studio cuma 3 orang.

 

Dari segi pemilihan cast, saya approve tiga orang ini sebagai leading performers. Kalau diganti sama aktor lain kayaknya bakal susah atau bakal nggak believable. Dakota Johnson sukses memerankan Mbak-mbak New Yorker umur 30an yang di satu sisi berhati dingin dan cenderung memikirkan sesuatu dari segi taktis, tapi di sisi lain juga adorable banget. Membuat saya peduli pada apapun pilihan yang dia jalani. Pedro Pascal, the new American sweetheart yang semakin melejit, juga perfect banget perannya di sini. Gimana nggak meleleh coba, baru bangun tidur disambut pemandangan mas-mas memakai setelan jas rapi sedang menuang kopi ke cangkir di atas meja penuh sarapan gaya continental, kemudian sebelum dia pergi kerja dia mengecup kening kita sambil menyodorkan kunci apartment penthouse-nyabiar kita bisa keluar-masuk tanpa nunggu dia. Sesempurna itu. 

Dan siapa yang bisa menandingi kesempurnaan Pedro Pascal kalau bukan Chris Evans? Chris Evans yang tampan, dengan dada bidangnya dan otot bisep yang bisa narik helicopter saking kekarnya, dan kalau kamu ada masalah dia akan jadi orang nomer satu yang siap sedia dengerin masalah kamu. He'll be the shoulders to cry on. Duh Mas, ternyata aku belum bisa move on dari kamu. You'll be forever my Captain Steve Rogers.

Coba ganti tiga aktor dan aktris di atas dengan nama lain. Saya yakin nggak akan sepowerful dan se-match itu. Ditambah gradasi nuansa warna pastel yang dipakai di film ini, yang menaungi romansa mereka.

 

Terlepas dari aspek teknis dan skrip, Materialists mungkin adalah film yang punya tempat spesial di hati saya tahun ini.  

 

Sedikit penyesalan saya : harusnya saya nggak nonton sendiri. Harusnya saya nonton sama Endah, sama Dewi, atau sama Nita, teman-teman saya sesama jomblo. Biar bisa diskusi habis nonton. Karena filmnya seseru itu. Love it!

 

Cheers,

Devi Okta

 

PS : kalau saya jadi Lucy, kayaknya saya bakal pilih Pedro Pascal aja. Karena saya percaya bahwa cinta bisa muncul dan tumbuh. Seperti yang disampaikan Celine Song sendiri, "love is easy. Once you know it's love, you'll know."


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hompimpa (Sebuah puisi dari Tengsoe Tjahjono)

Puisi Hompimpa karangan Tengsoe Tjahjono pertama kali saya ketahui saat kelas 1 SMP. Tepatnya saat classmeeting yang diadakan pasca ulangan umum. Sekolah saya SMP Negeri 6 Semarang mengadakan beberapa lomba. Yah, buat ngisi hari aja sih. Supaya murid-muridnya nggak nganggur gitu. Waktu itu Bu Tamsih (salah satu pengajar Bahasa Indonesia) mengadakan lomba deklamasi puisi Hom-Pim-Pa untuk anak-anak kelas tiga. Syaratnya : saat deklamasi puisi, satu kelas harus maju semua. Tidak boleh hanya satu orang yang maju deklamasi mewakili kelas mereka. Pokoknya, satu kelas maju bareng. Tampil di tengah-tengah lapangan. Ditonton oleh kelas satu dan kelas dua. Asik ya? Tampil rombongan, gitu. Jadi bisa dilihat kekompakan masing-masing kelas. Kalau satu orang salah, ya satu kelas bisa ancur. Pernah ada kelas yang tampil bagus banget di awal. Setelah memasuki bagian tengah-tengah, ada murid yang suaranya cempreng dan cengengesan (sungguh kombinasi yang absurd, hehe) yang tentu saja membuat semua penon...

I can't believe i have been three years here

my desk, June 14th 2013 I can't believe i have been three years here. Yep, it is my 3rd year in PT Ungaran Sari Garment. After all the stormy periods, exhausted time, crazy works and many stuffs, I am still alive. Let me emphasize. I - CAN - SURVIVE. Hahaha.. Wow. Waktu cepat sekali berlalu ya? Ceritanya bakal panjang nih. Kalo kamu udah bosen, mending pindah channel aja gih. Biar kayak sinetron, saya akan membagi cerita kilas balik ini dalam beberapa chapter. Dan ini, ladies and gentlement, adalah bagian satu. Chapter #1 : The Beginning Almost three years ago, in 14th June 2010 I was called to be receptionist at Front Office PA1. Nggak kebayang senengnya waktu saya dikasih tau : Kamu keterima. Besok senin mulai masuk ya. Ya Robbi, saya bakal kerja! Setelah hampir satu minggu bolak-balik buat interview, test tertulis, dan test kesehatan, akhirnya besok Senin saya resmi jadi seorang karyawan. Saya bukan anak sekolah lagi! Saya bakal cari duit sendiri! Ay, karam...

i can't believe i have been three years here (part 4 - End)

Chapter #4 : The Planning World  Ah, akhirnya diterusin juga ceritanya. Pada waktu postingan ini pertama dibuat, saya genap tiga tahun kerja di PT USG, hence the title. Kemudian saya lanjutkan ceritanya, lalu sempat vakum, lalu posting lagi cerita lanjutannya, dan vakum lagi cukup lamaaaaaaa di chapter tiga. Ketika chapter empat ini saya susun, saya sudah bekerja di perusahaan ini selama uhmm... delapan puluh sembilan bulan. Sudah menjelang sewindu. Masih ingat kan, hitungan matematika sewindu itu berapa tahun? Gara-gara cerita ini juga, banyak sekali email-email yang masuk ke Gmail dari para calon pelamar kerja yang nanya-nanya soal PT USG kepada saya. Umumnya mereka ini para lulusan baru alias fresh graduate yang lagi nyari kerja, terus mereka lihat lowongan di PT USG sebagai PPMC. Karena nggak paham apa itu PPMC, mereka akhirnya buka Google, terus ngetik keyword "PPMC." Hasil penelusuran mereka salah satunya mengarah ke postingan ini Rata-rata dari mereka adala...