Wah, udah tanggal 30 Oktober ya.
Itu artinya sudah 120 hari sejak postingan sebelumnya.
Artinya lagi, sudah 101 hari berlalu sejak Hari Raya Idul Fitri.
Dan sekarang, nggak terasa kita sudah masuk ke bulan-bulan terakhir tahun 2015. Hanya kurang 2 bulan menjelang gema terompet dan keriuhan petasan menyambut Tahun Baru.
Cepet ya? Tau-tau udah mau 2016 aja.
Bicara soal Hari Raya Idul Fitri bulan Juli lalu, boleh dibilang tahun ini tidak ada hal baru buat saya. Everything was just last year. Memasak ketupat dan lontong, salat Idul Fitri, kirim ucapan, bikin sayur opor ayam dan sambal goreng, bagi-bagi duit THR sama keponakan, dan tentunya…. Mijili.
Mijili itu tradisi di tempat tinggal saya, dimana para warga akan berbondong-bondong ke musola dengan membawa ketupat, biasanya 4-5 buah. Ketupatnya dibelah tengah, lalu diisi dengan sayur tahu. Bisa juga diisi sambal taoge, atau bubuk kacang. Ketupat-ketupat itu akan didoakan bersama di musola, lalu sesama warga bisa saling tukar-menukar ketupat. Istilah Mijili berasal dari kata “mijil”. Sebuah istilah dalam bahasa Jawa yang berarti keluar. Dalam bahasa Jawa, ketupat disebut dengan kupat. Ketupat yang dibawa warga melambangkan kesalahan (kupat = lepat = salah). Secara umum, mijili dimaksudkan untuk mengeluarkan semua dosa dan kesalahan agar kita semua kembali fitrah. Kembali suci. Tanpa beban dan tanpa curiga. Mijili ini jelas nggak ada di dalam budaya Arab dan tidak ada di zaman Nabi. Mijili ini hanya tradisi di kampung kami, supaya warga bisa tetap mengikat tali silaturahmi.
Ini suasana Mijili saat Idul Fitri bulan Juli lalu di kampung saya.
But back then, somehow Idul Fitri moment also made me realize these things :
1. the season of Buka Bareng di Minggu ketiga bulan Ramadhan
Dari yang saya amati, minggu-minggu terakhir di bulan Ramadhan ini biasanya diramaikan dengan acara Buka Puasa Bersama, or so we call it Bukber. Entah itu bareng teman SMA, teman instansi, teman komunitas, teman sekantor, teman arisan, teman bermain, atau Teman Kanak-Kanak (eh sori, itu taman ding).
Rata-rata mereka berbuka puasa bersama di rumah makan atau restoran. Ada juga beberapa orang berbudi mulia yang buka puasa bersama di panti asuhan. Sebagian lagi kumpul di salah satu rumahnya teman, lalu makan masakan ibu yang suasananya lebih homey. Suka-suka sih.
Dan bisa dipastikan, salah satu dampak dari acara Bukber ini adalah munculnya penyakit baru : penyempitan pembuluh dompet.
Gini lho. Kalau dipikir-pikir, selama puasa kita hanya makan 2x (makan sahur dan makan buka puasa). Tidak ada makan siang. Tidak ada acara beli-beli camilan sore. Tidak ada acara ngopi-ngopi cantik di hari Minggu. Seharusnya pengeluaran lebih sedikit daripada hari biasa. Harusnya lho. Tapi saya sering mendengar keluhan bahwa pengeluaran di bulan puasa juga membesar. Apa pasal? Momen saat kumpul bareng teman dan berbuka puasa mengharuskan kita mengeluarkan budget ekstra. Kalau biasanya makan di warteg, sekarang makannya di restoran. Kalau biasanya makan gorengan udah kenyang, sekarang makannya nasi steak, puding dan sup buah. Memang tidak ada keharusan kalau kumpulnya harus di restoran. Tapi kebanyakan seperti itu. "Kan ketemunya belum tentu setaun sekali. Mumpung lagi kumpul, ya sekalian aja nyobain tempat yang hip"
2. Balada nyari baju Lebaran
Cuma saat lebaran, kita melihat cewek-cewek pada pakai high-heels saat solat Ied di masjid. Padahal biasanya mereka pakai sandal jepit. Cuma saat lebaran, masjid dipenuhi dandanan gamis dan hijab modis kayak Jakarta Fashion Week. Mengingat saya bukan penggila fashion, saya sama sekali nggak ngerti kenapa orang-orang begitu repot mikir baju baru. Beli sandal baru. Beli jilbab baru. Dan semua itu hanya dipakai setahun sekali. Baju-baju gamis tahun lalu kan masih bisa dipakai?
Tapi ya itu tadi, justru karena ini acara setahun sekali, they want to wear the best. “Secara, ini kan Lebaran. Musti baru, dong”
My mother is not an exception. Lebaran tahun ini, beliau beli 3 baju gamis. Satu gamis akan expired untuk satu hari, jadi besoknya musti pakai baju baru. Sangat kontras dengan anak perempuannya, yang berpikir bahwa Lebaran nggak harus beli baju baru karena orang-orang nggak akan ingat baju apa saja yang kita pakai di lebaran tahun lalu.
3. Lagi dan lagi : makanan
Sebagian besar masyarakat di lingkungan saya punya makanan wajib yang di-display di meja saat lebaran : emping, kacang bawang, dan biskuit Khong Guan. Kadang-kadang ada biskuit home made yang disebut gelek, terbuat dari kelapa dan tepung. Setiap tahun saya jadi saksi betapa rempongnya ibu saya, si ratu rumah tangga, untuk menyiapkan camilan Lebaran. Beliau ikut arisan lebaran (iuran per minggu 10ribu) yang tiap pesertanya bakal mendapat sembako, sirup, biskuit satu toples, dan kacang mede mentah. Pak Haji Rois, atasan ibu saya, juga memberi bingkisan berupa biskuit dan sirup. Saya sendiri juga mendapat bingkisan lebaran dari kantor yang isinya sirup, minyak, wafer Nissin, dan bumbu instan. Tetangga kanan kiri ada yang memberi biskuit kelapa. Banyak kan? Tapi buat ibu saya belum. Meskipun jumlah sirup cukup banyak untuk membuat satu kampung terkena diabetes dalam waktu satu hari, ternyata ibu saya masih pesan soft drink. Ukuran botol besar, pula. Dengan jumlah minuman manis dan asupan makanan bersukrosa yang melimpah kayak gini, seharusnya orang nggak perlu heran kalau berat badan saya menjadi… ah, sudahlah.
4. Bagiin THR untuk keponakan
Ini juga termasuk anggaran yang tidak bisa disepelekan. Berapa jumlah keponakan kamu? Kalau masih kurang dari 10 mah itungannya masih ‘aman’. But do you know, kalau anak sekarang udah pinter-pinter dan udah ngerti duit di usia belia. Mereka bisa secara radikal mencemooh nilai nominal yang diberikan oleh Om dan Tante mereka. "Cuma 10ribu, huh!” adalah kalimat yang membuat saya ingin sekali menyiksa mereka dengan cara menggelitik perut dan telapak kaki mereka sampai mereka ngompol. Oh sori, ini lagi ngomongin lebaran ya. Nggak boleh dendam.
Jumlah keponakan saya ada 20 orang. Variasi umurnya 2 – 15 tahun. Untungnya, mereka nggak pernah protes saat diberi. Apakah ini karena mereka dasarnya penurut, atau karena saya ngasih duitnya dengan pandangan mengancam ya?
5. “Maafin aku, ya”
Ini mungkin sudah jadi template ucapan di negara kita. Selamat hari Idul Fitri ya. Maaf lahir batin ya. Minal Aidin Wal Faidin ya. Dan seterusnya, dan seterusnya.
For your info… ucapan “Minal Aidin Wal Faidin” tidak sama dengan mohon maaf lahir dan batin. Serius. Berdasarkan hasil riset (baca : googling), secara lengkap kalimatnya adalah ”Ja alanallahu wa iyyakum minal aidzin wal faidzin” yang artinya “semoga Allah menjadikan kami dan anda sebagai orang-orang yang kembali dan beruntung”. Jadi, minal aidin wal faizin sendiri berarti dari orang-orang yang kembali dan beruntung. Dengan demikian, frase itu minal aidin wal faizin tidak memiliki makna sama sekali dengan ungkapan permintaan maaf atau pun bermaafan. Kalau mau minta maaf, ucapkan saja afwan.
And again, dari semua prosesi salaman – ngucapin maaf ini beneran tulus nggak? Beneran ikhlas memaafkan semua kesalahan teman / musuh kamu yang sudah mereka lakukan dalam setahun ini? Beneran ikhlas, atau cuma diomongin aja nih? ;)
Whatever it is, Idul Fitri 1436 Hijriah tahun ini sudah kita lalui. Semua atribut sudah dilepas, kita kembali ke urusan duniawi lagi. Bergelut dengan rutinitas biasa lagi.
Saya benar-benar berharap dan mendoakan semoga kita semua bisa diberikan umur panjang agar dapat menjalani puasa dan lebaran tahun depan. Amin. Amin. AMIN.
Itu artinya sudah 120 hari sejak postingan sebelumnya.
Artinya lagi, sudah 101 hari berlalu sejak Hari Raya Idul Fitri.
Dan sekarang, nggak terasa kita sudah masuk ke bulan-bulan terakhir tahun 2015. Hanya kurang 2 bulan menjelang gema terompet dan keriuhan petasan menyambut Tahun Baru.
Cepet ya? Tau-tau udah mau 2016 aja.
Bicara soal Hari Raya Idul Fitri bulan Juli lalu, boleh dibilang tahun ini tidak ada hal baru buat saya. Everything was just last year. Memasak ketupat dan lontong, salat Idul Fitri, kirim ucapan, bikin sayur opor ayam dan sambal goreng, bagi-bagi duit THR sama keponakan, dan tentunya…. Mijili.
Mijili itu tradisi di tempat tinggal saya, dimana para warga akan berbondong-bondong ke musola dengan membawa ketupat, biasanya 4-5 buah. Ketupatnya dibelah tengah, lalu diisi dengan sayur tahu. Bisa juga diisi sambal taoge, atau bubuk kacang. Ketupat-ketupat itu akan didoakan bersama di musola, lalu sesama warga bisa saling tukar-menukar ketupat. Istilah Mijili berasal dari kata “mijil”. Sebuah istilah dalam bahasa Jawa yang berarti keluar. Dalam bahasa Jawa, ketupat disebut dengan kupat. Ketupat yang dibawa warga melambangkan kesalahan (kupat = lepat = salah). Secara umum, mijili dimaksudkan untuk mengeluarkan semua dosa dan kesalahan agar kita semua kembali fitrah. Kembali suci. Tanpa beban dan tanpa curiga. Mijili ini jelas nggak ada di dalam budaya Arab dan tidak ada di zaman Nabi. Mijili ini hanya tradisi di kampung kami, supaya warga bisa tetap mengikat tali silaturahmi.
Ini suasana Mijili saat Idul Fitri bulan Juli lalu di kampung saya.
![]() |
Pak Suratin sebagai imam salat di kampung kami memimpin doa |
![]() |
Warga ikut khusyuk berdoa |
![]() |
Berebut ketupat-ketupat yang sudah didoakan bersama-bersama |
But back then, somehow Idul Fitri moment also made me realize these things :
1. the season of Buka Bareng di Minggu ketiga bulan Ramadhan
Dari yang saya amati, minggu-minggu terakhir di bulan Ramadhan ini biasanya diramaikan dengan acara Buka Puasa Bersama, or so we call it Bukber. Entah itu bareng teman SMA, teman instansi, teman komunitas, teman sekantor, teman arisan, teman bermain, atau Teman Kanak-Kanak (eh sori, itu taman ding).
Rata-rata mereka berbuka puasa bersama di rumah makan atau restoran. Ada juga beberapa orang berbudi mulia yang buka puasa bersama di panti asuhan. Sebagian lagi kumpul di salah satu rumahnya teman, lalu makan masakan ibu yang suasananya lebih homey. Suka-suka sih.
Dan bisa dipastikan, salah satu dampak dari acara Bukber ini adalah munculnya penyakit baru : penyempitan pembuluh dompet.
Gini lho. Kalau dipikir-pikir, selama puasa kita hanya makan 2x (makan sahur dan makan buka puasa). Tidak ada makan siang. Tidak ada acara beli-beli camilan sore. Tidak ada acara ngopi-ngopi cantik di hari Minggu. Seharusnya pengeluaran lebih sedikit daripada hari biasa. Harusnya lho. Tapi saya sering mendengar keluhan bahwa pengeluaran di bulan puasa juga membesar. Apa pasal? Momen saat kumpul bareng teman dan berbuka puasa mengharuskan kita mengeluarkan budget ekstra. Kalau biasanya makan di warteg, sekarang makannya di restoran. Kalau biasanya makan gorengan udah kenyang, sekarang makannya nasi steak, puding dan sup buah. Memang tidak ada keharusan kalau kumpulnya harus di restoran. Tapi kebanyakan seperti itu. "Kan ketemunya belum tentu setaun sekali. Mumpung lagi kumpul, ya sekalian aja nyobain tempat yang hip"
2. Balada nyari baju Lebaran
Cuma saat lebaran, kita melihat cewek-cewek pada pakai high-heels saat solat Ied di masjid. Padahal biasanya mereka pakai sandal jepit. Cuma saat lebaran, masjid dipenuhi dandanan gamis dan hijab modis kayak Jakarta Fashion Week. Mengingat saya bukan penggila fashion, saya sama sekali nggak ngerti kenapa orang-orang begitu repot mikir baju baru. Beli sandal baru. Beli jilbab baru. Dan semua itu hanya dipakai setahun sekali. Baju-baju gamis tahun lalu kan masih bisa dipakai?
Tapi ya itu tadi, justru karena ini acara setahun sekali, they want to wear the best. “Secara, ini kan Lebaran. Musti baru, dong”
My mother is not an exception. Lebaran tahun ini, beliau beli 3 baju gamis. Satu gamis akan expired untuk satu hari, jadi besoknya musti pakai baju baru. Sangat kontras dengan anak perempuannya, yang berpikir bahwa Lebaran nggak harus beli baju baru karena orang-orang nggak akan ingat baju apa saja yang kita pakai di lebaran tahun lalu.
3. Lagi dan lagi : makanan
Sebagian besar masyarakat di lingkungan saya punya makanan wajib yang di-display di meja saat lebaran : emping, kacang bawang, dan biskuit Khong Guan. Kadang-kadang ada biskuit home made yang disebut gelek, terbuat dari kelapa dan tepung. Setiap tahun saya jadi saksi betapa rempongnya ibu saya, si ratu rumah tangga, untuk menyiapkan camilan Lebaran. Beliau ikut arisan lebaran (iuran per minggu 10ribu) yang tiap pesertanya bakal mendapat sembako, sirup, biskuit satu toples, dan kacang mede mentah. Pak Haji Rois, atasan ibu saya, juga memberi bingkisan berupa biskuit dan sirup. Saya sendiri juga mendapat bingkisan lebaran dari kantor yang isinya sirup, minyak, wafer Nissin, dan bumbu instan. Tetangga kanan kiri ada yang memberi biskuit kelapa. Banyak kan? Tapi buat ibu saya belum. Meskipun jumlah sirup cukup banyak untuk membuat satu kampung terkena diabetes dalam waktu satu hari, ternyata ibu saya masih pesan soft drink. Ukuran botol besar, pula. Dengan jumlah minuman manis dan asupan makanan bersukrosa yang melimpah kayak gini, seharusnya orang nggak perlu heran kalau berat badan saya menjadi… ah, sudahlah.
4. Bagiin THR untuk keponakan
Ini juga termasuk anggaran yang tidak bisa disepelekan. Berapa jumlah keponakan kamu? Kalau masih kurang dari 10 mah itungannya masih ‘aman’. But do you know, kalau anak sekarang udah pinter-pinter dan udah ngerti duit di usia belia. Mereka bisa secara radikal mencemooh nilai nominal yang diberikan oleh Om dan Tante mereka. "Cuma 10ribu, huh!” adalah kalimat yang membuat saya ingin sekali menyiksa mereka dengan cara menggelitik perut dan telapak kaki mereka sampai mereka ngompol. Oh sori, ini lagi ngomongin lebaran ya. Nggak boleh dendam.
Jumlah keponakan saya ada 20 orang. Variasi umurnya 2 – 15 tahun. Untungnya, mereka nggak pernah protes saat diberi. Apakah ini karena mereka dasarnya penurut, atau karena saya ngasih duitnya dengan pandangan mengancam ya?
5. “Maafin aku, ya”
Ini mungkin sudah jadi template ucapan di negara kita. Selamat hari Idul Fitri ya. Maaf lahir batin ya. Minal Aidin Wal Faidin ya. Dan seterusnya, dan seterusnya.
For your info… ucapan “Minal Aidin Wal Faidin” tidak sama dengan mohon maaf lahir dan batin. Serius. Berdasarkan hasil riset (baca : googling), secara lengkap kalimatnya adalah ”Ja alanallahu wa iyyakum minal aidzin wal faidzin” yang artinya “semoga Allah menjadikan kami dan anda sebagai orang-orang yang kembali dan beruntung”. Jadi, minal aidin wal faizin sendiri berarti dari orang-orang yang kembali dan beruntung. Dengan demikian, frase itu minal aidin wal faizin tidak memiliki makna sama sekali dengan ungkapan permintaan maaf atau pun bermaafan. Kalau mau minta maaf, ucapkan saja afwan.
And again, dari semua prosesi salaman – ngucapin maaf ini beneran tulus nggak? Beneran ikhlas memaafkan semua kesalahan teman / musuh kamu yang sudah mereka lakukan dalam setahun ini? Beneran ikhlas, atau cuma diomongin aja nih? ;)
Whatever it is, Idul Fitri 1436 Hijriah tahun ini sudah kita lalui. Semua atribut sudah dilepas, kita kembali ke urusan duniawi lagi. Bergelut dengan rutinitas biasa lagi.
Saya benar-benar berharap dan mendoakan semoga kita semua bisa diberikan umur panjang agar dapat menjalani puasa dan lebaran tahun depan. Amin. Amin. AMIN.
Komentar
Posting Komentar