Sebuah catatan tentang Yasa Adiguna (13 Agustus 1990 – 28 Desember 2014)
Saya kenal orang ini di SMP Negeri 6 Semarang. Perawakan kecil, bahkan wajahnya pun masih seperti anak SD. Tidak terlalu tinggi untuk ukuran anak laki-laki, tapi tegap. Latihan baris-berbaris di kegiatan ekskul paskibra membentuk mental disiplin dan rasa solidaritas yang dia miliki, yang dia tunjukkan ke sohib-sohib akrabnya. Perbandingan jumlah anggota perempuan dan laki-laki di tim inti paskibra SMP6 agak njomplang. Dari sekitar 20 anggota tim inti, jumlah anak laki-laki tak lebih dari 8. Dia salah satunya. Bersamanya ada Ilham Galuh Saputra dan Kuswanto. Mereka menyebut tim inti mereka PPE. Pasukan Paskibra Enam. Kalau lagi kumpul dengan timnya, dia selalu jadi peramai. Pemancing tawa, sekaligus tukang bully secara verbal. Hampir semua orang kena cemooh darinya. Kadang cemoohnya mengundang tawa, kadang bikin panas telinga. Namanya Yasa Adiguna. Kakak kelas yang beda satu tahun angkatan dengan saya.
Kami kembali bertemu di SMK 7 Semarang. Saya ambil jurusan elektronika, dia ambil mekatronika. Dia tetap kakak kelas. Pernah saya protes : Sebetulnya kamu kelahiran taun berapa sih? Usia kita kan sama. Pasti kamu nggak ngerasain masa TK kan? Atau jangan-jangan kamu memanipulasi akte kelahiran? Semuanya dijawab dengan cengiran. Di tahun ketiganya sekolah, saya menunjuk dia sebagai teman satu tim di lomba lingkungan hidup Toyota Eco Youth 2008 dan berangkat ke Jakarta. Kami berenam waktu itu. Bayu, Salis, Ossy, Rio (yang kemudian diganti Argha), lalu dia dan saya. Sebagai penggemar film, saya merasa wajib memberi nama tim kami ‘La Legal Eagle’ sesuai nama yang saya ambil di film .... Bridget Jones Diary (jangan tanya kenapa saya bisa nonton film itu). Tapi kemudian, dia mengusulkan nama yang dirasa lebih pas : 647 atau Six For Seven. Enam orang untuk SMK 7. Rio mengusulkan yel untuk team kami. Six for development, six for environment, six for seven! Di hari keberangkatan, kami membawa koper besar. Pinjaman dari papanya. Itu salah satu acara paling hectic yang pernah saya ikuti. Melibatkan tiga bulan sosialisasi ke semua murid, membuat hasta karya, sampai turun ke jalan, SD dan PKK. Selama tiga bulan proses lomba, kami sering tertawa mendengar celoteh dan guyonan yang dia lemparkan saat kumpul. Bersama dengan Argha, mereka berdua bisa mengalahkan ramainya duet Imam Darto dan Dimas Danang. Kalimat “Lancang tumindakmu, Blorong!” menjadi trademark khas dari mereka. Lalu disusul tawa membahana. Namanya Yasa Adiguna. Teman satu tim, wakil ketua Toyota Eco Youth, verbal assasin, langganan bikin surat dispen, pemilik gosip update seputar sekolah, dan peniru tanda tangan Agnes Monica.
Setelah lulus, dia diterima bekerja di BCA. Sambil kuliah sore di Universitas Semarang. Tapi jiwanya tak bisa lepas dari paskibra, ekskul tempat dia tumbuh dan yang membesarkannya. Dia masih melatih tim paskibra SMK 7 Semarang, dan ikut begadang di sekolah jika besok ada lomba yang akan mereka ikuti. Pernah suatu malam dia menelepon saya, mencurahkan kekecewaannya saat adik kelas yang dia latih justru menelikungnya. Membuatnya malu di hadapan alumni paskibra yang lain. Ada nada emosi di suaranya, dan saya tahu dia berhak untuk emosi itu. Dari status-status Blackberry Messenger-nya, saya tau dia lumayan sering dibawa ke luar kota. Mengunjungi MNC TV Jakarta, sosialisasi tentang menabung ke anak TK. Siang hari sampai di Semarang, besok subuh sudah berangkat ke Pacitan.
Ya, namanya Yasa Adiguna. A petite man with huge activity. Dia mungkin bisa dipakai untuk main bola bekel saking seringnya dilempar-lempar. Tapi sayangnya, fisiknya tak sefleksibel itu.
Entah berapa kali dia menyambangi rumah sakit dan menjadi langganan selang infus. Mungkin bahkan rumah sakit menyediakan stok selang infus khusus atas nama dia. Kadang dia mengeluh, bahwa di tubuhnya sudah ada antrian penyakit. Penyakit A muncul, diobati, sembuh. Lalu datang penyakit B. Penyakit B sudah dihilangkan, muncul penyakit C. Saya hanya menghela napas membacanya. “Ya Tuhan, hamba pengen gemuk lagi. Yah, nggak gemuk sih, tapi berisi” Begitu doa yang dia tulis di Twitternya. Ah, my dear silly friend, memangnya Tuhan punya twitter? Lalu doa-doa lainnya dia tulis. Pengen perutnya normal lagi. Kangen makan bakso, tengkleng, tongseng, cilok, minum es teh manis. Pengen wisata kuliner, tanpa ada pantangan dan tanpa memuntahkan makanan yang ditolak lambungnya yang rentan. Lagi, saya hanya bisa menghela napas.
Lalu puncaknya Desember 2014 ini. Penyakit kembali datang. Kali ini bronkhitis, sebuah horor untuk paru-paru. Dia kembali diinfus, diminta off semua kegiatan, disuntik. Semakin saya browsing tentang bronkhitis, semakin ngeri jadinya. Selama 6 bulan, penderita bronkhitis harus minum obat tanpa terputus. Kalau kelewatan 1x minum obat, harus mengulangi dari awal. Duh Gusti Allah...
Jumat malam, tanggal 26 Desember 2014 Bayu mengirim foto saat dia terbaring dirumah sakit. Bayu menjenguknya bersama Samsul (yang sudah dianggap Yasa sebagai abangnya sendiri), Farid, Ratri, dan Betty. Dia mengaku tidak ingat Bayu. Foto yang dikirim Bayu membuat saya secara reflek membekapkan tangan ke mulut. Kaki dia begitu kurus, tulang lututnya menonjol. Samsul dan Farid memegang kedua tangannya. Seperti bersalaman. Saya bertekad menjenguknya sesegera mungkin saat pulang ke Semarang. Tekad yang sia-sia, karena Sang Maha Hidup punya skenario sendiri.
Minggu petang, tanggal 28 Desember 2014. Firasat saya tak enak saat melihat nama Bayu muncul di HP. Dan benar saja. Skenario Sang Maha Kuasa terlaksana. Dia pergi untuk selama-lamanya.
Namanya Yasa Adiguna. Dia baru 24 tahun saat meninggalkan dunia ini. Dan saya tau dia kuat.
Yasa bertarung melawan bronkhitis dan antrian penyakit lain. Setelah malam-malam panjang yang dia lewatkan di rumah sakit, kini dia pulang ke asalnya. Tak ada lagi selang infus, tak ada lagi obat dan suntikan. Yasa tak akan merasakan sakit lagi. Dia bebas.
Pagi sebelum dia dimakamkan, saya datang ke rumahnya. Ibunya kelihatan tegar, meski terpukul. Memangnya siapa yang tidak? Dia kehilangan anak laki-laki tertua di keluarganya, permata cemerlang yang membantu ekonomi keluarga. Beberapa bisikan saya dengar. Bahwa wajah Yasa mirip betul dengan papa kandungnya, yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Bahwa di hari kepergiannya, sebetulnya Yasa sudah membaik. Bahwa dokter dan pihak rumah sakit tak bisa menemukan apa penyakitnya. Blah..blah..blah..
Apapun yang mereka katakan, teman saya tak akan kembali.
Sebelum pamit, saya buka kain penutup wajahnya. Wajah itu damai. Semoga Allah mengampuni dosamu, bisik saya.
dear Yasa, I am sorry I can’t meet you in your last times. I am sorry I just come to see you when you’ve been in your deepest sleep. Semua senyum, cerita dan kenangan tentang kamu sudah saya rangkum walaupun nantinya saya pasti tetap merindukan kemunculan kamu di setiap lomba Paskibra. Semoga surat Yasin dan Tahlil yang kami lantunkan membuat kamu tenang disana, mendapat jalan lapang, dosa-dosa kamu dimaafkan, dan kamu mendapat tempat yang layak.
Oh satu lagi.
Andaikan disana ada sinyal wifi, semoga kamu baca posting ini dan semua doa yang ditulis di social media dari teman-teman yang menyayangimu.
Allahumma la tahrimna ajrahu wa la taftinna ba’dah. Ya Allah, do not deprive us of the reward of our praying to him, and do not test us after him”
![]() |
Yasa Adiguna (paling kanan, jaket putih) bersama teman-temannya Paskibra angkatan 16. This was old picture I took from his Facebook |
Saya kenal orang ini di SMP Negeri 6 Semarang. Perawakan kecil, bahkan wajahnya pun masih seperti anak SD. Tidak terlalu tinggi untuk ukuran anak laki-laki, tapi tegap. Latihan baris-berbaris di kegiatan ekskul paskibra membentuk mental disiplin dan rasa solidaritas yang dia miliki, yang dia tunjukkan ke sohib-sohib akrabnya. Perbandingan jumlah anggota perempuan dan laki-laki di tim inti paskibra SMP6 agak njomplang. Dari sekitar 20 anggota tim inti, jumlah anak laki-laki tak lebih dari 8. Dia salah satunya. Bersamanya ada Ilham Galuh Saputra dan Kuswanto. Mereka menyebut tim inti mereka PPE. Pasukan Paskibra Enam. Kalau lagi kumpul dengan timnya, dia selalu jadi peramai. Pemancing tawa, sekaligus tukang bully secara verbal. Hampir semua orang kena cemooh darinya. Kadang cemoohnya mengundang tawa, kadang bikin panas telinga. Namanya Yasa Adiguna. Kakak kelas yang beda satu tahun angkatan dengan saya.
Kami kembali bertemu di SMK 7 Semarang. Saya ambil jurusan elektronika, dia ambil mekatronika. Dia tetap kakak kelas. Pernah saya protes : Sebetulnya kamu kelahiran taun berapa sih? Usia kita kan sama. Pasti kamu nggak ngerasain masa TK kan? Atau jangan-jangan kamu memanipulasi akte kelahiran? Semuanya dijawab dengan cengiran. Di tahun ketiganya sekolah, saya menunjuk dia sebagai teman satu tim di lomba lingkungan hidup Toyota Eco Youth 2008 dan berangkat ke Jakarta. Kami berenam waktu itu. Bayu, Salis, Ossy, Rio (yang kemudian diganti Argha), lalu dia dan saya. Sebagai penggemar film, saya merasa wajib memberi nama tim kami ‘La Legal Eagle’ sesuai nama yang saya ambil di film .... Bridget Jones Diary (jangan tanya kenapa saya bisa nonton film itu). Tapi kemudian, dia mengusulkan nama yang dirasa lebih pas : 647 atau Six For Seven. Enam orang untuk SMK 7. Rio mengusulkan yel untuk team kami. Six for development, six for environment, six for seven! Di hari keberangkatan, kami membawa koper besar. Pinjaman dari papanya. Itu salah satu acara paling hectic yang pernah saya ikuti. Melibatkan tiga bulan sosialisasi ke semua murid, membuat hasta karya, sampai turun ke jalan, SD dan PKK. Selama tiga bulan proses lomba, kami sering tertawa mendengar celoteh dan guyonan yang dia lemparkan saat kumpul. Bersama dengan Argha, mereka berdua bisa mengalahkan ramainya duet Imam Darto dan Dimas Danang. Kalimat “Lancang tumindakmu, Blorong!” menjadi trademark khas dari mereka. Lalu disusul tawa membahana. Namanya Yasa Adiguna. Teman satu tim, wakil ketua Toyota Eco Youth, verbal assasin, langganan bikin surat dispen, pemilik gosip update seputar sekolah, dan peniru tanda tangan Agnes Monica.
Setelah lulus, dia diterima bekerja di BCA. Sambil kuliah sore di Universitas Semarang. Tapi jiwanya tak bisa lepas dari paskibra, ekskul tempat dia tumbuh dan yang membesarkannya. Dia masih melatih tim paskibra SMK 7 Semarang, dan ikut begadang di sekolah jika besok ada lomba yang akan mereka ikuti. Pernah suatu malam dia menelepon saya, mencurahkan kekecewaannya saat adik kelas yang dia latih justru menelikungnya. Membuatnya malu di hadapan alumni paskibra yang lain. Ada nada emosi di suaranya, dan saya tahu dia berhak untuk emosi itu. Dari status-status Blackberry Messenger-nya, saya tau dia lumayan sering dibawa ke luar kota. Mengunjungi MNC TV Jakarta, sosialisasi tentang menabung ke anak TK. Siang hari sampai di Semarang, besok subuh sudah berangkat ke Pacitan.
Ya, namanya Yasa Adiguna. A petite man with huge activity. Dia mungkin bisa dipakai untuk main bola bekel saking seringnya dilempar-lempar. Tapi sayangnya, fisiknya tak sefleksibel itu.
Entah berapa kali dia menyambangi rumah sakit dan menjadi langganan selang infus. Mungkin bahkan rumah sakit menyediakan stok selang infus khusus atas nama dia. Kadang dia mengeluh, bahwa di tubuhnya sudah ada antrian penyakit. Penyakit A muncul, diobati, sembuh. Lalu datang penyakit B. Penyakit B sudah dihilangkan, muncul penyakit C. Saya hanya menghela napas membacanya. “Ya Tuhan, hamba pengen gemuk lagi. Yah, nggak gemuk sih, tapi berisi” Begitu doa yang dia tulis di Twitternya. Ah, my dear silly friend, memangnya Tuhan punya twitter? Lalu doa-doa lainnya dia tulis. Pengen perutnya normal lagi. Kangen makan bakso, tengkleng, tongseng, cilok, minum es teh manis. Pengen wisata kuliner, tanpa ada pantangan dan tanpa memuntahkan makanan yang ditolak lambungnya yang rentan. Lagi, saya hanya bisa menghela napas.
Lalu puncaknya Desember 2014 ini. Penyakit kembali datang. Kali ini bronkhitis, sebuah horor untuk paru-paru. Dia kembali diinfus, diminta off semua kegiatan, disuntik. Semakin saya browsing tentang bronkhitis, semakin ngeri jadinya. Selama 6 bulan, penderita bronkhitis harus minum obat tanpa terputus. Kalau kelewatan 1x minum obat, harus mengulangi dari awal. Duh Gusti Allah...
Jumat malam, tanggal 26 Desember 2014 Bayu mengirim foto saat dia terbaring dirumah sakit. Bayu menjenguknya bersama Samsul (yang sudah dianggap Yasa sebagai abangnya sendiri), Farid, Ratri, dan Betty. Dia mengaku tidak ingat Bayu. Foto yang dikirim Bayu membuat saya secara reflek membekapkan tangan ke mulut. Kaki dia begitu kurus, tulang lututnya menonjol. Samsul dan Farid memegang kedua tangannya. Seperti bersalaman. Saya bertekad menjenguknya sesegera mungkin saat pulang ke Semarang. Tekad yang sia-sia, karena Sang Maha Hidup punya skenario sendiri.
Minggu petang, tanggal 28 Desember 2014. Firasat saya tak enak saat melihat nama Bayu muncul di HP. Dan benar saja. Skenario Sang Maha Kuasa terlaksana. Dia pergi untuk selama-lamanya.
Namanya Yasa Adiguna. Dia baru 24 tahun saat meninggalkan dunia ini. Dan saya tau dia kuat.
Yasa bertarung melawan bronkhitis dan antrian penyakit lain. Setelah malam-malam panjang yang dia lewatkan di rumah sakit, kini dia pulang ke asalnya. Tak ada lagi selang infus, tak ada lagi obat dan suntikan. Yasa tak akan merasakan sakit lagi. Dia bebas.
Pagi sebelum dia dimakamkan, saya datang ke rumahnya. Ibunya kelihatan tegar, meski terpukul. Memangnya siapa yang tidak? Dia kehilangan anak laki-laki tertua di keluarganya, permata cemerlang yang membantu ekonomi keluarga. Beberapa bisikan saya dengar. Bahwa wajah Yasa mirip betul dengan papa kandungnya, yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Bahwa di hari kepergiannya, sebetulnya Yasa sudah membaik. Bahwa dokter dan pihak rumah sakit tak bisa menemukan apa penyakitnya. Blah..blah..blah..
Apapun yang mereka katakan, teman saya tak akan kembali.
Sebelum pamit, saya buka kain penutup wajahnya. Wajah itu damai. Semoga Allah mengampuni dosamu, bisik saya.
dear Yasa, I am sorry I can’t meet you in your last times. I am sorry I just come to see you when you’ve been in your deepest sleep. Semua senyum, cerita dan kenangan tentang kamu sudah saya rangkum walaupun nantinya saya pasti tetap merindukan kemunculan kamu di setiap lomba Paskibra. Semoga surat Yasin dan Tahlil yang kami lantunkan membuat kamu tenang disana, mendapat jalan lapang, dosa-dosa kamu dimaafkan, dan kamu mendapat tempat yang layak.
Oh satu lagi.
Andaikan disana ada sinyal wifi, semoga kamu baca posting ini dan semua doa yang ditulis di social media dari teman-teman yang menyayangimu.
Allahumma la tahrimna ajrahu wa la taftinna ba’dah. Ya Allah, do not deprive us of the reward of our praying to him, and do not test us after him”
![]() |
(kiri-kanan) Argha, Evi, Yasa, Kuswanto, Ayu, dan Dwi. Saya yang rambutnya berkuncir dua. Cupu semuanya :p |
Komentar
Posting Komentar