Pagi ini Edy Haryanta meninggal dunia.
Tanggal 5 Desember 2013, pukul lima pagi.
Ada satu ruang di benak saya yang remuk. Satu orang yang saya kasihi pergi. Satu orang lagi telah kembali ke hadapan Illahi Robbi.
Edy, sahabat semasa SD, si tukang nyontek, pencinta Jamrud, kadang bicara mesum, dan selalu jadi pelawak kalau saya bete.
Edy, dengan komentar konyol dan lelucon spontannya selalu membuat saya rindu kembali ke masa SD.
Edy, yang selalu nyontek dan menyalin tugas dari buku LKS saya. Edy yang setiap pagi setia menagih Pe-er saya untuk disalin. Edy yang selalu minta saya tuliskan identitasnya di buku. "Tulisanmu bagus, Dev" katanya. Duluu sekali.
Edy, teman yang selama hampir 6 tahun tak pernah bisa saya hubungi. Kami berpisah dan lost contact sejak masuk SMP.
Edy, yang pernah bersekolah di SMK Negeri 4 Semarang, jurusan Teknik Gambar Bangunan, tapi tak sampai lulus. Dia keluar saat kelas dua.
Edy lalu melanjutkan ke SMK Tarcisius, dimana dia bertemu gadis yang akhirnya menjadi istrinya.
Edy. Edy. Edy.
Kapan saya terakhir bermimpi tentang kamu?
Tanggal 6 Desember 2011. Tiga tahun lalu. Ah, hanya selisih satu hari antara mimpi terakhir tentang kamu dan kepergian kamu menghadap-Nya.
Mimpi itu masih saya catat di komputer, Ed. Karena mungkin itulah satu-satunya mimpi sejak enam tahun kita tak pernah berjumpa.
Lucu, padahal kita tinggal di area yang berdekatan ya?
Saya tak pernah tau dimana Edy bekerja. Masih tinggal di rumah yang dulu kah?
Saya bahkan tak tau kalau Edy sudah menikah dan punya anak. Ah, lagi-lagi saya tak tahu. Padahal saya ingin melihatnya memakai beskap dan baju adat di hari penting itu.
Kami akhirnya bertemu setelah Lebaran, walaupun bukan dalam suasana yang sukacita.
Idul Fitri bulan Agustus 2013, tepat pada malam takbiran, ayah Edy meninggal karena kecelakaan. Suatu pukulan bagi keluarganya.
Tiga hari setelahnya, saya baru bisa kerumah Edy, ditemani oleh Fera Yunita. Fera mengajak anaknya, Angga, yang berumur 2 tahun.
Kami mengucapkan bela sungkawa, lalu bernostalgia. Saling cerita-cerita tentang kami dan teman-teman kami.
Kami bertemu istri Edy, lulusan SMK Tarcisius. Teman sekolah Edy. Putri mereka bernama Syifa.
"Aku sekarang jadi supir, Dev. Kalau aku ke luar kota dan nggak pulang, anakku sering kangen. Baju-bajuku dikeluarkan dari lemari, lalu ditumpuk-tumpuk di kasur sebagai alas tidur"
Aku melihat bocah berumur 2 tahun itu. Sekilas mirip Edy, walaupun hidungnya mewarisi hidung ibunya. "Pesek", kata Edy sambil tertawa.
Tak ada yang mengira bahwa itu akan jadi pertemuan terakhir kami dengan dia.
Tak ada yang tau bahwa Edy akan pergi menghadap Illahi secepat ini, hanya tiga bulan setelah ayahnya wafat.
Saya masih ingat tawa terakhirnya, senyumnya, tubuh kurusnya, dan matanya. Mata dengan tatapan yang masih sama seperti saat kelas 6 SD, sejauh saya masih ingat.
Tanggal 5 Desember 2013, pukul lima pagi. Seorang teman lama meninggalkan dunia ini.
Saya masih tak percaya saya kehilangan dia.
Darmawan, salah satu teman sekelas di kelas 6 SD, mengirim sms. Innalillahi wainailaihi rajiun, telah meninggal dunia sahabat qta SD yaitu EDI.
Bahkan sms itu kelihatan tak masuk akal. Edy? For real? Darmawan sering membohongi saya dan mengirim berita hoax. Dan kalau ini salah satu sms hoax yang dia kirimkan dengan maksud bercanda, saya akan melempar tabung LPG ke kepalanya.
Tapi ternyata itu bukan sms hoax. Itu berita sesungguhnya. Edy meninggal. Me-ning-gal.
Meninggal karena sakit, dan pukul 05.00 pagi menghembuskan nafas terakhir.
Saya lemas. Ya Robbi. Mengapa harus secepat ini Edy pergi? Kamu bahkan belum melihatku menikah, Ed. Kamu belum melihatku jadi penulis. Belum. Tapi kenapa?
Bukan hanya saya yang tak percaya. Candra Alanda, Much Cholil, Anggit, Yanu Wahyudi, dan Ira Arifatur juga tak menyangka. Really? It's Edy? Edy kita?
Tapi memang begitulah suratan nasib ditulis. Edy harus pergi. Di usia 23 tahun, 3 bulan sebelum dia berulang tahun di bulan Februari 2014 nanti.
Ada tiga perkara yang tak bisa dijangkau oleh kuasa manusia. Satu, datangnya keberuntungan. Dua, bertemu dengan jodoh. Tiga, hari kematian.
Kepergian Edy menimbulkan luka, dan meninggalkan pesan : selanjutnya giliranmu. Bisa saja Malaikatul Maut menunggu saya sepulangnya kerja. Wallahu 'alam.
Sebelum sang maut datang, kita dihadapkan pada pertanyaan : sudah siapkah kita ditanyai dan dihisab amal kita?
Sudah cukupkah ladang amal yang kita buat? Sudah tegakkah ibadah kita selama ini?
Kematian di sekitar kita sedianya menjadi teguran. Kalau kamu tak tahu kapan kamu mati, kenapa tidak dari sekarang menyiapkan diri?
Ah, Edy. Selamat jalan, teman ramaiku. Semoga kamu mendapat tempat yang terbaik.
ALLAHUMMAGHFIR LAHU WARHAMHU WA 'AAFIHI WA'FU 'ANHU WA AKRIM NUZULAHU WA WASSI' MUDKHOLAHU WAGHSILHU BILMAA`I WATS TSALJI WAL BARODI WA NAQQIHI MINAL KHOTHOOYAA KAMAA NAQQAITATS TSAUBAL ABYADLA MINAD DANASI WA ABDILHU DAARON KHOIRON MIN DAARIHI WA AHLAN KHOIRON MIN AHLIHI WA ZAUJAN KHOIRON MIN ZAUJIHI WA ADKHILHUL JANNATA WA A'IDZHU MIN 'ADZAABIL QOBRI AU MIN 'ADZAABIN NAAR
Ya Allah, ampunilah dosa-dosanya, kasihanilah ia, lindungilah ia dan maafkanlah ia, muliakanlah tempat kembalinya, lapangkan kuburnya, bersihkanlah ia dengan air, salju dan air yang sejuk. Bersihkanlah ia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau telah membersihkan pakaian putih dari kotoran, dan gantilah rumahnya (di dunia) dengan rumah yang lebih baik (di akhirat) serta gantilah keluarganya (di dunia) dengan keluarga yang lebih baik, dan pasangan di dunia dengan yang lebih baik. Masukkanlah ia ke dalam surga-Mu dan lindungilah ia dari siksa kubur atau siksa api neraka. Amin.
Tanggal 5 Desember 2013, pukul lima pagi.
Ada satu ruang di benak saya yang remuk. Satu orang yang saya kasihi pergi. Satu orang lagi telah kembali ke hadapan Illahi Robbi.
Edy, sahabat semasa SD, si tukang nyontek, pencinta Jamrud, kadang bicara mesum, dan selalu jadi pelawak kalau saya bete.
Edy, dengan komentar konyol dan lelucon spontannya selalu membuat saya rindu kembali ke masa SD.
Edy, yang selalu nyontek dan menyalin tugas dari buku LKS saya. Edy yang setiap pagi setia menagih Pe-er saya untuk disalin. Edy yang selalu minta saya tuliskan identitasnya di buku. "Tulisanmu bagus, Dev" katanya. Duluu sekali.
Edy, teman yang selama hampir 6 tahun tak pernah bisa saya hubungi. Kami berpisah dan lost contact sejak masuk SMP.
Edy, yang pernah bersekolah di SMK Negeri 4 Semarang, jurusan Teknik Gambar Bangunan, tapi tak sampai lulus. Dia keluar saat kelas dua.
Edy lalu melanjutkan ke SMK Tarcisius, dimana dia bertemu gadis yang akhirnya menjadi istrinya.
Edy. Edy. Edy.
Kapan saya terakhir bermimpi tentang kamu?
Tanggal 6 Desember 2011. Tiga tahun lalu. Ah, hanya selisih satu hari antara mimpi terakhir tentang kamu dan kepergian kamu menghadap-Nya.
Mimpi itu masih saya catat di komputer, Ed. Karena mungkin itulah satu-satunya mimpi sejak enam tahun kita tak pernah berjumpa.
Lucu, padahal kita tinggal di area yang berdekatan ya?
Saya tak pernah tau dimana Edy bekerja. Masih tinggal di rumah yang dulu kah?
Saya bahkan tak tau kalau Edy sudah menikah dan punya anak. Ah, lagi-lagi saya tak tahu. Padahal saya ingin melihatnya memakai beskap dan baju adat di hari penting itu.
Kami akhirnya bertemu setelah Lebaran, walaupun bukan dalam suasana yang sukacita.
Idul Fitri bulan Agustus 2013, tepat pada malam takbiran, ayah Edy meninggal karena kecelakaan. Suatu pukulan bagi keluarganya.
Tiga hari setelahnya, saya baru bisa kerumah Edy, ditemani oleh Fera Yunita. Fera mengajak anaknya, Angga, yang berumur 2 tahun.
Kami mengucapkan bela sungkawa, lalu bernostalgia. Saling cerita-cerita tentang kami dan teman-teman kami.
Kami bertemu istri Edy, lulusan SMK Tarcisius. Teman sekolah Edy. Putri mereka bernama Syifa.
"Aku sekarang jadi supir, Dev. Kalau aku ke luar kota dan nggak pulang, anakku sering kangen. Baju-bajuku dikeluarkan dari lemari, lalu ditumpuk-tumpuk di kasur sebagai alas tidur"
Aku melihat bocah berumur 2 tahun itu. Sekilas mirip Edy, walaupun hidungnya mewarisi hidung ibunya. "Pesek", kata Edy sambil tertawa.
Tak ada yang mengira bahwa itu akan jadi pertemuan terakhir kami dengan dia.
Tak ada yang tau bahwa Edy akan pergi menghadap Illahi secepat ini, hanya tiga bulan setelah ayahnya wafat.
Saya masih ingat tawa terakhirnya, senyumnya, tubuh kurusnya, dan matanya. Mata dengan tatapan yang masih sama seperti saat kelas 6 SD, sejauh saya masih ingat.
Tanggal 5 Desember 2013, pukul lima pagi. Seorang teman lama meninggalkan dunia ini.
Saya masih tak percaya saya kehilangan dia.
Darmawan, salah satu teman sekelas di kelas 6 SD, mengirim sms. Innalillahi wainailaihi rajiun, telah meninggal dunia sahabat qta SD yaitu EDI.
Bahkan sms itu kelihatan tak masuk akal. Edy? For real? Darmawan sering membohongi saya dan mengirim berita hoax. Dan kalau ini salah satu sms hoax yang dia kirimkan dengan maksud bercanda, saya akan melempar tabung LPG ke kepalanya.
Tapi ternyata itu bukan sms hoax. Itu berita sesungguhnya. Edy meninggal. Me-ning-gal.
Meninggal karena sakit, dan pukul 05.00 pagi menghembuskan nafas terakhir.
Saya lemas. Ya Robbi. Mengapa harus secepat ini Edy pergi? Kamu bahkan belum melihatku menikah, Ed. Kamu belum melihatku jadi penulis. Belum. Tapi kenapa?
Bukan hanya saya yang tak percaya. Candra Alanda, Much Cholil, Anggit, Yanu Wahyudi, dan Ira Arifatur juga tak menyangka. Really? It's Edy? Edy kita?
Tapi memang begitulah suratan nasib ditulis. Edy harus pergi. Di usia 23 tahun, 3 bulan sebelum dia berulang tahun di bulan Februari 2014 nanti.
Ada tiga perkara yang tak bisa dijangkau oleh kuasa manusia. Satu, datangnya keberuntungan. Dua, bertemu dengan jodoh. Tiga, hari kematian.
Kepergian Edy menimbulkan luka, dan meninggalkan pesan : selanjutnya giliranmu. Bisa saja Malaikatul Maut menunggu saya sepulangnya kerja. Wallahu 'alam.
Sebelum sang maut datang, kita dihadapkan pada pertanyaan : sudah siapkah kita ditanyai dan dihisab amal kita?
Sudah cukupkah ladang amal yang kita buat? Sudah tegakkah ibadah kita selama ini?
Kematian di sekitar kita sedianya menjadi teguran. Kalau kamu tak tahu kapan kamu mati, kenapa tidak dari sekarang menyiapkan diri?
Ah, Edy. Selamat jalan, teman ramaiku. Semoga kamu mendapat tempat yang terbaik.
ALLAHUMMAGHFIR LAHU WARHAMHU WA 'AAFIHI WA'FU 'ANHU WA AKRIM NUZULAHU WA WASSI' MUDKHOLAHU WAGHSILHU BILMAA`I WATS TSALJI WAL BARODI WA NAQQIHI MINAL KHOTHOOYAA KAMAA NAQQAITATS TSAUBAL ABYADLA MINAD DANASI WA ABDILHU DAARON KHOIRON MIN DAARIHI WA AHLAN KHOIRON MIN AHLIHI WA ZAUJAN KHOIRON MIN ZAUJIHI WA ADKHILHUL JANNATA WA A'IDZHU MIN 'ADZAABIL QOBRI AU MIN 'ADZAABIN NAAR
Ya Allah, ampunilah dosa-dosanya, kasihanilah ia, lindungilah ia dan maafkanlah ia, muliakanlah tempat kembalinya, lapangkan kuburnya, bersihkanlah ia dengan air, salju dan air yang sejuk. Bersihkanlah ia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau telah membersihkan pakaian putih dari kotoran, dan gantilah rumahnya (di dunia) dengan rumah yang lebih baik (di akhirat) serta gantilah keluarganya (di dunia) dengan keluarga yang lebih baik, dan pasangan di dunia dengan yang lebih baik. Masukkanlah ia ke dalam surga-Mu dan lindungilah ia dari siksa kubur atau siksa api neraka. Amin.
![]() |
Edi dan anaknya, Syifa. Foto diambil saat saya kerumahnya bersama Fera. Satu-satunya foto Edy yang saya miliki. |
Komentar
Posting Komentar